MK Tolak Gugatan Eks Gubernur Maju Cawagub di Pilkada

Sidang MK putusan gugatan partai politik bisa usung calon kepala daerah meski tak punya kursi di DPRD, Selasa (20/08/2024). (Foto:Dok/Istimewa/Tribun)

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mementahkan gugatan mantan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Isdianto terkait larangan mantan Gubernur menjadi calon Wakil Gubernur di Pilkada 2024.

Isdianto ingin MK mengubah ketentuan pasal tersebut. Dia ingin MK memperbolehkan gubernur yang hanya menjabat 2,5 tahun bisa maju sebagai calon wakil gubernur (cawagub).

“Permohonan tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo.

Sidang pembacaan putusan perkara nomor 71/PUU-XXII/2024 itu berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa 20 Agustus 2024.

Adapun pasal yang digugat Isdianto adalah Pasal 7 ayat (2) huruf o UU 10/2016 (tentang Pilkada). Hakim MK menyebutkan bahwa permohonan Isdianto tidak jelas atau kabur.

Gugatan serupa dengan perkara 73/PUU-XXII/2024 juga tidak dapat diterima oleh MK. Gugatan itu diajukan oleh John Gunung Hutapea, Deny Panjaitan, Saibun Kasmadi Sirait, dan Elvis Sitorus.

Ketiganya menggugat, agar eks gubernur atau wali kota atau bupati bisa mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah di wilayah yang sama.

MK berpendapat, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.

Selain itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra juga berpendapat larangan mantan gubernur menjadi cawagub juga tidak dapat dikatakan menghalangi keinginan seseorang untuk berpartisipasi dalam pilkada.

“Para pemohon seharusnya berupaya mencari calon wakil kepala daerah, yang tidak terhambat oleh ketentuan norma Pasal 7 UU Pilkada,” ujar Saldi Isra.

Kemudian MK telah memutus belasan perkara terkait gugatan pasal-pasal dalam Undang-Undang Pilkada pada Selasa 21 Agustus 2024.

Beberapa di antaranya yakni putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah (cakada).

Selanjutnya putusan 70/PUU-XXII/2024, mengenai ketentuan syarat usia minimum cakada dan aturan kampanye di kampus.

Berikut poin-poin putusan MK yang mengubah syarat pencalonan di Pilkada:

Syarat usia minimum cakada

Melalui putusan 70/PUU-XXII/2024, MK menginginkan ketentuan syarat usia minimum 30 terhitung saat penetapan cakada.

Putusan MK ini berbeda dengan putusan Mahakamah Agung (MA) beberapa waktu lalu yang ingin syarat minimal usia tersebut dihitung saat pelantikan.

“Berkenaan dengan ini, penting bagi Mahkamah menegaskan titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah,” kata Hakim Saldi Isra.

Partai ‘non seat’ di DPRD bisa usung cakada

Dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK memutuskan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Syarat partai bisa usung cakada

Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan cagub-cawagub dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT hingga 2 juta.

DPT dengan 2 hingga 6 juta minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 6-12 juta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas 12 juta paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah.

Sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota beserta wakilnya, parpol atau gabungan parpol dapat mendaftar dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT lebih dari 250 ribu jiwa.

Kemudian DPT dengan 250-500 ribu minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 500 ribu hingga sejuta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas satu juta jiwa paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah.

Boleh kampanye Pilkada di kampus

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohon dua mahasiswa terkait pengujian materi Pasal 69 UU Pilkada, tentang aturan larangan kampanye Pilkada di kampus dalam beleid tersebut.

“Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan uji materi tersebut, Selasa (20/8).

Menurut Mahkamah, kampanye Pilkada diperbolehkan asalkan kampus atau penanggung jawab pendidikan tinggi tersebut memberi izin. Selain itu, kampanye juga tidak boleh menggunakan atribut kampanye.