IndexU-TV

Ekspor Pasir Laut Dibuka Lagi, Kiara Duga Akan Dikirim ke Singapura

Ilustrasi aktivitas tambang pasir laut. (Foto:Dok/Mongabay)

JAKARTA – Pemerintah kembali membuka ekspor pasir laut setelah 20 tahun dikunci. Larangan ekspor itu dicabut setelah direvisi Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 9 September 2024, diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024.

Pembukaan ekspor itu juga telah diizinkan Presiden Joko Widodo. Penjualan pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

PP ini mengatur mengenai pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang dilakukan untuk: 1) menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut; dan 2) mengoptimalkan Hasil Sedimentasi di Laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut meliputi tahap perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan. Hal yang harus menjadi catatan adalah, Peraturan Pemerintah (PP) ini mulai berlaku pada tanggal 15 Mei 2023. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 61), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dalam Kepmen KKP Nomor 82 Tahun 2021, tercatat harga pasir laut untuk dalam negeri dibanderol Rp188 ribu per meter kubik, sedangkan untuk ekspor dipatok Rp288 ribu per meter kubik.

Dilansir dari Bisnis.com, Ahad 22 September 2024, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menduga pasir sedimen yang terdapat di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk di Natuna dan Natuna Utara, akan diekspor ke Singapura guna mendukung rencana megaproyek pelabuhan terbesar di Negeri Singa.

Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati menilai bahwa wilayah Natuna-Natuna Utara menjadi daerah yang paling ingin dikeruk. Pasalnya, dari total potensi volume hasil sedimentasi dari tujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik, 51% berasal dari Natuna atau sebesar 9,09 miliar meter kubik.

Hal ini juga menimbulkan keraguan apakah mungkin hasil sedimentasi di Natuna dan Natuna Utara begitu luas dibandingkan enam lokasi lainnya sehingga negara mengeluarkan konsesi sampai 9,09 miliar meter kubik. Ia menduga ini ada kaitannya dengan rencana Singapura untuk membangun proyek reklamasi pelabuhan Tuas yang digadang-gadang bakal menjadi pelabuhan terbesar di dunia.

“Kita mencoba berbaik sangka, tapi kayaknya nggak bisa kami berbaik sangka dalam hal ini, karena 9 miliar itu bukan angka main-main,” ujar Susan dikutip dari Bisnis.com.

Pemerintah beberapa waktu lalu menerbitkan aturan mengenai pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut yang salah satunya digunakan untuk ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.16/2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pemerintah telah menetapkan tujuh lokasi yang dapat dilakukan pengerukan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

Lokasi tersebut yakni Demak, Jawa Tengah dengan potensi volume hasil sedimentasi di laut sebanyak 1,72 miliar meter kubik, Surabaya, Jawa Timur dengan potensi sebanyak 399 juta meter kubik, dan Cirebon, Jawa Barat 621 juta meter kubik. Kemudian, Indramayu, Jawa Barat dengan potensi volume hasil sedimentasi di laut sebanyak 1,10 miliar meter kubik, Karawang, Jawa Barat sebanyak 1,74 miliar meter kubik, Selat Makassar, Kalimantan Timur sebanyak 2,97 miliar meter kubik, dan Natuna-Natuna Utara, Kepulauan Riau sebanyak 9,09 miliar meter kubik.

Apabila di total, potensi volume hasil sedimentasi dari tujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik.

Kiara juga memperkirakan Indonesia berpotensi meraup penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp1.122 triliun dari ekspor pasir laut hasil sedimentasi.

Nilai tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan total kebutuhan material untuk diekspor diperkirakan mencapai 17,23 miliar meter kubik.

Dari total potensi volume hasil sedimentasi dari tujuh lokasi pengerukan hasil sedimentasi sebesar 17,65 miliar meter kubik dikurangi kebutuhan material reklamasi dalam negeri sebanyak 421 juta meter kubik.

Ilustrasi reklamasi Perbesar Dengan menggunakan harga patokan luar negeri yakni sebesar Rp186.000 per meter kubik sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.6/2024 dan PNBP sebesar 35%, maka total PNBP yang diterima sebesar Rp1.122 triliun.  “Artinya ada Rp1.000 triliun PNBP akan diterima. Ini asumsi,” kata Susan.

Sementara itu, PNBP yang diterima negara dari penggunaan pasir laut di dalam negeri diestimasikan mencapai Rp11,7 triliun. Nominal tersebut dengan asumsi kebutuhan material reklamasi dalam negeri sebanyak 421 juta dengan menggunakan harga patokan Rp93.000 per meter kubik dan PNBP sebesar 30%.

Meski bisnis ini cukup menggiurkan, Susan lantas mempertanyakan dampaknya terhadap terhadap kedaulatan dan kesejahteraan nelayan. Jangan sampai, PNBP yang diterima tidak dirasakan manfaatnya oleh para nelayan.

“Artinya PNBP itu jadi nonsense kalau kemudian kita bicara hanya sebatas pada angka. Karena pada terapannya, kedaulatan dan kesejahteraan nelayan sangat jauh,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan yang mengatur pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

Kebijakan yang dimaksud yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, termasuk aturan-aturan turunannya seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.21/2024 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No.33/2023.

“Kebijakan ini bukan solusi mengelola dan mengatasi sedimentasi laut,” kata Karim.

Baca juga: Pengamat Ekonomi UGM: Faktanya Kebijakan Ekspor Pasir Laut Sama Saja Jual ‘Tanah Air’

Ia menuturkan, secara oseanografi, sedimentasi laut ada yang bersifat alamiah. Misalnya terjadi karena bencana alam seperti letusan gunung berapi yang mengalirkan laharnya lewat daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara ke laut. Sedimentasi laut juga dapat terjadi akibat tindakan eksploitasi ekstraktivisme manusia di daerah hulu sungai dan pesisir yang masuk ke perairan laut, seperti penambangan dan sebagainya.

Alih-alih mensejahterakan nelayan, kebijakan ini justru dinilai mensejahterakan oligarki dan korporasi yang akan mendapat izin usaha penambangan pasir laut. “Tentu bagi saya, kebijakan ini tidak akan mungkin mensejahterakan nelayan,” ujarnya. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News

Exit mobile version