Makanan Cepat Saji Bakal Dikenai Cukai? Begini Penjelasan DJBC

Ilustrasi makanan olahan siap saji. (Foto:Elhadif Putra/Ulasan.co)

JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo telah menetapkan aturan baru tentang Kesehatan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024.

Salah satu isi dari peraturan tersebut, yakni pengenaan cukai terhadap pangan olahan, termasuk pangan olahan yang siap saji.

Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 194 PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

“Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” dikutip dari PP yang ditandatangani Presiden Jokowi, 26 Juli 2024, Rabu 31 Juli 2024.

Penjelasan Pasal 194 PP tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara, atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

Sementara itu, yang dimaksud dengan ‘pangan olahan siap saji’ adalah makanan dan atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha seperti pangan yang disajikan di jasa boga, hotel, restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, kaki lima, gerai makanan keliling, dan penjaja makanan keliling atau usaha sejenis.

Merespons ketentuan aturan itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, ketentuan dalam PP itu masih sebatas usulan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Nirwala menambahkan, DJBC belum melakukan kajian terhadap barang olahan itu sebagai barang kena cukai (BKC) baru.

“Itu usulan aja dari Kemenkes,” kata Nirwala Dwi Heryanto.

Dia menjelaskan, untuk menjadi bahan kajian BKC baru tentu harus melalui persetujuan dari Komisi XI DPR, lalu masuk ke dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (UU APBN) tahun pelaksanaan anggarannya.

“Jadi belum sampai situ (kajian), orang yang sudah dikaji itu kan dan sudah diusulkan untuk menjadi BKC itu kan minuman berpemanis dalam kemasan itu kan, kalau junk food segala macam itu kan belum,” sambung Nirwala.

Kendati demikian, dia mengingatkan, setidaknya ada empat kriteria barang yang bisa dikenakan cukai oleh pemerintah, yakni konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, memberikan dampak atau eksternalitas negatif terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, serta pembebanannya demi keadilan dan keseimbangan.

Adapun untuk makan olahan itu sudah definisikan Kemenkes dalam PP itu, sebagai barang yang perlu dibatasi kandungan gula, garam, dan lemak nya (GGL).

PP 28/2024 menyebutkan “Dalam rangka pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji”.

“Eksternalitas negatif, iya (masuk). dan menurut kesehatan kan yang namanya eksternalitas negatif untuk kesehatan itu kan GGL,” tutur Nirwala.

Meski demikian, Nirwala kembali menekankan, karena barang kena cukai akan memiliki dampak pungutan harus dibicarakan dulu dengan DPR.

“Karena itu pungutan kepada masyarakat kan, harus diobrolin dengan DPR, jadi ada syarat walaupun masuk ke dalam kriteria BKC tapi kalau tidak disetujui DPR yo enggak jalan dong,” ungkapnya.