GMNI DPC Tanjungpinang-Bintan Siap Kawal RUU PKS Kembali ke Prolegnas

Tanjungpinang, Ulasan. Co – Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) DPC Tanjungpinang-Bintan menyatakan kesiapannya dalam mengawal Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali ke Prolegnas prioritas pada 2021.

Hal tersebut disampaikan oleh Dedi Irwansyah selaku Ketua Umum GMNI DPC Tanjungpinang-Bintan setelah menggelar diskusi dengan tajuk ‘Kenapa RUU PKS? Harus disahkan?’.

“GMNI Tanjungpinang-Bintan akan terus mengawal Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali ke Prolegnas perioritas pada 2021,” ujar Dedi, Sabtu (29/8).

Menurutnya, beberapa hari belakangan ini pemberitaan mengenai kekerasan seksual marak diperbincangkan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan  kasus kekerasan seksual yang semakin hari semakin bertambah sehingga diperkirakan hitungan kasus mencapai kurang lebih 431.000 kasus yang sudah dilaporkan.

Lanjut Dedi,  rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) digagas pada 2012 lalu, kemudian mulai disusun Komnas perempuan, LBH Apik Jakarta, dan Forum Pengada Layanan 2014, hingga 2016 draf RUU PKS diserahkan ke DPR serta masuk ke Prolegnas prioritas. Namun, hingga saat ini dengan banyak pertimbangan dicabut dari Prolegnas prioritas pada tahun 2020 malah menimbulkan banyak pertanyaan.
Hingga saat ini, juga belum ada kebijakan yang mengakomodir hak-hak korban kekerasan seksual secara komprehensif. Kehadiran RUU PKS yang mengakomodir hak-hak korban tentu mutlak dibutuhkan sebagai payung hukum.

Dedi juga menyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan perbuatan yang tercela yang dapat berakibat pada kesengsaraan.

“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik,” jelas Dedi lagi.

Dedi juga sempat memaparkan kekerasan seksual di mata hukum yakni pada pasal 11 ayat (2) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari:
a. Pelecehan seksual.
b. Eksploitasi seksual.
c. Pemaksaan kontrasepsi.
d. Pemaksaan aborsi.
e. Perkosaan.
f. Pemaksaan perkawinan.
g. Pemaksaan pelacuran.
h. Perbudakan seksual.
i. Penyiksaan seksual.

Kemudian di dalam Pasal 11 Ayat (3) menyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya.

Selain Dedi, Sarinah Besse selaku Kabid Sarinah mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS masih terbentur.

“Pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan juga masih menjadi perdebatan. Tujuan penghapusan kekerasan seksual adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual. Menangani,  melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku, menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat, serta korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual,” ungkap Sarinah Besse selaku Kabid Sarinah.

Lanjut Sarinah, tindakan kekerasan seksual termasuk yang terjadi dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam, dan situasi khusus lainnya Ketentuan mengenai hak korban, keluarga korban, dan saksi kekerasan seksual juga dijelaskan secara gamblang pada pasal 21 hingga 41. Hal ini merupakan alasan mengapa RUU PKS harus disahkan. Karena RUU PKS membahas secara detail mengenai kekerasan seksual yang sangat bisa membantu mengurangi angka kekerasan seksual.

GMNI DPC Tanjungpinang-Bintan menduga sementara ini semua fraksi sudah berkomitmen RUU PKS akan dimasukkan kembali ke Prolegnas prioritas pada tahun 2021 yang akan disahkan pada Oktober 2020 dengan alasan karena komisi VIII tidak bisa menyusun Draf RUU dan naskah akademik di tahun 2020.

Pewarta: Chairuddin
Editor: Redaksi