Barantin dan Bea Cukai Patroli Jalur Laut Perbatasan Indonesia, Malaysia dan Singapura

Barantin dan Bea Cukai Patroli
Patroli bersama Badan Karantina Indonesia dan Bea Cukai di jalur perbatasan negara. (Foto: Dok/Ehadif Putra)

KARIMUN – Badan Karantina Indonesia (Barantin) menggelar patroli bersama Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Khusus Kepri dan Bea Cukai Tanjungbalai Karimun di perairan perbatasan Indonesia, Malaysia dan Singapura, Kamis 3 Oktober 2024.

Kepala Badan Karantina Indonesia (Barantin), Sahat M Panggabean yang memimpin patroli mengatakan, kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk sinergi sekaligus meninjau kondisi lapangan terkait kerawanan pemasukan dan pengeluaran komoditas hewan, ikan, tumbuhan dan produknya.

“Jalur dan pulau terluar ini penting, karena di wilayah ini sering masuk berbagai komoditas yang tidak resmi melalui jalur atau pelabuhan kecil yang belum ditetapkan. Ini yang perlu diantisipasi,” kata Sahat.

Seperti diketahui, perjalanan laut dari wilayah Batam atau Karimun ke Singapura dan Malaysia dapat ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan.

Kerawanan banyak terjadi karena jalur tidak resmi, yang memungkinkan kapal dari luar melakukan aktifitas pemasukan berbagai komoditas karantina.

Dari data Barantin di wilayah Kepri setidaknya terdapat 76 pelabuhan kecil yang tidak ditetapkan dan berpotensi menjadi tempat pemasukan media pembawa secara ilegal.

Pelabuhan-pelabuhan kecil tersebut tersebar di Batam, Bintan, Tanjungpinang, Anambas, Tanjung Balai Karimun, Tanjung Batu dan Moro.

“Ini makanya kita perlu sinergi bersama, bahkan mereka bisa melakukan pertukaran komoditas di laut. Ini yang tidak kita inginkan, ini yang perlu kita sosialisasikan bahwa itu tidak benar, bahwa itu berisiko,” tegas Sahat.

Menurut Sahat, risiko pemasukan komoditas secara ilegal dapat membawa hama dan penyakit ke wilayah NKRI, khususnya wilayah Kepri dan Riau, bahkan hingga ke Sumatera dan wilayah Banten serta Jakarta.

Pada kegiatan apel patroli bersama Barantin dan Bea Cukai tersebut diikuti oleh 100 personel, yang terdiri dari Petugas Karantina serta Bea dan Cukai Kepri. Selain menargetkan kegiatan ilegal lalu lintas komoditas karantina, kegiatan patroli juga mengecek jalur dan tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran atau pelabuhan tidak resmi yang ada di wilayah Karimun.

Sahat menyebutkan pengawasan terhadap lalulintas komoditas karantina tidak dapat dilakukan secara mandiri oleh Barantin. Pengawasan harus melibatkan banyak pihak, seperti instansi terkait di wilayah perbatasan juga masyarakat umum.

Komitmen penguatan kolaborasi tersebut menurut Sahat merupakan hasil kinerja bersama yang telah terjalin kuat dan menjadi model sinergitas dalam sistem digital, join inspection dan join single submission.

“Ini penting ya, jadi pengawasan karantina ini bukan mau membatasi atau menghambat, kita fokus pada risiko. Kalau ini jebol, lemah, yang rugi ya nanti kita-kita juga. Makanya ini perlu sinergi, perlu kesadaran masyarakat juga, bahwa yang kita lindungi itu ya diri kita sendiri, untuk masa depan anak cucu kita,” papar Sahat.

Sementara Kepala Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Kepri (Karantina Kepri), Herwintarti menyampaikan selama periode bulan Januari sampai Agustus jumlah tindakan karantina penahanan sebanyak 190 kali, dengan total komoditas sebesar lebih dari dua tons. Sebagian besarnya berupa barang bawaan penumpang dari Malaysia dan Singapura yang tidak dilengkapi dokumen karantina.

Herwintarti juga menambahkan,  selain kegiatan penahanan yang dilakukan di bandara dan pelabuhan, Karantina Kepri juga mendapatkan komoditas yang diserahterimakan dari Bea Cukai.

“Total komoditas yang ditahan oleh Bea dan Cukai sebanyak 79,4 ton berupa bawang bombay, bawang merah, daging beku dan benih bening lobster yang ditangkap ditengah laut ketika akan memasuki maupun keluar wilayah NKRI,” katanya.

Baca juga: Kepala Barantin: Potensi Ekspor-Impor Karimun Besar

Dari data tersebut, penahanan terhadap media pembawa atau komoditas sebagian besar karena tidak melengkapi dokumen persyaratan karantina, serta pemasukan melalui jalur laut ilegal.

Sehingga menurut Herwintarti, perlu terus dilakukan penguatan, kolaborasi dan sosialisasi bahwa hal tersebut sangat mengancam kelestarian sumberdaya alam hayati Indonesia. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News