Meminimalisir Kerusakan Pilkada di Tanah Air

Nikolas Panama (dosen dan aktivis pers). (Foto:Dok/Istimewa)

Oleh: Nikolas Panama (dosen dan aktivis pers)

 

Cerita tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) yang baru sekitar dua pekan lalu dilaksanakan, masih dapat terdengar sampai sekarang.

Ada kisah soal bagi-bagi sembako atau uang yang tidak merata, tim pemenangan yang terabaikan, partisipasi pemilih yang rendah, intimidasi, oknum aparat pemerintah yang tidak netral, kesalahan prosedur pemungutan suara, oknum penyelenggara pilkada tidak netral, biaya politik yang tinggi hingga pemanfaatan kekuasaan untuk merebut memenangkan pilkada.

Sebaliknya, jarang sekali terdengar diskusi soal berapa besar energi yang dikeluarkan oleh negara untuk membiayai pilkada. Padahal ini fakta, bukan bual politik semata.

Pilkada tahun 2020 menelan anggaran negara sebesar Rp20 triliun lebih, di-9 provinsi dan 261 kabupaten dan kota. Biaya pilkada itu lima kali lipat dari APBD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Berapa pula anggaran negara untuk membiayai Pilkada serentak 27 November 2024 yang dilaksanakan di-37 provinsi serta 508 kabupaten dan kota, yang konon mengukir sejarah baru di republik ini? KPU RI menyatakan sebesar Rp28,6 triliun.

Belum biaya politik yang tidak sedikit, yang harus dirogoh dari kantong kandidat pilkada. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak, bukankah seharusnya bahagia, karena sebentar lagi dilantik sebagai kepala daerah? Namun apa yang terjadi? Mereka mulai menghitung biaya selama pilkada, yang sebagian mungkin bukan berasal dari uang pribadi. Berbagai sumber menjelaskan bahwa biaya politik untuk kandidat pilkada tingkat provinsi minimal Rp100 miliar hingga Rp150 miliar, untuk wilayah dengan jumlah pemilih di Bawah 2 juta orang. Sementara, untuk kabupaten dan kota minimal Rp20 miliar-Rp30 miliar.

Biaya tersebut belum termasuk untuk mendapatkan usungan dari partai politik yang memiliki kursi di lembaga legislatif atau tidak. Politik uang “menyewa perahu” dianggap lumrah, karena partai membutuhkan biaya operasional.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), demokrasi transaksional dan pragmatis dalam pilkada merupakan biang korupsi di pemerintahan.

Fenomena yang terbangun secara empiris dalam musim pilkada kali ini, justru seolah-olah menunjukkan romantika kesedihan, bukan kebahagiaan. Presiden Prabowo saat berpidato dalam acara HUT Partai Golkar ke-60 di Sentul, Bogor sehari yang lalu menunjukkan sikap yang kurang positif, terhadap penyelenggaraan pilkada yang begitu menguras anggaran negara.

Presiden ke-8 Indonesia itu seakan-akan mengakomodir aspirasi rakyat, agar uang yang dikeluarkan negara untuk pilkada itu jauh lebih bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan rakyat agar tumbuh sehat dan sejahtera. Pemimpin Partai Gerindra itu pun melempar wacana agar pemilihan gubernur, bupati dan wali kita dilakukan oleh DPRD.

Wacana yang dihembuskan Prabowo tentu bukan hal yang biasa, apalagi itu disampaikan dalam kegiatan istimewah yang dihadiri oleh hampir seluruh pemimpin partai politik. Tentu, itu bukan pula sekadar “cek ombak” untuk mengetahui respons publik, melainkan sinyal kuat yang dapat terealisasi.

Dalam pidato itu, Prabowo tidak membeberkan secara terperinci dampak negatif dari pilkada. Namun mungkin, ia berpikir sama seperti khalayak bahwa praktek transaksional dan pragmatis menyelimuti demokrasi pilkada bukan rahasia.

Sekadar mengingat kembali bahwa pasca reformasi, Indonesia pernah memberlakukan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota memberi kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah tersebut.

Selain itu, Pasal 101 dan 154 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut memberikan kewenangan serta tanggung jawab kepada DPRD untuk memilih gubernur, bupati wali kota mulai dari proses pencalonan hingga penetapan pemenang.

Terdapat dua alasan yang menjadi landasan kenapa pilkada dilaksanakan secara tidak langsung atau melalui DPRD yakni menelan anggaran negara yang sangat besar, sama seperti alasan yang disampaikan Presiden Prabowo. Argumen lainnya yakni praktek pemilihan kepala daerah diwarnai dengan politik uang, mulai dari yang bersifat sporadis hingga terstruktur dan massif.

Dalam konteks tersebut, menurut penulis pemilihan gubernur, bupati dan wali kota tidak hanya terkutat pada dua alasan tersebut, melainkan lebih pada upaya menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota melalui DPRD merupakan upaya untuk meminimalisir dan melokalisasi kerusakan yang terjadi dalam pilkada. Itu merupakan poin terpenting, untuk menyelamatkan moral bangsa dalam menghadapi pilkada.

Tetapi pemilihan gubernur, bupati dan wali kota melalui mekanisme di DPRD tidak berjalan lama. Pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 untuk membatalkan undang-undang tersebut, dan mengembalikan mekanisme pemilihan langsung yang dipilih oleh rakyat, yang berlangsung sampai sekarang.

Demokrasi tidak sebatas sebagai wujud dari partisipasi rakyat dalam menentukan siapa calon kepala daerah yang dilindungi konstitusi, melainkan menentukan nasib pemerintahan dan daerah selama lima tahun mendatang. Pilkada jarang sekali melahirkan pemimpin yang menganut kedaulatan rakyat memiliki kedudukan yang tertinggi, melainkan sebatas retorika sementara untuk meraup suara.

Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota melalui DPRD merupakan wujud demokrasi. Apalagi pemilik suara-anggota DPRD merupakan orang-orang yang berhasil memperoleh suara signifikan di setiap daerah pemilihan dalam pemilu. Mereka disebut sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif, terlepas dari bagaimana cara atau strategi meraih suara terbanyak.

Apa dampak positif dari pemilihan gubernur, bupati dan wali kota melalui DPRD? Anggaran negara untuk membiayai penyelenggara pilkada, dan penyelenggaraan pilkada yang mencapai Rp28,6 triliun tidak dibutuhkan. Sekitar 60 persen anggaran pilkada, dipergunakan untuk membayar honor penyelenggara pilkada ad hoc. Bahkan anggaran itu dapat dirasakan manfaatnya, bila dialihkan untuk memperkuat sektor kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya untuk masyarakat marginal.

Biaya politik masing-masing kandidat dapat diminimalisir karena tidak perlu melakukan kampanye, dan tidak perlu pula melakukan politik uang untuk membeli suara pemilih. Kandidat pilkada membutuhkan dukungan anggota legislatif, bukan kendaraan politik sehingga tidak perlu menyewa perahu politik.

E-Voting Pilkada

Ada pilihan lain, yang dapat dilaksanakan di Indonesia bila pilkada tetap melibatkan partisipasi pemilih. Opsi itu yakni e-Voting untuk menyederhanakan pelaksanaan pilkada, sekaligus mengurangi energi negara dan penyelenggara pilkada.

Opsi E-Voting sampai sekarang masih sebatas wacana yang akan diterapkan di Indonesia. Padahal, pandemi Covid-19 merupakan momentum yang tepat untuk melaksanakan kebijakan itu. Filipina, negara yang bertetangga dengan Indonesia berhasil melaksanakan e-voting dalam pemungutan suara di masa pandemi.

E-voting tidak hanya sekadar mengurangi biaya pilkada, melainkan meminimalisir manipulasi suara, lebih transparan dan mengurangi beban penyelenggara pilkada.

Pilkada 2024 masih menganut sistem konvensional, mesti menyelenggara pilkada menyatakan sudah menjalankan Sebagian teknis pilkada secara pilkada. Namun proses pemungutan suara masih dilakukan secara konvensional yakni pemilih wajib datang ke-TPS untuk mencoblos surat suara.

Memang miris bila hasil pemungutan suara yang merupakan akumulasi mayoritas pemilih yang melahirkan kepala daerah yang membawa visi memajukan pemerintahan daerah melalui teknologi, tetapi diproduksi dari sistem konvensional. Itu mungkin yang menjadi salah satu alasan, kenapa sistem konvensional dalam pemerintahan yang menyebabkan terjadi berbagai permasalahan hukum, seperti korupsi tetap dipertahankan.

Sistem digitalisasi pilkada tidak membutuhkan waktu yang lama. Beberapa jam setelah pemungutan suara secara elektronik langsung dapat diketahui hasilnya.

Banyak pihak yang turut pesimistis dengan sistem ini, karena khawatir dapat diretas atau dibajak pihak-pihak tertentu. Tentu, potensi kerawanan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan sistem ini dapat diatasi oleh para pakar yang dilibatkan negara.