Apindo Batam: Pemerintah Gegabah dan Ugal-Ugalan Terbitkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022

Ketua Apindo, Rafki Rasyid,
Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid. (Foto:Dok/Ulasan.co)

Hal ini dinilai juga menyalahi ketentuan dalam penyusunan peraturan. Tidak adanya masukan dari pihak pengusaha yang akan menanggung beban dari pembayaran upah, jelas merupakan ketidakadilan.

Pemerintah dinilai hanya menerbitkan aturan, pengusahalah yang akan menanggung beban dari terbitnya aturan tersebut.

“Tapi pengusahanya tidak diajak bicara sama sekali, tiba-tiba disodori Permenaker yang sudah jadi,” kata dia.

Bentuk ketidakadilan ini jelas akan menimbulkan perlawanan hukum dari pengusaha.

Dalam rapat yang dilangsungkan oleh Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APINDO dan juga dihadiri oleh wakil dari Kadin Indonesia, pengusaha menyatakan akan melakukan gugatan yudisial review ke Mahkamah Agung (MA).

Meminta agar MA menyatakan bahwa Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 Tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 itu tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum.

“Pengusaha merasa yakin akan menang karena Permenaker itu jelas-jelas bertentangan dengan PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan,” katanya.

Terbitnya Permenaker tersebut juga melanggar perintah dari Mahkamah Konstitusi agar aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sifatnya strategis, tidak diterbitkan sampai UU tersebut direvisi. Tapi pemerintah tetap menerbitkan aturan turunan yang menjadikan UU No. 11 Tahun 2020 tersebut sebagai payung hukumnya.

“Maka pengusaha yakin MA akan mengabulkan yudisial review yang diajukannya,” kata dia.

Selama proses yudisial review tersebut berjalan, pengusaha juga berkomitmen akan membayar upah berdasarkan PP 36 Tahun 2021. Artinya, walaupun gubernur nantinya menetapkan Upah Minimum berdasrkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tersebut, pengusaha tidak akan mematuhinya. Sebab, pengusaha meyakini bahwa PP 36 Tahun 2021 yang sah secara hukum dan akan mematuhinya.

“Artinya lagi, pemerintah telah membuat suasana yang tadinya adem menjadi panas, terutama di daerah. Dengan begitu, sebaiknya pemerintah memerintahkan kepada gubernur seluruh Indonesia untuk tidak saklek menjalankan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tersebut,” kata dia.

Gubernur diberikan pilihan untuk tetap menggunakan PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan sebagai dasar perhitungan upah minimum. Karena PP ini masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Satu hal yang akan terjadi adalah pemerintah daerah akan dibuat pusing dari berlakunya dua aturan berbeda yang berlaku sekaligus.

“Pemerintah daerah seharusnya tetap berpegang pada aturan mana yang lebih tinggi agar tidak pusing,” katanya.

Ia mengatakan, jika tetap memaksa menggunakan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 yang cacat hukum tersebut, maka pengusaha di daerah akan menggugat para gubernur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Hasilnya sudah hampir bisa dipastikan kalau gubernur akan kalah. Karena Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan terbitnya Permenaker tersebut melawan perintah dari MK soal larangan menerbitkan aturan turunan terkait UU Cipta Kerja,” kata dia.

Semua berpulang pada keputusan pemerintah daerah masing-masing. Terbitnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 ini juga telah sukses memberikan keraguan kepada para calon investor untuk berinvetasi di Indonesia.

“Karena pemerintah memberikan kesan adanya ketidakpastian hukum di Indonesia. Peraturan Pemerintah yang masih berlaku diubah dengan seenaknya hanya dengan Peraturan Menteri,” katanya.

Banyak investor yang mempertanyakan hal ini dan menyatakan keraguannya pada komitmen pemerintah menegakkan aturan terkait investasi di Indonesia. Rafki menilai, hal ini bertentangan dari keinginan pemerintah untuk mendatangkan investor sebanyak-banyaknya ke Indonesia.

“Tindakan ugal-ugalan menerbitkan Peraturan Menteri baru di penghujung tahun ini, telah sukses membuat resah pengusaha dan investor yang ada,” tutupnya. (*)