BMKG: Kekeringan hingga Gangguan Ketahanan Pangan Ancam RI

Krisis Air Bersih di Batam
Sejumlah warga Batam saat mengambil air di parit Simpang Jam. (Foto:Muhammad Chairuddin/Ulasan.co)

JAKARTA – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, Indonesia termasuk dalam daftar negara-negara yang rentan mengalami gangguan masalah ketahanan pangan.

Hal itu disampaikan Dwikorita Karnawati saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi V DPR, Rabu (8/10/2023). Ia pun mengatakan, masalah gangguan ketehanan pangan tersebut dipicu akibat kekurangan air.

Kondisi tersebut, lanjut Dwikorita, salah satunya dipicu naiknya suhu permukaan di bumi. Dia memaparkan, sepanjang tahun 2023 ini rekor suhu maksimum terpanas berulang kali pecahkan rekor.

Menurut laporannya, suhu pada bulan Juli 2023 menjadi bulan Juli dengan suhu terpanas bila dibandingkan bulan Juli tahun 2022 lalu.

Lanjut Dwikorita memaparkan, mulai tahun 1850-an terjadi kenaikan temperatur global, dipicu semakin berkembangnya pertumbuhan industri. Di mana, jelang tahun 1980-an, terjadi lonjakan suhu secara signifikan.

“Tahun 2023 ini terjadi kenaikan suhu panas kurang lebih sebesar 1,2 derajat Celcius, dibandingkan pada masa sebelum revolusi industri. Kemudian dalam 8 tahun terakhir ini, tercatat merupakan rekor terpanas sepanjang sejarah,” kata Dwikorita melalui tayangan Youtube Komisi V DPR dikutip, Sabtu (11/11/2023).

“Kenaikan suhu memang secara global, meski di Indonesia belum sebesar yang lain. Ini karena luas laut jauh lebih besar dari luas daratnya, sehingga laut membantu berperan sebagai pendingin,” tambah Dwikorita.

Akibat terjadinya lonjakan suhu permukaan bumi, kata Dwikorita, memicu terjadinya global water hotspot atau kekeringan. Kekurangan air akan terjadi secara global, dan akan berlangsung beberapa waktu ke depan.

“Akibat kekurangan air ini, maka diproyeksikan organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan,” ungkap Dwikorita.

Indikator tekanan ketahanan pangan, lanjutnya, menunjukkan pada pertengahan abad nanti, sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi akan berwarna orange sampai orange pekat, bahkan hitam.

“Diprediksi pada tahun 2050-an akan terjadi kekurangan pangan akibat kekurangan air tersebut, di wilayah-wilayah orange, cokelat, merah, dan sampai gelap. Indonesia masuk kategori wilayah menengah (orange),” kata Dwikorita.

“Kita akan kesulitan untuk impor pangan, karena negara-negara penghasil pangan pun mengalami kekeringan lebih parah,” terangnya.

Dwikorita turut memaparkan laporan hasil pantauan BMKG, penyebab perubahan iklim yang ditandai dengan lonjakan suhu bumi tersebut.

Peningkatan suhu tersebut, ditunjukkan konsentrasi CO2 yang diukur di Pemantau Atmosfer Global (GAW) Kototabang, termonitor konsentrasi CO2 sejak tahun 2004, semakin melompat hingga tahun 2023 ini.

Dari sekitar 370 ppm konsentrasi Co2, tahun ini sudah berkisar 415 ppm.

“Padahal di Bukit Kototabang itu di tengah hutan, tidak di Jakarta, tidak ada polusi. Sehingga bisa dibayangkan, di tengah hutan pun konsentrasi CO2 sudah melompat. Hal ini mempengaruhi adanya selubung gas rumah kaca di atmosfer,” terangnya.

“Selubung gas rumah kaca itu menghambat terlepasnya radiasi matahari kembali ke angkasa. Selama puluhan tahun radiasi itu tidak kembali ke angkasa karena CO2 gas rumah kaca,” jelas Dwikorita.

Dampaknya, sejumlah efek diprediksi akan melanda bumi termasuk Indonesia.

“Dampak parahnya, es di puncak Jayawijaya diprediksi akan punah tahun 2025. Kemudian cuaca ekstrem semakin sering terjadi,” sebutnya.

“Untuk itu BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas penerapan transformasi energi dari energi fosil ke nonfosil,” pungkas Dwikorita.