Cikal Bakal Bahasa Indonesia di Pulau Penyengat

Cikal Bakal Bahasa Indonesia di Pulau Penyengat Kepulauan Riau

Tanjungpinang, ulasan.co – Pulau Penyengat, pulau kecil yang berada di seberang Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau tidak hanya harum dengan sejarah perjuangan Kerajaan Riau-Lingga-Pahang melawan tentara Belanda, melainkan juga budaya.

Pulau Penyengat sebagai tempat lahirnya bahasa Indonesia, dan Bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa persatuan, kata Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Abdul Malik.

“Yang dinamakan bahasa persatuan itu, bukanlah bahasa sembarangan. Sehingga memerlukan standarisasi bahasa, yang sudah lebih dulu dilakukan oleh Raja Ali Haji bersama para intelektualnya,” kata Abdul Malik di Tanjungpianng, Jumat.

Menurut Malik, Raja Ali Haji yang tahun 2004 ditetapkan sebagai Pahlawan Bahasa Indonesia berasal dari Pulau Penyengat. Raja Ali Haji telah melakukan kodifikasi Bahasa Melayu sehingga dikenal luas seperti sekarang ini.

Malik yang juga budayawan dan penulis beberapa buku tentang Melayu tersebut mengaku, bukti kodifikasi atau pembinaan bahasa Melayu yang dilakukan Raja Ali Haji bersama para intelektualnya di Pulau Penyengat tampak dari beberapa buku karya Raja Ali Haji itu sendiri.

“Seperti Bustanul Katibin yang berisi tentang tata bahasa Melayu, Kitab Penyatuan Bahasa atau kamus. Kemudian diikuti oleh Haji Ibrahim yang menulis buku tentang asal usul kata (etimologi). Raja Ali Kelana dengan karya berupa buku tentang bentuk kata (morfologi) dan makna kata (semantik). Serta karangan Abu Muhammad Adnan tentang pengajaran bahasa,” papar Malik.

Selain itu, sambungnya, beragam surat dari Pakar Bahasa Belanda, Von De Wall kepada Raja Ali Haji juga ditemukan di pulau tersebut.

“Selain ditemukannya surat, Pemerintah Belanda pada waktu itu juga mengirim pakar bahasa Belanda seperti Von de Wall ke Penyengat menjumpai Raja Ali Haji untuk membuat kamus bahasa Belanda – Melayu dan Melayu Belanda serta tata bahasanya,” paparnya.

Diikuti dengan datangnya H. C. Klinkert untuk memperbaiki bahasa Melayu Injil, lalu menurut Malik, Guru besar bahasa berkebangsaan Belanda, Ch. A. van Ophuijsen menyatakan bahasa Melayu yang baik itu dari Pulau Penyengat.

“Ch. A. van Ophuijsen mengatakan bahwa Bahasa Melayu yang paling baik dan benar itu berasal dari Penyengat dan Lingga,” ucapnya dari beberapa tokoh Belanda yang datang ke Penyengat untuk mempelajari Bahasa Melayu.

Dukungan yang sama kata Malik, juga diungkapkan mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid yang mengatakan “Tanpa jasa Raja Ali Haji kita tidak akan mungkin jadi bangsa yang bersatu”.

“Diperkuat lagi pada 2004 bahwa Raja Ali Haji dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional sebagai Bapak Bahasa Indonesia,” tegasnya.

Malik mengakui bahwa, bahasa Melayu itu bermacam-macam, namun untuk bahasa Melayu tinggi atau bahasa Melayu yang digunakan menjadi bahasa Indonesia itu adalah bahasa Melayu yang telah dibakukan oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat.

“Hal ini membuktikan bahwa, Bahasa Melayu yang kini digunakan menjadi Bahasa Indonesia, merupakan Bahasa Melayu yang di bina oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat dan bukti-bukti terkait bahasa Melayu di Pulau Penyengat itu masih ada,” kata Malik.

Lungua Franca
Bahasa Melayu diketahui sebagai akar dari lingua franca Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana, dalam bukunya mengutarakan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara.

Menurut Alisjahbana, persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. “Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan,” tulisnya. Faktor lain, bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.

Pada era pemeritahan Belanda di Hindia, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam korespondensi dengan orang lokal. Persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda pun semakin ketat. Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat.

Meski demikian, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu di Indonesia. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang saat itu Direktur Departemen Pengajaran, berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.

Akhirnya persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa Melayu. Bagaimanapun bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang. Kemudian di Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangakan sebagai bahasa dan sastra Indonesia.

Pada Kongres Pemuda II 1928, diikrarkan bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda. James Sneddon, penulis terbitan UNSW Press, Australia mencatat pula kalau butir-butir Sumpah Pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu Tinggi. Sneddon menganalisis dari penggunakan kata ‘kami’, ‘putera’, ‘puteri’, serta prefiks atau awalan men-.

20 Oktober 1942, didirikan Komisi Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun tata bahasa normatif, menentukan kata-kata umum dan istilah modern. Pada 1966, selepas perpindahan kekuasaan ke tangan pemerintah Orde Baru, terbentuk Lembaga Bahasa dan Budaya di bawah naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan. Lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional pada 1969, dan sekarang berkembang dengan nama yang dikenal, Pusat Bahasa.

Tanggung jawab kerja Pusat Bahasa antara lain meningkatkan mutu bahasa, sarana, serta kepedulian masyarakat terhadap bahasa.

Sumber: Antara dan National Geografhic