Dosen Vs Mahasiswa Dalam Ajang Pencarian Bakat

Sumber foto: Sunardani.blogspot.com

Dosen Vs Mahasiswa Dalam Ajang Pencarian Bakat

Tahun 2020 adalah awal dari segala perubahan dimulai di Bumi ini. Manusia dipaksa turut ikut atas segala ketentuan yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Banyak angan dan harapan disusun ulang demi penyesuaian lingkungan dan keadaan. Siap tidak siap, suka tidak suka, mau tidak mau, tetap harus menjalaninya. Baik dan buruk pun menjadi penilaian tersendiri bagi siapa saja dari setiap porsi yang dipandang di tiap sisi.

Awalnya, dua hingga tiga bulan pertama masih terasa biasa-biasa saja. Belum tampak akan adanya bom waktu yang meledak secepat kilat. Kehidupan yang normal belum terusik pelik. Posisi manusia di tiap aspek kehidupan masih aman, tentram, dan nyaman. Begitu juga yang dialami Pangga, Inaira, dan kawan-kawan mahasiswa lainnya. Perkuliahan masih asyik meski sesekali terasa rumit karena harus berperang dengan tugas demi kemerdekaan diri sendiri mengibarkan strata di akhir nama.

Arus kehidupan yang berlangsung tiba-tiba mengusung segera sedia payung. Pelan-pelan kabar berjuta cemas datang dari Wuhan yang melambung membentuk awan mendung. Sekiranya hujan keterlaluan akan turun, rupanya Bumi mengisyaratkan sebuah tangis sebab kemunculan makhluk ajaib berjenis tak terlihat, tak terhirup, tak tersentuh, tapi berbahaya, si Covid-19 namanya.

Covid-19 punya misi luar biasa setelah tiba di Wuhan. Ia punya rencana besar di luar nalar manusia. Ia pun merantau ke seluruh penjuru dunia dan tak lupa juga singgah ke Indonesia.

Bom waktu di luar prediksi meledak. Manusia dipaksa berlindung dengan segala cara agar tak mengalami bencana aneh yang berisiko punya rumah baru beratap tanah. Pangga dan Inaira tak percaya tapi mereka merasakannya. Akhirnya, konsekuensi perubahan yang tak terduga benar-benar jadi begitu nyata.

2020, awal baik untuk semua harap, tapi akhirnya berjalan penuh sekat. Situasi yang tidak biasa ini pun mengubah pola perkuliahan menjadi sebuah ajang pencarian bakat untuk melihat siapa yang benar dan salah, tapi tanpa adanya juri. Demikianlah keadaannya yang akhirnya melahirkan banyak asumsi dengan rempah-rempah jenaka dan setengah benci.

“Ngga, aku kesel dengan keadaan sekarang ini. Rasanya males banget mau kuliah lagi. Gimana ya, aduh pokoknya, ngeselin lah,” keluh inaira ke Pangga di teras asrama putri. Mereka berdua adalah korban lockdown yang berujung hidup bertahan luntang-lantung di kota mati jauh dari orang tua.

Inaira adalah satu dari empat mahasiswi yang tersisa di asrama, sedangkan Pangga satu-satunya yang tersisa di asrama putra. Asrama mereka bersebelahan, sehingga cara menghibur diri pun masih diberi kesempatan oleh Tuhan. Setidaknya, mereka bisa saling berbincang mengutarakan apa yang menjadi beban dan segala hal yang terpendam.

“iya, Ra. Dulu, pikirku kuliah itu mudah dan menyenangkan. Seperti di film-film yang sering kutonton, atau novel-novel yang pernah kubaca. Ternyata kuliah tak seindah itu. Sama sekali tak seindah yang kubayangkan. Apalagi masa Covid 19 seperti ini, membosankan, melelahkan, bahkan … ya sudahlah,” ungkap Pangga yang memiliki keresahan yang sama dengan Inaira.

“Iya, Ngga. Aku bingung, tiba-tiba perkuliahan ini tugasnya jadi gunung. Aku paham, ini sudah jadi tanggung jawab kita sebagai mahasiswa, tapi kan, tidak seharusnya tugas diberikan terus menerus. Kadang, tanpa adanya penjelasan materi, lho. Terus tenggat waktunya luar biasa sekali,” ujar Inaira dengan ekspresi seakan-akan benci sekali dengan keadaan dan situasi yang dialami.

“Tidak, tidak. Itu biasa, Ra. Kita tidak boleh mengeluh. Mahasiswa dilarang mengeluh, tapi si, tak salah juga kan kalau mahasiswa resah,” spontan Pangga menjawab dengan bijak berujung kelakar karena sedikit banyak, ia juga merasakan hal yang sama dirasakan Inaira.

Mereka yang sore itu hanya bisa duduk di teras asrama, mulai saling bertukar cerita dari keresahan yang mereka rasakan. Kebetulan pada hari itu keduanya sedang libur kuliah, seharusnya. Tapi, karena dosen bisa mengubah jadwal kapan saja, hari Sabtu mereka pun harus dilalui dengan tidak biasa.

Inaira masih kesal sekali dengan kejadian yang barusan dia alami saat perkuliahan. Ia pun menceritakan semuanya ke Pangga tanpa basa-basi, “Coba bayangkan, Ngga, begini kata dosen,” cetus Inaira.

*

“ini link google meet kita hari ini ya, kita masuk pukul 15.30 saja,” ujarnya.

“baik, bu..,” semua mahasiswa merespon dengan jawaban yang sama di dalam grup WhatsApp.

Belum seluruh mahasiswa menjawab, tulisan ‘Dosen sedang mengetik pesan….’ menjadi perhatian dan akhirnya masuklah pesan, “Sebelum memulai perkuliahan silakan kerjakan tugas yang ibu berikan di google classroom ya, nanti 15.30 akan kita bahas.”

Saat itu, Inaira hanya bisa berbicara dalam hati, “Bu waktunya ga bisa di perpanjang ya bu?” Belum juga selesai gumam sendiri, tiba-tiba pesan dari dosen masuk lagi, “Nanti, tugasnya akan kita bahas!!! jadi kerjakan secepatnya ya, kalo bisa sebelum 15.30 sudah siap lebih bagus, yang telat mengumpulkan ibu anggap hadirnya terlambat ya.”

Pesan tersebut dianggap mahsiswa seolah tak berperasaan. Mereka merasa dirinya diperlakukan seperti robot yang kinerjanya bisa optimal dengan waktu yang ditentukan, “Yah, tega.. mahasiswa juga manusia. Terus, gak semuanya bisa dipukulratakan,” gumam Inaira dalam hati seketika membaca pesan dari Dosennya.

Saat menceritakan itu ke Pangga, Inaira tampak sekali kesal dengan dosennya. Namun, Pangga justru tertawa seperti dengan sengaja menunjukkan dirinya suka melihat temannya menanggung kesal di dada.

“Ngga, kok ketawa si… Duh, tau tak, belum juga siap, tugas yang pertama, tiba-tiba masuk lagi pesan,” celetuk Inaira.

“Sudah hadir semua ya, kita langsung mulai saja perkuliahannya, silakan jelaskan materinya.”

Saat itu teman Inaira, Yanti bergumam dalam hati,”ya ampun bu, mau jelasin apa coba, baru juga selesai buat tugasnya, belum di pahami, apa yang mau di jelasin, gimana coba kan ga paham.”

“Terus ada cerita lain lagi tak?” Pangga memotong dengan sengaja memancing Inaira untuk bercerita lebih banyak lagi.

Inaira pun tertarik buat bercerita lebih. Ia menceritakan dosen lainnya yang suka tiba-tiba tukar aplikasi saat belajar. Suatu hari, Si Yanti pernah beralasan, “bu maaf jaringan saya kurang bagus jadinya suara ibu kurang jelas, bisa diulangi bu?” Tidak jelas apakah ini perkara jaringan atau mahasiswanya usil, tapi dengan begitu si Dosen pun spontan menjawab, “baik, jaringan ibu juga sepertinya kurang bagus ya, kita lanjut grup whatsapp saja ya.”

Mahasiswa yang gemar belajar tentunya kecewa dengan keputusan itu, tapi bagi yang suka beralasan dan malas belajar mereka merasa momen itulah yang paling ditunggu. Dengan begitu, budaya mahasiswa mengiyakan segala hal dari dosen pun berjalan dengan baik.

“Baik, Bu. Iya, Bu. paham, Bu,” seperti lomba pesan-pesan itu masuk di dalam grup WhatsApp.

Inaira masih bercerita dengan semangat, tiba-tiba Pangga memotong, “Ra, sampai di situ, siapa yang salah? Mahasiswa atau dosen?” Ujarnya sambil tertawa.

Di saat yang sama, Inaira terdiam. Ia kebingungan. Ia sadar bahwa itu juga tidak sepenuhnya Dosen bisa disalahkan. Namun, ia tidak menjawab justru melanjutkan ceritanya, “Entah. Selain itu, ada juga yang gini, siakan presensi ya, yang vn ibu anggap hadir,” lanjut Inaira.

Setelah absensi lewat Voice Note (VN) masuk lagi pesan, “baik sebelum kita lanjut perkuliahan silakan kalian cari jurnal tentang materi kita hari ini, baca dan pahami ya, kalo tidak paham nanti silakan ditanyakan, tapi kalian pasti paham kok, nanti ibu akan berikan tugas.”

Tugas lagi tugas lagi. Itulah yang menjadi keluhan terpopuler di masa pandemi seperti yang dibicarakan Inaira dalam hati, “Loh, Bu, tugas yang tadi belum dibahas, ini tugas baru lagi,”

Di sisi lain, mahasiswa lainnya hanya bisa melestarikan budayanya, “baik, Bu. Iya, Bu,” penuh kekesalan.

Belum genap 30 menit, pesan dari dosen kembali masuk, “Yang sudah dapat jurnal silakan dikirim ke grup ya. Nanti ibu pilih 7 jurnal saja. Silakan buat ppt dan presentasi jurnalnya, ibu akan pilih orangnya. Jurnal pertama kelompok Yanti dan Inaira. Yang lain, silakan kerjakan tugas, yang sudah ibu krm di google classroom, batas pengumpulannya pukul 16.30.”

*

“Ra, pertanyaanku belum dijawab,” ucap Pangga setelah Inaira selesai bercerita.

“Lelah aku membayangkan. Sulit dipahami. Sulit dicerna. Tapi, itu nyata. Siapa yang salah? Apa pandemi ini membuat segala solusi tidak bisa diambil andil dengn komunikasi lebih untuk saling mengerti satu sama lain,” jawab Inaira sedikit kesal.

Pangga pun tersenyum. Ia tahu bahwa temannya itu sedang tidak baik karena merasa banyak hal dirasakan di luar dari ekspektasinya. Hingga banyak melihat kejadian hanya dari satu sudut pandang saja, “Ra, aku tahu. Aku juga ngerasain hal yang sama kok. Tapi begini, apa yang dilakukan dosen-dosen kita itu tidak sepenuhnya salah. Justru mereka ingin melihat bagaimana kita jadi orang yang tanggung jawab dan kerja keras,” ujarnya.

“Tapi, Ngga—,”

“Begini, sadar gak sih, kalau dosen juga punya kekesalan yang ke kita. Bayangkan, dengan keadaan yang sekarang ini, kawan-kawan mahasiswa kita banyak dengan sesuka hati beralasan, ini-itu. Ada yang tiba-tiba jaringan rusak, tiba-tiba izin ke toilet belum diizinin sudah ngilang. Ada yang dengan sengaja matikan kamera dengan alasan jaringan tak bersahabat,” jelas Pangga dengan berusaha menenangkan temannya.

“Terus soal tugas dan yang tiba-tiba itu bagaimana?” Inaira berusaha membela, tapi usaha Pangga buat menjelaskan tidak patah arah.

“Itu adalah cara dosen melihat bagaimana karakter mahasiswanya. Toh, biasanya kan tatap muka, Mudah menilainya. Kalau ini, harus dengan strategi. Jadi, cara yang begitu yang paling utama dilihat dosen adalah respon mahasiswanya,” Pangga tersenyum, “pernah terpikir tak, sekarang kita ngeluh ini itu, tidak jelas. Nanti, pas nilai kita keluar rendah, dosen kita salahkan, padahal kita yang tak serius mau belajar,” lanjut Pangga.

“Benar juga si,” Inaira tertawa.

“Tapi, iya, memang begini kondisinya. Semakin kita manut sama mengeluh, maka kita akan merasa semuanya buruk saja. Padahal, di setiap sisi itu selalu adil. Dosen juga melihat kita seperti itu. Jadi, santai saja. Jangan banyak tingkah,” kata Pangga.

“Kalau dosennya bertingkah?” Tanya Inaira polos.

“Ya sudah, lawan,” Pangga lagi-lagi tertawa.

Pangga pun pulang ke Asramanya seiring dengan Inaira yang meninggalkan teras tempat mereka bercerita. Sore itu perbincangan terasa tidak memiliki manfaat bagi keduanya, tapi setidaknya mereka bisa saling mengingatkan bahwa dalam keadaan apapun jangan pernah melihatnya hanya dari satu sisi saja. Begitu pula dengan pandemi Covid 19 ini, barangkali Bumi ini kita selamat dari hal-hal yang selama ini mengakibatkan kekacauan tanpa di sadari. 2020 memang unik, tentu banyak hal menarik yang akan menjadi sejarah tersendiri.

Pada akhirnya, perang Dosen dan Mahasiswa di dalam jaringan hanyalah sebatas fase adaptasi perubahan. Sebab, sampai hari ini, keduanya hanya merasakan kesal sendiri.