JAKARTA – 26 Februari lalu, tepatnya pada Sabtu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan akan melakukan operasi militer khusus ke Ukraina. Kemarin, Sabtu, 26 Maret 2022, invasi Rusia berlangsung genap 30 hari.
Sejumlah kota di Ukraina hampir rata dengan tanah. Pangkalan militer Ukraina lumpuh. Namun Ukraina tak kunjung menyerah dan tak ada kota besar yang diduduki sepenuhnya oleh Rusia, termasuk Mariupol yang menjadi medan perang paling sengit.
Sejak awal Rusia ingin cepat-cepat menundukkan Ukraina dengan blitzkrieg atau serangan militer kilat yang bertumpu pada manuver tank dan dukungan udara, selain bombardemen rudal dan artileri. Tujuannya, memenangkan perang sesegera mungkin guna menghindari korban lebih banyak dan kerugian perang dalam jumlah besar.
Dengan menyerang jantung Ukraina di Kiev dari wilayah Belarus yang hanya 150 km dari Kiev atau separuh jarak Rusia ke ibu kota Ukraina itu, Putin memang memburu kemenangan kilat. Di sini, tempo serangan menjadi bagian paling penting.
Baca juga: Rusia Usir Sejumlah Diplomat Amerika Serikat Sebagai Respon Balasan
Putin pernah menyatakan Rusia tak berencana menduduki Ukraina dan tak berniat mengganti rezim. Namun dengan membidik Kiev, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy jelas menjadi sasaran penggulingan.
Indikasi ini terlihat dari langkah Moskow mengganti pemimpin sejumlah daerah yang diduduki, termasuk wali kota terpilih secara demokratis Ivan Fedorov di Melitopol yang ditangkap untuk digantikan oleh Galina Danilchenko yang pro-Rusia.
Namun rencana perang yang gegabah membuat blitzkrieg Rusia berantakan. Ternyata, berbeda dari laporan intelijen Rusia, Ukraina melawan dengan gigih sampai membuat militer Rusia menelan kerugian besar.
Rusia tadinya mengira perlawanan Ukraina akan sama dengan saat Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea pada 2014 dan tentara Ukraina nyaris tak melawan.
Baca juga: Presiden Ukraina Zelenskyy Serukan Perdamaian dengan Rusia
Ternyata, militer Ukraina pada delapan tahun lalu berbeda dengan yang sekarang. Ukraina berkali-kali memukul mundur pasukan Rusia, tak hanya di dua kota terpenting–Kiev dan Kharkiv–tapi juga kota-kota lain, termasuk Chernihiv dan Summy di dekat perbatasan Rusia.
Bahkan, mengutip Institute for Study of War yang rutin memperbarui informasi terkini Ukraina berdasarkan analisis pertahanan dan laporan intelijen, sejak 22 Maret Rusia tak pernah lagi melancarkan ofensif besar. Sebaliknya, Rusia cenderung mengambil posisi defensif. Dengan kata lain, pendulum perang telah berbalik kepada Ukraina.
Rusia juga sudah berani merilis jumlah korban dari pihak mereka. Setelah hanya mengakui 500-an tentaranya tewas, Jenderal Sergey Rusdkoy dari kantor kepala staf gabungan di Kementerian Pertahanan Rusia, menyatakan 1.351 tentara Rusia telah tewas.
Dua hari sebelumnya, laman surat kabar pro pemerintah Komsomolskaya Pravda menyebut 9.861 tentara Rusia tewas, kendati kemudian dihapus. NATO dan Ukraina memperkirakan 7.000 sampai 15.000 tentara Rusia tewas dalam perang ini.
Bahkan angka 1.351 tetap besar sekali. Sebagai perbandingan, 15.300 tentara Rusia tewas selama 10 tahun pendudukan Afghanistan pada 1979- 1989 atau sama dengan 1.530 jiwa per tahun. Namun kini, dalam satu bulan saja sudah 1.351 tentara Rusia yang tewas.