Gelap Gulita di Tengah Euforia ‘Kepri Terang’

Listrik adalah faktor vital bagi pembangunan daerah. (Foto: PLN)
Listrik adalah faktor vital bagi pembangunan daerah. (Foto: PLN)

KEPRI – Program Kepri Terang yang digadang-gadang Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) menjadi salah satu simbol keberhasilan pembangunan di bidang penerangan, ternyata belum dibarengi dengan kemampuan PT PLN.

Kinerja perusahaan yang “memonopoli” bisnis penerangan itu pun dipertanyakan setelah banyak warga di pulau-pulau terluar belum merasakan penerangan di usia kemerdekaan RI ke-80. Bahkan “mati lampu” masih menjadi pemandangan tak sedap di kawasan perkotaan, dengan alasan pemeliharaan jaringan listrik.

Ironinya, pemerintah berupaya menghadirkan listrik 24 jam hingga ke pelosok, terutama di pulau-pulau terluar yang selama bertahun-tahun hidup dalam keterbatasan energi.

Gubernur Kepri Ansar Ahmad berkali-kali menegaskan bahwa listrik adalah faktor vital bagi pembangunan daerah.

“Listrik adalah nyawa pembangunan. Tanpa listrik, sulit bagi sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi untuk bergerak,” tegasnya.

Kondisi perubahan paling terasa terjadi sejumlah desa di Natuna. Warga Pulau Panjang, misalnya, kini bisa merasakan malam yang lebih terang. Jika sebelumnya mereka hanya mengandalkan pelita, kini listrik menyala sepanjang malam.

“Dulu kalau malam kami hanya pakai lampu minyak. Sekarang anak-anak bisa belajar lebih lama, bahkan warung saya bisa jualan minuman dingin karena ada kulkas,” kata Siti Aminah, warga Pulau Panjang, penuh semangat.

Keberadaan listrik jelas membawa dampak besar. Anak-anak bisa belajar tanpa hambatan, kegiatan ekonomi rakyat kecil tumbuh, dan kualitas hidup perlahan meningkat. Program Kepri Terang memberi secercah harapan baru bagi mereka yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang gelap.

Pemadaman Bergilir Pelayanan Tanpa Solusi

Ironinya, di saat desa-desa terpencil mulai merasakan terang, warga perkotaan justru menghadapi kenyataan pahit. Masyarakat di Tanjungpinang, Batam, Karimun, Bintan, hingga Lingga kerap resah dengan jadwal pemadaman bergilir yang diumumkan PLN.

Alasannya beragam, mulai dari pemeliharaan jaringan, gangguan teknis, hingga keterbatasan pasokan daya. Tak jarang pula, terjadi blackout mendadak yang membuat aktivitas warga lumpuh seketika.

Di Daik Lingga, misalnya, listrik bisa padam hingga empat kali sehari. Kondisi itu memicu kemarahan warga.

“Sudah bayar tiap bulan, tapi listrik padam berkali-kali. Peralatan rumah tangga kami banyak yang rusak. PLN harus bertanggung jawab,” keluh Junaidi, salah seorang warga Daik.

Di Karimun, warga bahkan harus terbiasa dengan jadwal resmi pemadaman yang diumumkan PLN. Bupati Karimun, Iskandarsyah meskipun setiap tahun Karimun mendapat tambahan pasokan daya sekitar 2 MW, jumlah tersebut belum cukup untuk mengantisipasi pemeliharaan maupun kerusakan teknis di pembangkit.

“Masalah utama kita muncul saat ada pemeliharaan di PLTU. Karena cadangan hanya 1–2 MW, begitu ada gangguan langsung blackout,” ujar Iskandarsyah.

Sementara di Batam, pemadaman mendadak pernah berlangsung belasan jam, membuat warga terpaksa menyalakan genset darurat untuk sekadar menyalakan lampu dan kipas angin.

Menanggapi keluhan itu, pihak PLN Batam menyampaikan permohonan maaf. Mereka menegaskan pemadaman tidak bisa dihindari karena adanya pekerjaan pemeliharaan dan perbaikan jaringan yang terganggu.

Sekretaris Perusahaan PT PLN Batam, Samsul Bahri, menjelaskan bahwa faktor eksternal juga sering menjadi pemicu.

“Jaringan listrik umumnya terdiri dari tiga kabel. Jika benang atau plastik layang-layang menyentuh ketiganya sekaligus, akan terjadi short circuit atau arus pendek. Proses perbaikannya tidak bisa instan, sehingga pemadaman bisa berlangsung cukup lama,” jelasnya.

Meski begitu, penjelasan teknis ini tak serta-merta meredakan keresahan warga. Masyarakat tetap menuntut kepastian solusi. Sampai kapan pemadaman bergilir akan menghantui masyarakat.

Kelalaian Layanan PLN Bisa Digugat

Tulus Abadi (YLKI Pusat) dalam artikel di laman ombudsman.go.id menerangkan UU Ketenagalistrikan memandatkan penyedia listrik wajib memberikan aliran listrik yang terus menerus dengan kualitas baik.

Sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Ketenagalistrikan, pada Pasal 28 huruf b berbunyi “Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat.”

Kemudian selanjutnya di Pasal 29 Ayat (1) huruf a sampai c, konsumen berhak untuk mendapat pelayanan yang baik, mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik, memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga wajar.

Jelas bahwa masyarakat tidak bisa harus terus maklum dengan pelayanan pemadaman bergilir, apapun alasannya. Pada dasarnya masyarakat membutuhkan solusi konkret, kalau memang tidak bisa, PLN wajib memiliki rencana mitigasi atau cadangan sehingga aliran listrik dapat terus berjalan.

Karena banyak sekali kerugian pelanggan dengan padamnya aliran listrik terutama masyarakat yang memiliki usaha kecil yang bergantung terhadap listrik.

Pada Pasal 29 Ayat (1) huruf d dan e, disebutkan bahwa konsumen berhak mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik dan mendapat ganti rugi apabila pemadaman diakibatkan kelalaian penyedia listrik yakni PLN.

Logikanya PLN harus bertanggungjawab penuh atas gangguan pemadaman yang terjadi.

Fenomena pemadaman listrik sebenarnya bukan hanya sekadar fenomena yang perlu kompensasi atas kerugian yang sudah ditimbulkan tapi juga menunjukkan ketidakmampuan PT PLN dalam memenuhi tugas dasarnya sesuai mandat undang-undang dan kewajibannya memberikan perlindungan terhadap konsumennya.

Usaha Kecil yang Terpuruk

Dampak dari pemadaman listrik oleh PLN tak hanya dirasakan di rumah tangga, tetapi juga pada sektor usaha. Miskah, seorang pelaku usaha laundry rumahan, mengaku sangat terganggu dengan listrik yang sering mati mendadak.

“Mesin cuci saya jadi cepat rusak karena sering mati mendadak. Kalau begini terus, bisa-bisa usaha saya terhenti. Kami butuh listrik yang stabil, bukan sekadar lampu yang hidup mati,” ujarnya.

Hal serupa juga dialami pelaku UMKM lain, mulai dari pedagang es hingga bengkel las. Ketidakpastian pasokan listrik membuat mereka sulit beroperasi optimal, bahkan ada yang harus menanggung kerugian akibat peralatan rusak.

Di tengah situasi ini, warga berharap pemerintah tidak berhenti hanya pada pencitraan. Mereka menuntut penyelesaian nyata agar listrik benar-benar stabil, baik di desa maupun kota.

“Kami butuh listrik yang stabil, bukan sekadar lampu yang kadang hidup kadang mati,” ujarnya Andi, warga Tanjungpinang.***