Festival Lima Gunung 2021 Digelar di Gunung Andong

Festival Lima Gunung 2021 Digelar di Gunung Andong
Para seniman melakukan performa seni kolaborasi dalam Festival Lima Gunung XX/2021 putaran kelima di kawasan Gunung Andong Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jateng, Ahad (10/10/2021). (Foto: Antara)

Magelang – Festival Lima Gunung XX/2021 putaran kelima digelar kalangan seniman petani di lahan pertanian hortikultura kawasan Gunung Andong, Kabupaten Magelang, Minggu (10/10).

Festival tahunan secara mandiri itu digelar Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang di areal pertanian hortikultura Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak. Kegiatan ini diikuti sekitar 50 seniman, terutama dari dusun setempat.

Hadir pada festival putaran kelima itu, antara lain Kepala Desa Girirejo Slamet Riyadi, Kadus Mantran Wetan Handoko, budayawan dan perintis Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, dan pimpinan Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang Muhammad Nafi.

Para seniman memulai rangkaian festival dengan arak-arakan melewati jalan desa yang sudah dicor semen. Mulai dari jalan penghubung Ngablak-Grabag di tengah dusun setempat. Lalu ke jalan setapak di areal pertanian hortikultura hingga berakhir di tempat pergelaran di lahan sayuran milik Ketua KLG Supadi Haryanto dengan latar belakang Gunung Andong.

Seorang penari menunggang kuda dalam arak-arakan tersebut diiringi para penari jaran kepang.

Baca Juga : Tahun Ini Festival Danau Sentarum 2021 Batal Dilaksanakan

Mereka yang ikut dalam acara di lahan pertanian hortikultura dengan tiga mata air di sekitarnya. Yakni Ngrowo, Tulangan, dan Curah.

Kemudian ada seniman Sanggar Andong Jinawi Mantran Wetan, Sanggar Domsuntil Warangan, Sedalu Art and Culture Community Boyolali, dan New Asmara Entertain Secang.

Lalu ada juga sejumlah penari dari beberapa tempat, seperti Nungky Nur Cahyani (Purwarejo) dan Venny (Subang). Masing-masing mengenakan masker dalam seluruh rangkaian acara mulai pukul 09.00-11.00 WIB.

Tema besar FLG XX/2021 “Peradaban Desa”. Sedangkan pada putaran kelima dengan subtema “Disrupsi Desa Kontemporer Tradisi Maya”.

Putaran pertama festival pada 21 Mei 2021 di sumber air Tlompak Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kabupaten Magelang. Putaran kedua pada 29 Agustus 2021 di areal persawahan padi Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag. Putaran ketiga pada 12 September 2021 Sungai Gendu Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis. Putaran keempat pada 29 September 2021 di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid.

Baca Juga : PPKM Wilayah Jawa dan Bali Turun ke Level 3

Dalam festival putaran kelima di Dusun Mantran Wetan, para seniman selain melakukan performa seni, juga menyuguhkan tembang jawa dan kidung doa.

Penyair KLG Haris Kertorahardjo membacakan puisi panjang karyanya dengan judul “Matematika Air Desa” diiringi gamelan ditabuh seniman Sanggar Andong Jinawi.

Para seniman juga membawakan tarian jaran kepang berkolaborasi dengan para seniman melakukan performa seni. Iringan gamelan menyemarakkan seluruh perhelatan.

Kades Girirejo Slamet Riyadi mengatakan melalui Komunitas Lima Gunung dengan festivalnya, masyarakat desa bisa menjadi inspirasi bagi kehidupan bersama dalam berbagai situasi, termasuk pandemi.

Ia menyebut semangat berkesenian tetap hidup dalam masyarakat desa meskipun situasi pandemi COVID-19, karena nilai-nilai hidup berkesenian mewujudkan kehidupan warga yang guyup rukun, kebersamaan, dan gotong royong.

Baca Juga : Wilayah Kabupaten Magelang Diguyur Hujan Abu Merapi

“COVID-19 ini sungguh ada dan situasi tidak menentu, tetapi masyarakat desa tetap menghidupi gotong royong, kebersamaan, dan tarian-tarian dalam festival ini menjadi doa bersama. Desa menjadi makmur karena disediakan segalanya,” katanya.

Budayawan Sutanto Mendut menyebut lahan hortikultura untuk penyelenggaraan Festival Lima Gunung sebagai “panggung rahmatan lil alamin”.

“Karena pandemi, ide sederhananya pentas pakai mantra desa. Ini bagian disrupsi, banyak sektor kehidupan bingung, tetapi desa tetap rendah hati, sehingga terjadi festival di lahan sayuran, desa tetap bersyukur dalam situasi apapun, termasuk pandemi, karena beroleh rahmat lingkungan alam dan gunung untuk kehidupan,” katanya.

Muhammad Nafi mengemukakan disrupsi bukan hanya ada dalam kaitan dengan perkembangan media di era digital saat ini, akan tetapi juga ada dalam kenyataan keseharian.

“Seperti dalam festival ini, dalam pertanian, ada fase pergantian tanam, lalu digunakan untuk kegiatan ini. Kebaruan terus-menerus di KLG menjadi contoh, ketika dari fase ke fase lain, bisa menjadi baik dan tidak baik, atau tidak jadi apa-apa, ya hanya berlalu saja,” katanya.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *