TANJUNGPINANG – Kekah Natuna, menjadi salah satu hewan endemik di Indonesia yang hanya dimiliki oleh Kepulauan Riau (Kepri), khususnya di Pulau Bungguran, Desa Mekar Jaya, Kabupaten Natuna.
Hewan yang memiliki ciri khas yakni lingkar hitam di area mata seperti kacamata dan jambang putih di pipinya tersebut mulai berkurang populasinya karena perdagangan bebas hewan liar.
Ketua Komunitas Mantau Kekah, Ahdiani mengaku, sangat sulit memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hewan kekah Natuna tersebut yang masih dianggap sebagai hama oleh sebagian petani disana.
Ia menuturkan, banyak petani disana membenci hewan tersebut lantaran sering memakan buah hasil panen mereka.
Meski mendapat penolakan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat, dia bersama komunitas mantau kekah tidak menyerah agar hewan endimik asal Kepri itu tetap lestari.
“Meskipun komunitas kami ini baru, dan banyak mendapatkan penolakan, tapi tidak menyulutkan semangat kami untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, agar hewan endemik ini tetap lestari dan bisa menjadi identitas serta ikon Kabupaten Natuna,” katanya.
Ancaman Perburuan
Menurut pria yang juga seorang guru di salah satu sekolah di Desa Mekar Jaya, ancaman perburuan dan perdagangan bebas menjadi masalah utama.
“Ada oknum-oknum tertentu dengan dalih mengagumi hewan Kekah dan membeli hewan tersebut untuk dipelihara,” ucapnya.
Menurutnya, cara mengagumi kekah dengan cara dipelihara merupakan cara yang keliru dan dapat merusak ekosistem serta habitat asli hewan endemik berkacamata tersebut.
Ia menuturkan, mengagumi hewan tersebut, cukup dengan membiarkan hewan endemik itu berada di habitatnya dan melihat menggunakan teropong atau kamera berlensa tele.
Habitat Asli
Dari pemantauannya sejak tahun 2020 hingga saat ini, hewan kekah natuna tersebut hidup dengan cara teritori dan menguasai wilayah.
Hewan lucu tersebut hidup dengan cara berkelompok, yang mana pada setiap kelompok terdiri dari 1 keluarga yang rata-rata terdapat sedikitnya 8 ekor hewan kekah.
Ia menyebut, kekah sering terlihat di pohon karet karena makanan mereka merupakan buah karet yang masih muda dan juga biji buah karet yang sudah tua.
“Memang itu habitatnya. Jadi setiap tahunnya siklusnya akan seperti itu. Saat karet itu berbuah, kekah akan memakan buah karet muda. Saat buah itu sudah tua dan jatuh ke tanah, maka kekah makan biji buah karet tersebut,” tuturnya.
Sejauh ini, sambungnya, terdapat 10 kelompok yang terlihat olehnya dan rekan-rekan komunitas mantau kekah yang masih bisa dilihat dengan mata.
“Pembalakan liar menjadi salah satu dari ancaman kekah. Karena jika teritori atau wilayah mereka rusak atau hancur, maka kekah itu harus mencari teritori lain. Dimana mereka tidak bisa bertahan hidup jika tidak ada teritori,” ungkapnya.
Kerjasama Dengan Pemerintah
Hewan asli Natuna ini menjadi salah satu hewan yang peminatnya tinggi untuk perdagangan hewan liar di pasar International.
Oleh seban itu, Ahdiani membutuhkan bantuan dari pemerintah agar dapat melakukan perlindungan dan sosialisasi kepada masyarakat terkait pelestarian hewan lucu tersebut.
Ia berharap, adanya langkah kongkrit dan dukungan pemerintah, terutama DLH untuk mengatasi adanya pembalakan liar terhadap habitat asli hewan yang masih keluarga kera tersebut.
“Kami tidak bisa kerja sendiri, begitupun pemerintah. Makanya kami perlu bantuan dari semua pihak agar hewan ini tetap ada dan tidak punah karena dianggap hama,” tuturnya.