Daerah Istimewa, Sejarah, dan Dinaminya

Dedi Arman selaku Peneliti Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional. (Foto: Dok/ Istimewa)

Penulis oleh: Dedi Arman
Peneliti Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional

Wacana mengenai usulan pembentukan enam daerah istimewa kembali menyeruak. Surakarta (Jawa Tengah), Cirebon (Jawa Barat), Riau, Sumatera Barat, serta Buton dan Konawe dari Sulawesi Tenggara, menjadi wilayah yang mengajukan diri. Setiap daerah menarasikan warisan sejarah, budaya, dan eksistensi kerajaan sebagai dasar tuntutan, mengikuti jejak Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh. (kompas.id,25/4/2025).

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pembentukan daerah istimewa baru didasarkan pada pertimbangan kesejarahan yang kokoh, atau justru menjadi ekspresi ambisi politik lokal yang dibungkus dalam narasi identitas ?

Membedah Asal Usul Keistimewaan
Status daerah istimewa memiliki dasar konstitusional dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, yang diatur dengan undang-undang. Namun, pengakuan keistimewaan tidak serta-merta hadir karena warisan budaya atau keberadaan kerajaan, melainkan berakar pada kontribusi historis dan pertimbangan politik tertentu. (Baharudin, 2016).

Yogyakarta menjadi contoh yang kerap dijadikan rujukan. Peran aktif Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dalam mendukung dan membela Republik Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan menjadi fondasi utama pengakuan keistimewaan yang diatur melalui UU No. 13 Tahun 2012. Status istimewa tersebut tidak hanya menyangkut unsur kebudayaan, tetapi juga sistem pemerintahan yang unik: penetapan Sultan sebagai gubernur dan Adipati sebagai wakil gubernur.

Aceh memiliki latar berbeda. Keistimewaan yang kini dimilikinya adalah hasil dari proses perdamaian antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kesepakatan Helsinki 2005 yang melandasi UU No. 11 Tahun 2006 menandai transisi Aceh dari daerah konflik menjadi provinsi dengan otonomi khusus, termasuk kewenangan mengatur dirinya melalui Qanun dan penerapan hukum berbasis syariat Islam.

Menakar Usulan yang Muncul
Sejumlah wilayah kini mengajukan permohonan serupa. Surakarta, misalnya, mengacu pada statusnya sebagai bekas Kasunanan yang dulu sempat disamakan dengan Yogyakarta. Namun perlu dicatat, pada 1946 status itu dicabut menyusul konflik sosial yang memperlihatkan ketidaksinkronan antara lembaga monarki dan aspirasi masyarakat. Berbeda dengan Yogyakarta yang tetap mampu menjaga legitimasi hingga kini.

Wacana menjadikan Solo sebagai daerah istimewa dikritik sejarawan Anhar Gonggong. Di media massa, ia mempertanyakan dasar historis dan urgensi pengistimewaan tersebut. Jika Solo diberi keistimewaan karena warisan kerajaannya, maka kerajaan-kerajaan lain yang turut berjasa bagi republik juga layak menuntut pengakuan serupa. Bone, Gowa dan Luwu juga menuntut jadi daerah istimewa jika Solo diberikan karena ketiga wilayah berkontribusi dalam perjuangan menjaga Republik Indonesia. Tiga kerajaan tersebut habis-habisan menghadapi Belanda sehingga lebih berjasa dibandingkan Solo. Sedangkan, Kerajaan Surakarta tidak banyak terlibat dalam perang revolusi dan cenderung pasif.

Cirebon dan Riau mengangkat kembali kejayaan kesultanan sebagai landasan historis. Di Riau, berbagai elemen masyarakat menyatakan kesiapan dan kesepakatan untuk memperjuangkan status keistimewaan bagi provinsi mereka, dengan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) diminta memimpin gerakan ini. Sumatera Barat menonjolkan nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Namun, struktur adat di Minangkabau yang tidak terpusat dan menganut prinsip egaliter menjadikan bentuk keistimewaan administratif sulit untuk dirumuskan secara konstitusional.

Kesultanan Buton di Sulawesi Tenggara memang memiliki struktur adat dan kerajaan yang masih hidup. Namun, keberlanjutan ini belum otomatis memberi justifikasi untuk pengakuan formal sebagai daerah istimewa jika tidak didukung oleh konsensus sosial dan kontribusi nyata terhadap pembentukan atau integritas republik.

Politik di Balik Identitas
Tidak dapat dimungkiri bahwa usulan pembentukan daerah istimewa juga berkelindan dengan politik lokal. Status istimewa membawa konsekuensi penguatan kewenangan daerah, penambahan alokasi dana dari pusat, bahkan peluang penetapan kepala daerah tanpa mekanisme pemilihan langsung. Ini membuka ruang bagi elite lokal untuk menggunakan identitas budaya sebagai modal politik.

Jika tidak ada parameter yang jelas, maka keistimewaan dapat menjadi preseden yang membahayakan. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki sejarah kerajaan dan kebudayaan khas. Bila hal tersebut menjadi alasan tunggal, tuntutan serupa bisa muncul dari berbagai wilayah lain, seperti Ternate, Palembang, atau Banten.

Selain itu, penetapan daerah istimewa atau khusus di Indonesia juga masih belum memiliki mekanisme dan syarat yang jelas meski diakui dalam Pasal 18 UUD 1945. Diperlukan regulasi baru yang secara tegas mengatur kriteria dan prosedur pembentukannya. (Hanas, dkk, 2024).

Pengakuan atas sejarah dan budaya lokal tetap penting. Namun, bentuknya tidak harus berupa status keistimewaan administratif. Pemerintah dapat memilih bentuk lain seperti pemberdayaan lembaga adat, pelestarian situs sejarah, pengembangan kurikulum berbasis budaya lokal, atau perlindungan hukum terhadap komunitas tradisional.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan DPR, perlu bersikap tegas. Penetapan status istimewa haruslah berbasis pada kontribusi sejarah yang konkret, legitimasi sosial yang masih hidup, serta pertimbangan strategis dalam menjaga keutuhan dan keseimbangan tata kelola negara. Keistimewaan bukan sekadar bentuk afirmasi, melainkan tanggung jawab besar yang hanya dapat dijalankan oleh daerah yang benar-benar layak. Memberikannya secara sembarangan justru berisiko mencederai prinsip keadilan dan merusak tatanan otonomi daerah yang selama ini tengah dibangun dengan susah payah.