Bidik  

Gurita Dinasti Politik: Dari Kepri hingga Penjuru Indonesia

Foto : ilustrasi

Solusi terbaik agar dinasti kekuasaan tidak jatuh dan terjebak dalam perilaku kolusi dan nepotisme, adalah melalui pendidikan politik bagi masyarakat. Masyarakat harus mampu dan ikut mengontrol, mengawasi kebijakan-kebijakan publik yang sering dimainkan oleh elit kekuasaan.

“Saya pesimis ada solusi terbaik dari masalah ini. Tapi, kita bisa berharap pendidikan politik di masyarakat, mampu mengontrol dan mengawasi kebijakan yang keluar dari pemilik kekuasaan, khususnya kekuasaan yang dibangun melalui gurita dinasti politik,” tambahnya.

Zamzami juga menyentil realitas dinasti politik yang mengakar kuat di Provinsi Kepulauan Riau, yang harus terus dikontrol dan diawasi. Dalam sistem masyarakat madani, rakyat Kepri harus menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan, sehingga setiap kebijakan publik yang muncul tidak melewati batas hukum dan merugikan masyarakat.

Untuk catatan, dinasi kekuasaan politik keluarga yang sudah terbangun di Kepri, membuat khawatir banyak kalangan akan mempengaruhi kinerja roda pemerintahan. Kabar mengenai hubungan yang tidak harmonis, antara Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad dan wakilnya, Marlin Agustina, juga diduga muncul akibat gesekan dinasti kekuasaan. Maklum, suami Wakil Gubernur Kepri, Muhammad Rudi, adalah Walikota Batam yang juga menjabat sebagai BP Batam.

Beberapa pekan lalu, kabar ditetapkannya Bupati Bintan, Apri Sujadi, sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengaturan barang kena cukai, membuah heboh masyarakat Kepri. Namun, kabar lain di waktu yang sama dan tak kalah menarik, adalah posisi Wakil Bupati Bintan, Roby Kurniawan, yang juga dikenal sebagai anak kandung Gubernur Kepri, akan naik kelas menjadi Bupati Bintan menggantikan Apri Sujadi. Dilihat dari kaca mata politik, dinasti politik kekuasaan semakin kental terasa di Bumi Melayu ini.

Kasus Walikota Tanjungpinang, Rahma, yang memposisikan suaminya sebagai Kuasa Hukum resmi Pemkot Tanjungpinang, juga menjadi perbinjangan publik, bahwa dinasti kekuasaan dam lingkup keluarga, bisa dibangun melalui banyak celah. Bila tetap dibiarkan, bukan mustahil, daftar panjang kepala daerah yang berurusan dengan KPK, juga terjadi di Kepri.

Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha berujar sejak disahkannya revisi Undang-Undang KPK, kinerja lembaga antirasuah itu minim. Ditambah lagi dengan pengangkatan pimpinan berekam jejak negatif. Apalagi dinasti politik tercermin dalam operasi tersebut.

Jika dibandingkan dengan rezim Orde Baru, dinasti politik menjamur di zaman Reformasi. Apakah partai politik juga bisa turun tangan menyelesaikan kedinastian ini, dengan membuat kesepakatan, misalnya? “Nota kesepakatan bisa saja dilakukan, tapi saya tak yakin itu bisa menjamin partai politik melaksanakan kesepakatannya dengan KPK. Tapi itu bisa dimulai dari sisi partai, mereka bisa menyeleksi apakah anggota ini berkaitan dengan pejabat publik lain secara darah,” kata Egi kepada reporter Tirto, Senin (30/8/2021).

Cara lainnya sistem pemilihan umum bisa diubah. Misalnya, jika seseorang yang ingin mencalonkan diri, namun masih ada orang tuanya yang menjabat, sebaiknya ia tidak ikut serta dalam pemilihan saat itu, kata dia. Ada tiga penyebab dinasti politik. Pertama, nafsu melanggengkan diri; kedua, tujuan untuk kepentingan pribadi atau keluarga; ketiga, politik dinasti tidak menekankan kompetensi, namun menekankan garis kekerabatan.

Pemerintah pun bisa saja membuat regulasi, misalnya menghukum koruptor dalam dinasti politik dengan hukuman yang lebih berat daripada individu. “Memungkinkan, tapi perlu dilihat juga apakah itu bertabrakan dengan hak asasi, harus ada justifikasi untuk menjatuhkan hukuman seperti itu,” kata Egi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *