30 Hari Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina

30 Hari Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina
Tank bergerak ke kota, setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengizinkan operasi militer di Ukraina timur, di Mariupol, 24 Februari 2022. (ANTARA/Reuters/Carlos Barria/as)

Kuncinya adalah kompromi

Kini perang yang berlarut-larut membuat pasukan Rusia kehilangan momentum. Pada saat yang sama, dampak sanksi Barat mulai dirasakan secara luas oleh masyarakat biasa.

Keadaan ini bisa menciptakan ketidakpuasan, termasuk dari dalam tubuh pemerintah Rusia sendiri.

Anatoly Chubais mundur dari jabatannya sebagai utusan khusus Presiden Rusia untuk organisasi internasional. Dia adalah arsitek swastanisasi Rusia pada 1990-an yang menyuburkan oligarki penyangga kekuasaan Putin.

Gubernur bank sentral Elvira Nabiullina bahkan sempat meminta mundur karena kecewa perang telah memupus upaya bank sentral selama sembilan tahun untuk menguatkan sistem moneter Rusia. Putin tak meluluskan permintaannya.

Tak hanya itu. Sekutu-sekutu Rusia pun tak cukup membantu Putin, termasuk China yang berpeluang menyelamatkan Rusia dari dampak sanksi.

China justru hati-hati sekali melangkah, sampai dua kali abstain dalam resolusi, baik di Dewan Keamanan PBB yang diveto Rusia maupun Majelis Umum PBB ketika mayoritas anggota meminta Rusia menghentikan perang di Ukraina.

Uniknya, elemen kritis mulai berani meminta pemerintah China untuk mengoreksi sikap terhadap Rusia. Salah satunya adalah Prof Hu Wei, wakil ketua Pusat Riset Kebijakan Publik yang juga ketua Asosiasi Kebijakan Publik Shanghai.

Menulis esai berbahasa Inggris dan China dalam US-China Perception Monitor pada 12 Maret, Hu menilai Rusia sudah goyah sehingga China mesti sesegera mungkin memutuskan kaitan dengan Putin guna menghindari anggapan sebagai bagian dari pihak yang kalah.

China, kata Hu, harus menghindari posisi yang merugikan itu. Dia bahkan meminta China berhenti bermain di dua kaki dengan dengan memilih posisi yang menjadi arus utama dunia.

China sendiri menentang sanksi dan menegaskan akan tetap mempertahankan hubungan ekonomi dan dagang dengan Rusia. Namun di balik layar, China mewaspadai perusahaan-perusahaannya agar tak melanggar sanksi Barat dan meminta mereka untuk berhati-hati kala berinvestasi di Rusia.

Saat ini saja, mengutip laporan Reuters, tiga raksasa energi China, termasuk Sinopec, mengkaji dampak sanksi terhadap investasi miliaran dolar mereka di Rusia. Puncaknya pada 25 Maret ketika Sinopec menangguhkan pembicaraan investasi di Rusia.

Jika melihat situasi-situasi yang tidak terlalu menguntungkan Rusia ini, wajar jika Moskow menyatakan target pertama operasi Ukraina sudah tercapai.

Kremlin, sebutan lain pemerintah Rusia, terlihat berusaha menghindari anggapan kalah dalam perang demi menyelamatkan muka pemerintahan Putin. Kalah juga bisa menurunkan derajat kepemimpinan Putin secara global.

Kini Putin menggunakan Donbas dan Krimea sebagai kartu truf dalam perundingan damai. Dia menuntut Ukraina untuk mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis di Donbas dan mengakui Krimea sebagai wilayah Rusia.

Ukraina menolak mentah-mentah tuntutan itu dan upaya perdamaian bisa menemui jalan buntu.

Kendati demikian, baik Rusia maupun Ukraina tampaknya sama-sama ingin segera mengakhiri perang. Dengan alasan itulah, sepertinya kompromi akan menjadi sangat penting.