Guru, Digugu dan Ditiru

Ilustrasi. (Sumber: Batasnegeri.com)

Tanjungpinang, Ulasan. Co – Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari digugu lan ditiru. Artinya guru adalah orang yang dipercaya dan diikuti. Pepatah Jawa ini diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan kata turunan ‘menggugu’, bermakna memercayai, menuruti, mengindahkan. Artinya jika seorang guru digugu berarti guru tersebut dipercaya, dituruti, dan diindahkan (baik nasihat maupun perintahnya). Sedangkan ‘tiru’ termaktub dengan kata turunan ‘meniru’ yang artinya melakukan sesuatu seperti yang diperbuat orang lain dan sebagainya; mencontoh. Dalam hal ini jelas bahwa jika seorang guru ditiru maka hal yang dilakukan guru tersebut akan menjadi contoh dan diperbuat oleh orang lain.

Siapakah yang akan menggugu dan meniru sosok guru? Dalam lingkup sempit, tentu saja para peserta didiknya. Seringkali setiap anak justru lebih memercayai ucapan atau kata-kata yang dilontarkan oleh guru daripada orang tua, meskipun konteksnya sama. Namun, apakah kini sosok guru masih dapat digugu dan ditiru? Tentu saja. Hal-hal kecil yang dilakukan oknum berlabel guru tidaklah lantas menjadi perusak sosok guru lainnya. Karena setiap guru sejatinya memiliki sifat yang luhur dalam langkah pedagogisnya.

Tepat 25 November merupakan momentum yang ditunggu oleh guru setiap tahunnya. Diawali dengan terbentuknya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912. Persatuan Guru Hindia Belanda memiliki anggota yang terdiri dari Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Di masa colonial, PGHB mendapat banyak tantangan untuk bisa memperjuangkan anggotanya yang terdiri atas beragam latar belakang sosial dan pendidikan. Namun, PGHB merupakan langkah awal terbentuknya organisasi guru terbesar di Indonesia yang masih kokoh dan solid hingga kini.

Masih dalam bayang-bayang penjajahan, Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1932. Meski mendapat sorotan tajam dari pemerintah Belanda, penggunaan nama “Indonesia” pada organisasi guru ini terus digaungkan karena merupakan impian setiap guru yang turut memperjuangkan kedaulatan. Namun saat kependudukan Jepang, PGI dilarang beraktivitas dan sekolah ditutup.

Semangat perjuangan dengan meningkatkan kualitas pendidikan tidak menyurutkan langkah para guru meski mendapat tentangan dari rezim Jepang. Terutama ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, para guru merapatkan barisan. Mereka mengadakan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini, segala perbedaan dibaurkan. Tidak ada lagi kelompok yang didasarkan pada tamatan pendidikan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku. Semua menyatu dalam semangat organisasi yang diberi nama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang dibentuk pada 25 November 1945.

Tahun ini, PGRI menginjak usia 75 tahun. Tentu bukan usia yang masih muda jika dikomparasi dengan fisik manusia. Tetapi sejatinya pendidikan akan terus bertumbuh tanpa memandang angka. Banyak hal yang terus dipelajari dan ditingkatkan meski kemerdekaan sudah di tangan. Karena tugas guru tidak berhenti sesaat setelah Proklamasi. Masih ada perjuangan yang perlu dilakukan organisasi PGRI untuk mengisi kemerdekaan, baik secara kelompok maupun personal. Dengan semangat kemerdekaan, PGRI memiliki tujuan meningkatkan kualitas pendidikan dan membangun sumber daya manusia sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan. Tidak lupa, organisasi PGRI turut membela dan memperjuangkan hak dan nasib guru, termasuk para honorer.

Sebagai bentuk penghormatan kepada guru di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November 1945 sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Pada kehidupan normal sebelum pandemi, peringatan Hari Guru selalu diisi dengan upacara khidmat, penuh syukur, dan untaian doa atas segala jasa. Namun dengan tatanan kehidupan baru, upacara syahdu dilakoni tanpa raga yang bertemu. Tidak ada peluk haru saat lantunan Terima Kasihku milik Sri Widodo dinyanyikan merdu. Sekadar mata berkaca-kaca membayangkan kehadiran peserta didik menjadi nyata.

Peringatan Hari Guru Nasional tahun 2020 mengusung tema “Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar”. Semangat Merdeka Belajar memang telah digaungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim sejak peringatan HGN tahun lalu. Sebutan Merdeka Belajar lantas viral sejak dirilis ke publik pada Jumat, 22 November 2019. Dalam pidatonya, Mendikbud menjelaskan bahwa konsep Merdeka Belajar artinya unit pendidikan, yaitu sekolah, guru-guru, dan peserta didik punya kebebasan. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk belajar dengan mandiri, dan kebebasan untuk menciptakan kreasi.

Baru saya sadari, kondisi pandemi telah memunculkan 3 kebebasan tadi. Kebebasan untuk berinovasi, telah saya lakukan dengan memberi pembelajaran secara virtual. Sebelumnya, peserta didik mengenal gawai dan laptop sebagai perangkat yang dioperasikan oleh guru di dalam kelas. Namun kini, siapa sangka bahwa peserta didik turut mengoperasikan peralatan berbasis komputer ini untuk mendapatkan materi pelajaran. Dibantu berbagai aplikasi yang mumpuni untuk bertukar informasi atau sekadar melakukan evaluasi.

Kebebasan untuk belajar mandiri juga tampak, ketika kehadiran virtual guru melalui aplikasi video konferensi tidak dapat dilakukan sepanjang alokasi waktu tatap muka setiap pembelajaran. Hal ini tentu mengingat total kuota internet yang harus dihabiskan jika berjam-jam melakukan tatap maya. Akhirnya, peserta didik pun terbiasa untuk menambah materi melalui belajar mandiri dengan kisi-kisi yang telah disampaikan guru tentunya.

Kebebasan untuk berkreasi dapat dilihat dari 2 sisi, guru dan peserta didik. Guru menambah ilmu baru membuat berbagai video pembelajaran yang diunggah melalui berbagai media sosial hingga saluran video. Peserta didik pun berlomba-lomba menunjukkan kreasi dalam evaluasi, misal demonstrasi iklan yang disajikan dalam bentuk video rekaman.

Memang pandemi mengacaukan seluruh lini, namun tentu saja ada hal positif yang dapat kita gali. Banyak kebiasaan lama yang seringkali terlupa, kini jadi kewajiban yang biasa. Banyak juga hal baru yang justru menambah deretan ilmu. Karena memilih profesi sebagai guru, bukan berarti hanya siap mengajar, namun juga mau terus belajar. Maka tidak heran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus memberikan wadah bagi guru yang tidak lelah menimba ilmu. Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang mempersiapkan peserta didik dengan persyaratan keahlian khusus dalam menjadi guru.

Melalui PPG, para guru menjadi mahasiswa yang kembali siap ditempa. Mempelajari berbagai modul pedagogis dan profesional, mengetahui tata cara mempersiapkan perangkat pembelajaran terbaik bagi peserta didik, melakukan refleksi diri dengan menemukan permasalahan dan mencari solusi, hingga turut mengikuti serangkaian evaluasi. Dalam posisi tetap menjadi guru di masa pandemi, saya dan pejuang PPG dalam Jabatan tahun 2020 terus berjibaku bertarung melawan rasa puas dan tinggi hati. Karena guru sejati bagai lilin yang sanggup membakar diri demi menerangi.

Editor: Udin