239 Tahun Kota Tua

Robby Patria
Robby Patria. (Foto: Dok)

Oleh Robby Patria

Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau berusia 239 tahun. Usia dua abad lebih ketika para sejarawan sepakat momentum pertempuran heroik di depan Pulau Penyengat dijadikan hari lahirnya Tanjungpinang.

Di usia dua abad itu sekelompok anak anak muda di sebuah akun Tiktok tidak tahu bahwa Tanjungpinang ibu kota Provinsi Kepulauan Riau.

Si pewawancara menanyakan lima remaja. Dua orang menyebut Batam dan satu orang menyebut Jodoh yang ada di Batam. Sementara dua remaja yang sedang duduk nongkrong itu menyebut Tanjungpinang. Itupun agak ragu.

Itu anak anak remaja yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Kepulauan Riau 20 tahun yang akan datang. Apakah di jenjang sekolah hingga kuliah tidak diajarkan ibu kota propinsi di mana? Atau memang mereka tak ingin tahu soal itu.

Kemudian sudah beberapa kali terjadi penumpang salah tujuan mau ke Tanjungpinang sampai di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Bukan satu atau dua kejadian penumpang yang nyasar di Babel karena sama sama pinang di akhir. Padahal di depan Tanjung dan yang satu Pangkal.

Tak heran awak kabin pesawat mengingatkan daerah tujuan ketika penumpang hendak naik ke pesawat.

Melihat kasus anak-anak Kepulauan Riau tidak tahu ibu kota, maka harus menjadi introspeksi pemerintah baik provinsi dan PemkotĀ  Tanjungpinang agar memasyarakatkan nama Tanjungpinang yang sudah berusia 239 tahun. Kalau perlu memasang iklan di pusat keramaian bahwa Tanjungpinang itu ibu kota Provinsi Kepulauan Riau.

Batam saja baru merayakan ulang tahun ke 193 tahun begitu populer di mancanegara hingga seluruh Indonesia. Karena Batam menjadi tujuan mencari kerja dan pariwisata. Batam kota yang lebih muda dari Tanjungpinang menjelma menjadi kota baru yang modern.

Terpaut 46 tahun lebih, dari sisi sejarah Batam lebih populer. Bahkan dari sisi pembangunan, Tanjungpinang lebih dahulu menikmati pembangunan sejak zaman Belanda hingga zaman kemerdekaan dan saat ini.

Kita dengan mudah menemukan bangunan tua zaman Belanda masih menjajah. Sementara Batam masih banyak hutan belantara.

Kondisi Tanjungpinang sudah bagus pembangunan dan lebih baik dari daerah lain, ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Riau sebentar sebelum dipindahkan ke Pekanbaru hingga sekarang menjadi ibu kota Provinsi Riau.

Nama Provinsi Riau pun berasal dari riuhnya di sekitar pusat kota dekat pelantar hingga diabadikan menjadi Riau.

Sementara Batam di tahun 1970 masih hutan belantara ketika Soeharto menunjuk Habibie mengembangkan Batam sebagai kawasan kota baru yang nantinya menyaingi Singapura. Penduduk Batam terpusat di Belakang Padang dan Sambu, Galang dan pulau pulau kecil sekitar.

Belakang Padang, Batam dan Galang bagian dari kecamatan Bintan Selatan. Dalam Surat Ketetapan Delegasi Republik Indonesia Provinsi Sumatra Tengah Nomor 9/Dper/ket/50 tanggal 8 Mei 1950, tentang penggabungan diri Kepulauan Riau ke dalam pemerintahan Republik Indonesia, Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai oleh bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan sebagai berikut:

Kewedanan Tanjungpinang meliputi Kecamatan Bintan Selatan, Bintan Timur, Bintan Utara, Galang dan Batam. Kewedanan Karimun meliputi Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.

Kewedanan Lingga meliputi Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang. Kewedanan Pulau Tujuh meliputi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan,Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.

Lalu 30 tahun kemudian, Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1983 tentang Pembentukan Kota Administratif Tanjungpinang, Kabupaten/Daerah Tingkat II Kepulauan Riau yang membawahi 2 kecamatan, yaitu: Kecamatan Tanjungpinang Barat Kecamatan Tanjungpinang Timur.

Dengan keluarnya PP ini maka Kecamatan Bintan Selatan dihapuskan dan berubah menjadi Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur.

Pada tahun yang sama sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 telah pula dibentuk Kotamadya Administratif Batam. Dengan adanya pengembangan wilayah tersebut maka Batam tidak lagi menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau (Wikipedia).

Di tahun 90-an, anak anak Batam masih mengeyam pendidikan SMA di Tanjungpinang. Termasuk remaja dari Riau Pesisir. Karena kualitas SMA di Tanjungpinang saat itu masih yang terbaik.

Kini, setelah tahun 2000-an, SMA di Batam sudah banyak. Saat ini SMA Tanjungpinang tidak lagi tujuan anak anak Batam belajar. Mereka sudah memiliki SMA dan SMK yang baik. 10 dari nilai SMA terbaik di Kepri, 9 berasal dari Batam. Hanya 1 dari SMA di Tanjungpinang. Semua sudah berputar arah. Batam kini mengambil alih posisi pendidikan berkualitas baik di tingkat SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi.

Warga Tanjungpinang dan Bintan yang ingin menyelesaikan pendidikan S2 mereka harus ke Batam. Karena ada banyak kampus di Batam yang sudah menyelenggarakan pendidikan S2 dan pendidikan doktor.

Tanjungpinang yang dulunya dikenal kota pendidikan kini mulai kalah dibanding Batam. Posisi yang harusnya tetap dikuasai Tanjungpinang sebagai ibu kota provinsi dan juga kota pendidikan.

Menjadikan Tanjungpinang kota budaya, kota pendidikan dan ibukota provinsi akan memberikan efek ganda untuk kesejahteraan masyarakat ibukota.

239 tahun, Tanjungpinang harus jelas memposisikan daerah ini apakah menjadi tujuan kota pendidikan dengan hadirnya kampus UMRAH, Stisipol Raja Haji, STIE Pembangunan, STAIN SARS, STTI, Poltekkes Kemenkes, STIKES Hangtuah, Akbid Anugrah Bintan, STAI MU, dan kampus kampus lainnya.

Kampus kampus itu setidaknya setiap tahun menerima lebih dari 5 ribu mahasiswa baru. Sehingga sebagai daerah tujuan pendidikan, Tanjungpinang harus menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung pendidikan apakah disiapkan pemerintah ataupun warga.

Mulai dari wifi gratis, transportasi untuk mahasiswa ke kampus, rumah kos yang nyaman, hingga fasilitas buku buku yang bermutu. Tentu saja warga yang ramah untuk anak anak kos. Banyaknya mahasiswa datang belajar di Tanjungpinang pasti akan mendorong konsumsi. Sehingga usaha bisnis secara otomatis akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tingginya angka kemiskinan di Tanjungpinang menembus 9,85 persen menjadikan ibu kota menduduki peringkat dua setelah Lingga di posisi pertama besarnya kemiskinan warga. Angka kemiskinan di Tanjungpinang melebihi kemiskinan nasional 9,54 persen. Sedangkan kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau di 6,24 persen.

Wali Kota Tanjungpinang Rahma yang habis periode September 2023 harus berjuang keras di sisa jabatan menurunkan angka kemiskinan minimal sama dengan provinsi.

Karena itulah salah satu ukuran keberhasilan pembangunan yakni menurunkan kemiskinan warga. Bukan menghias kota tetapi warga tetap miskin.

Pemerintah yang baik harus membuat program bagaimana warga itu tak lagi jadi miskin sehingga mereka bisa hidup layak di tengah pembangunan. Kalau perlu APBD harus dikucurkan bagaimana kantong kantong kemiskinan berubah.

Jika mereka memerlukan modal usaha berikan pinjaman. Semoga dengan adanya usaha mereka tak lagi jadi miskin.

Andaikan warga yang miskin itu memiliki badan yang kuat, mereka bisa dilibatkan dalam proyek padat karya di kampung kampung mereka. Seperti membangun jalan jalan di gang, membangun lapangan voli, membangun drainase. Dengan mereka ikut proyek, maka mereka dapat gaji untuk digunakan membiayai kehidupan keluarga.

Tetapi jika proyek pemerintah menekankan kepada proyek teknologi tinggi, maka yang menikmati adalah pekerja berpendidikan tinggi. Masyarakat kelas bawah akan menjadi penonton. Akhirnya mereka tetap miskin tak menikmati kue pembangunan yang harusnya dinikmati kalangan marhaen kata Sukarno.

Perluasan Wilayah

Posisi sebagai ibukota provinsi, luas wilayah Tanjungpinang harus ditambah. Saat ini panjang Tanjungpinang dari titik nol kilometer hanya 16 Km.

Kota Tanjungpinang saat ini dalam kondisi yang sudah padat. Arah pembangunan dan pengembangan wilayah menjurus ke Tanjungpinang Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Bintan.

Sementara di Bintan masih banyak daerah yang tidak dibangun alias masih kosong. Sehingga kepadatan Tanjungpinang sudah selayaknya diperluas ke Bintan.

Ada banyak kantor instansi pemerintah pusat dibangun di Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi. Namun karena tidak ada lahan yang cukup, perkantoran masih berada di Batam.

Oleh karena itu sudah selayaknya wilayah Tanjungpinang ditambah sehingga kita tidak perlu mereklamasi laut untuk dijadikan lahan baru untuk pembangunan.

Biaya yang terlalu besar menimbun laut dan bibir pantai untuk pembangunan kantor maupun sarana publik.

Lahan menimbun laut misalnya senilai Rp400 miliar jika digunakan pembangunan sarana publik di darat maka akan mendapatkan bangunan yang super wah. Sementara 400 miliar rupiah dipakai hanya untuk menimbun tanah tanpa bangunan yang dapat digunakan.

Mumpung ayah dan anak jadi gubernur dan bupati Bintan sehingga mudah untuk dikoordinasikan soal perluasan wilayah. Pemkab Bintan pun untuk melaksanakan pembangunan di seluruh Bintan dengan kekuatan APBD hanya Rp1 triliun sepertinya tak akan berlangsung dengan cepat.

Terlalu luas wilayah Bintan sehingga dibagikan sedikit untuk menopang Tanjungpinang sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Itupun jika mau menambah luas wilayah.

Tanjungpinang sebagai kota tua yang sudah berusia 239 tahun jangan kelihatan sebagai kota muda yang baru saja mencari bentuk. Sangat sedih ketika anak anak muda kita tak tahu ibu kota Kepulauan Riau.

Perlu program pemasaran dan re-branding baik selogan supaya Tanjungpinang mendunia. Kota ini mendunia disebabkan Raja Ali Haji dengan karyanya Gurindam 12. Tanjungpinang populer diwakili pejuang pemberani Raja Ali Haji. Dan Tanjungpinang ngetop dulu kala ketika Pulau Penyengat dijadikan pusat pemerintahan kerajaan Riau Lingga.

Jika jadi Engku Hamidah menjadi Pahlawan Nasional, maka tiga orang penting di era 200 tahun lalu menasional. Dan kita kita yang hidup era saat ini bertanggung jawab supaya Tanjungpinang menjadi kota yang nyaman untuk kita semua. Apapun profesinya.

Dirgahayu 239 Tanjungpinang.