Yogyakarta – Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah mengeluarkan guguran lava pijar delapan kali dengan jarak luncur 2 Kilometer (Km) pada Rabu (02/02).
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyatakan guguran lava pijar itu meluncur dengan jarak maksimum sejauh 2.000 meter ( 2 km) ke arah barat daya mulai pukul 00.00 sampai 06.00 WIB.
Menurut Kepala BPPTKG Hanik Humaida menyampaikan, selama periode pengamatan itu Merapi juga mengalami 30 kali gempa guguran dengan amplitudo 3-24 mm selama 30-135 detik, empat kali gempa hembusan dengan amplitudo 3-6 mm selama 10-18 detik.
Berikutnya, 26 gempa hybrid atau fase banyak dengan amplitudo 3-22 mm selama 6-11 detik, lima gempa vulkanik dangkal dengan amplitudo 40-75 mm selama 10-19 detik, dan tiga gempa tektonik jauh dengan amplitudo 4-8 mm selama 59-116 detik.
“Pada Rabu pagi, asap kawah bertekanan lemah teramati berwarna putih dengan intensitas tipis dan tinggi 20-50 meter di atas puncak kawah,” katanya di Yogyakarta, Rabu.
Berdasarkan hasil analisis morfologi pada periode 21 sampai 27 Januari 2022, kata dia, tidak teramati adanya perubahan morfologi yang signifikan, baik pada kubah lava barat daya maupun kubah tengah Merapi.
Tidak teramati adanya perubahan morfologi yang signifikan baik pada kubah lava barat daya maupun kubah tengah.
Volume kubah lava barat daya sebesar 1.670.000 meter kubik dan kubah tengah sebesar 3.007.000 meter kubik.
Baca juga: Selama Sepekan Gunung Merapi 110 Kali Luncurkan Lava
BPPTKG masih mempertahankan status Gunung Merapi pada Level III atau Siaga.
Potensi bahaya saat ini berupa guguran lava dan awan panas pada sektor selatan-barat daya meliputi Sungai Boyong sejauh maksimal 5 km, dan Sungai Bedog, Krasak, Bebeng sejauh maksimal 7 km.
Sedangkan pada sektor tenggara meliputi Sungai Woro sejauh maksimal 3 km dan Sungai Gendol 5 km.
Apabila gunung api itu mengalami letusan eksplosif, lontaran material vulkaniknya dapat menjangkau daerah dalam radius tiga kilometer dari puncak gunung, demikian Hanik Humaida. (*)