Fenomena Kasus Korupsi Mantan Dirut dan Kabag Keuangan PDAM Tirta Karimun yang Rugikan Negara Rp4,9 Miliar

Karimun, Ulasan.coKorupsi, yang kata latinnya, corruptio dari kata kerja corrumpere  yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada  mereka.

Korupsi merupakan penyalahgunaan kewenangan, jabatan atau amanah secara relawan hukum untuk memperleh keuntungan atau manfaat memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugiakan kepentingan umum, keuangan dan perekonomian negara.

Telaah sosiologis fenomena korupsi disebabkan faktor sosial budaya dan faktor lemahnya penegakan hukum sehinga dibutuhkan Upaya pemberantasan korupsi perspektif hukukm Islam, meliputi penegakan supremasi hukum, perbaikan sistem upah, dekonstruksi budaya yang melestarikan korupsi dan pembuktian terbalik.

Menurut Kartono (1983), korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna memperoleh keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Sementara menurut Wertheim (1965), korupsi berawal dari balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seseorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya atau hingga kepada kelompoknya. Dengan demikian, secara garis besar, korupsi merupakan tindakan yang mementingkan kepentingan pribadi dengan cara ilegal sehingga bersifat merugikan kepentingan umum.

Salah satu contohnya ialah kasus Mantan Dirut dan Kabag Keuangan PDAM Tirta Karimun yang merugikan negara Rp4,9 Miliar. Dikutip dari lendot.com, kedua terdakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4.948.908.775. Kejaksaan Negeri Karimun pun melimpahkan perkara dugaan korupsi PDAM Tirta Karimun yang menyeret mantan Direktur Utama Indra Santo dan Kepala Bagian Keuangan Joni Setiawan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) di Tanjungpinang.

“Kedua terdakwa telah kita limpahkan kemarin ke Pengadilan Tipidkor Tanjungpinang. Hasil perhitungan BPKP kerugian negara mencapai Rp4,9 miliar,” kata Martua, dikutip dari lendot.com.

Ia mengatakan, kedua terdakwa didakwakan pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 ayat 1 huruf b UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dan pasal 3 Jo pasal 18 ayat 1 huruf b UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Ada beberapa sebab terjadinya korupsi. Menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah pertama kelemahan moral, kedua tekanan ekonomi, ketiga hambatan struktur administrasi, dan keempat hambatan struktur sosial. Sebab lainnya yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah: perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna, administrasi yang lamban serta tidak luwes, tradisi untuk menambah penghasilan, anggapan “sudah biasa” terhadap tindakan korupsi di mana contohnya seperti pembiasaan budaya suap-menyuap, dan hukuman yang cenderung ringan dan tidak sesuai dengan besaran yang telah dikorupsi.

Jika menurut pendapat sosiolog legendaris, seperti Ibn Khaldun, sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Untuk memenuhi belanja kemewahan itulah kelompok yang memerintah terpikat dengan urusan-urusan korupsi.

Sebab-sebab lain merupakan efek lanjutan yang disebabkan oleh korupsi selanjutnya, merupakan reaksi berantai yang disebabkan oleh korupsi. Korupsi kelompok penguasa menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi, dan kesulitan ini pada gilirannya menjangkit korupsi yang lebih lanjut.

Pertalian korupsi dan kriminalitas merupakan suatu fenomena yang dikenal luas. Namun, bentuk-bentuk pertalian itu berbeda-beda menurut derajat korupsinya. Ketika korupsi berkembang makin parah, bentuk-bentuk ini makin berlipat ganda. Demikianlah, kasus-kasus yang menyeret para elit politik saat ini sudah semakin lumrah terjadi.

Pada umumnya, diakui bahwa korupsi adalah problem yang berusia tua dan semua masyarakat manusia, kecuali yang sangat primitif, dengan derajat yang berbeda-beda, dijangkiti korupsi. Masih tergantung pada derajat korupsi dan seperangkat kondisi-kondisi lain, dengan tepat sudah dinyatakan bahwa kelangsungan dan perkembangan suatu tatanan politik, sosial, kultural, ataupun ekonomi tidaklah perlu harus tersia-siakan atau dihalangi oleh kejangkitan korupsi belaka.

Beberapa pengamat melangkah lebih jauh dengan mengakui bahwa dalam beberapa contoh korupsi telah membantu meningkatkan perkembangan ekonomi dan efisiensi.

Sebagai mahasiswa Sosiologi, dalam negara-negara yang sedang berkembang, saya pribadi memandang korupsi birokrasi juga sedang merajalela, atau sekedar berlangsung berupa pemberian-pemberian tradisional pada mereka yang menduduki jabatan atau memegang kekuasaan tertentu. Dalam beberapa kawasan, kelambatan dalam penyesuaian administrasi dan langgengnya pandangan-pandangan lama telah memperparah problem korupsi itu.

Sebagaimana digambarkan oleh Wertheim (1965), dalam hubungannya dengan Indonesia yaitu, utamanya kita harus memperhitungkan bahwa bentuk-bentuk sesudah perang dari apa yang disebut korupsi seringkali masih meyembunyikan peninggalan struktur sosial tradisional.

Budaya korupsi di dalam birokrasi bisa diminimalisir dengan cara merubah paradigma birokrat itu sendiri, saya tertarik untuk memberikan asumsi terhadap cara merubah secara fundamental birokrasi di negara kita, bahwa penanggulangannya harus dimulai dengan cara yang tersistematis. Dalam hal ini, harus diawali dengan sistem perekrutan dan pengangkatan harus dijauhkan dari asas kekeluargaan atau politik, sehingga birokrat yang terpilih adalah birokrat profesional.

Editor: Din