IndexU-TV

HMI Batam: Penetapan Tersangka Nenek Awe Terkait Bentrokan di Rempang Adalah Penindasan

Bendahara Umum HMI Cabang Batam, Andri (Foto:Dok/Andri)

BATAM – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Batam mengecam keras penetapan tiga warga Rempang sebagai tersangka dalam kasus bentrokan dengan karyawan PT Makmur Elok Graha (MEG) 18 Desember 2024 lalu oleh Polresta Barelang.

Salah satunya, Siti Hawa alias Nenek Awe (67) yang dijerat dengan Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan.

Bendahara Umum HMI Batam, Andri menilai, langkah kepolisian ini sebagai bentuk intimidasi terhadap warga yang berani melawan penggusuran.

Dia menduga kepolisian terlalu berpihak kepada korporasi. Menurutnya, warga Rempang hanya ingin mempertahankan hak mereka, sehingga penetapan tersangka terhadap Nenek Awe dan dua lainnya, Sani Rio (37) dan Abu Bakar alias Pak Aceh (54) adalah tindakan yang berlebihan.

“Ini jelas upaya pembungkaman! Polisi diduga ingin menciptakan ketakutan, agar warga lain tak berani menolak,” kata Andri menegaskan, Ahad 02 Februari 2025.

“Warga hanya mempertahankan haknya. Tapi justru mereka yang dikriminalisasi. Ini keterlaluan,” tambah Andri dengan nada geram.

Menurutnya, tuduhan perampasan kemerdekaan terhadap Nenek Awe dan warga lainnya adalah dalil hukum yang dipaksakan.

“Harusnya yang dituntut itu mereka yang merampas tanah warga, bukan rakyat yang berjuang mempertahankan rumahnya,” terangnya lagi.

Dia mewakili HMI Batam merasa khawatir, kriminalisasi seperti ini akan meluas termasuk ke aktivis dan mahasiswa.

“Kalau dibiarkan, ini juga bisa menjadi alat represif untuk membungkam gerakan mahasiswa. Kita harus lawan,” tutur dia menambahkan.

Sebagai bentuk perlawanan, HMI Batam memastikan akan turun ke jalan dan akan menjalin koordinasi dengan jaringan organisasi mahasiswa lainnya.

“Kami tidak akan diam, Ini jelas penindasan terhadap rakyat. Kami akan bergerak,” tegas Andri.

Pengamat: Polisi Harus Holistik dalam Menangani Kasus Nenek Awe

Sementara itu, Pengamat Hukum dari Universitas Riau Kepulauan, Rahmayandi Mulda turut menyoroti keputusan kepolisian dalam menetapkan Nenek Awe sebagai tersangka.

Rahmaandi menilai, pendekatan yang diambil polisi hanya berfokus pada aspek hukum pidana, tanpa mempertimbangkan konflik kebijakan yang lebih luas antara masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta.

“Jika ditarik kebelakang, ini sebenarnya persoalan konflik kebijakan, antara masyarakat, pemerintah dan swasta. Harusnya polisi holistik melihat permasalahan ini,” kata Rahmayandi menerangkan.

PPPK Dilarang Tuntut TPP ASN, Pengamat: Pemprov Kepri Lepas Tangan
Pengamat dari Universitas Riau Kepulauan (Unrika), Rahmayandi Mulda. (Foto: Randi Rizky K)

Menurut dia, penetapan tersangka dalam kasus ini berpotensi mencerminkan keberpihakan pada kepentingan tertentu, yang justru dapat memperburuk konflik laten antara ketiga pihak tersebut.

“Kasus konflik rempang ini bukan hanya persoalan tunduk pada hukum negara tapi lebih kepada keadilan hukum. Negara harus hadir ditengah masyarakat sehingga bisa meminimalisir konflik yg akan muncul,” ujarnya menambahkan.

Rahmayandi juga menekankan, pentingnya uji publik terhadap kebijakan investasi Rempang Eco-City guna menemukan solusi terbaik. Tanpa langkah tersebut, ia memperkirakan konflik antara masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta akan terus berlanjut.

“Kalau tidak ini akan terus terjadi konflik antara masyarakat, swasta dan pemerintah,” ujarnya mengakhiri wawancara.

Exit mobile version