Hukuman Friendzone

Hukuman Friendzone

Sebelum keberangkatan, kurenungkan sekejap tentang keramaian menjelma saksi yang tak utuh. Kita saling berhadapan seiring menahan banyak yang tak ingin disebut kenyataan. Tatapmu begitu dalam menyimpan arti yang enggan kau ceritakan, “Ini bukan perpisahan seharusnya,” katamu setelah sempat berlari menerobos lorong demi sebuah temu yang hampir terlambat.

“Yang bilang ini perpisahan, siapa?” Aku mencoba memecah haru berhias tawa kecil, “Meta, tak terasa, iya, sudah lima tahun. Sekarang—,”

“Tunggu, tunggu,” kamu mencari-cari, aku sempat tak mengerti. Seorang ibu-ibu yang tak kita kenali kamu panggil dengan penuh harap memohon agar ia sedia mengabadikan satu kenang yang mungkin ingin kamu simpan, “Bu, maaf mengganggu. Saya boleh minta tolong fotokan kami berdua, Bu?” Pintamu tanpa basa-basi.

Kita berdampingan. Kamu terlihat seperti kekasih yang enggan mengatakan selamat jalan. Padahal kamu bukan kekasihku. Kita hanya sebatas teman dekat yang begitu akrab. Oleh karena itu aku berusaha menjaga jarak, tapi kamu meminta seolah itu akan menjadi hal terakhir yang tak boleh terlewatkan, “Sini, sinilah,” ucapmu manja sebelum potret itu terjadi dalam sekejap.

Potret singkat itu diiringi lalu-lalang manusia lain. Detik demi detik mulai menjemput tentang jarak. Jemarimu menarik paksa telapak tanganku yang sempat terlepas. Aku melihat matamu semakin berbeda. Suaramu amat lirih serasa berat sekali mengucapkan hati-hati. Sepertinya, memperpanjang durasi menjadi pilihanmu yang paling ingin meski di batas ujung waktu sudah menjadi tak mungkin.

Pagi mendadak pucat. Mendung memaksa matahari minggat saat begitu erat pelukmu yang tak utuh kembali merengkuh. Dermaga Kota Gurindam menjadi puisi sebentar dalam kalimatmu yang menganggap pergiku tak akan benar bila tak kamu antar.

“Hati-hati, ya,” aku berusaha melepas genggamanmu, kau menahannya sekuat yang kamu mampu sembari berbisik lirih, “Jangan menghadiahiku ucapan selamat tinggal, plis. Aku masih menunggu meski bertemu sesuatu yang langka buat kita menjadi utuh.”

Tali pengikat kapal sebentar lagi dilepas. Akhirnya kamu tak peduli lalu-lalang yang berkeliaran. Pelukmu yang semula tak utuh kini merengkuh seluruh tubuh. Aku merasakan napasmu yang tak siap melepas, tapi harus lekas membekas. Dengan maaf tak terucap, aku berjalan turun menuju di mana aku harus masuk dan berlalu. Kamu diam beberapa detik, sebelum akhinrya suara hati-hati terdengar lagi begitu lirih seperti mengajak langkahku memutar arah untuk menujumu lagi. Namun, aku sadar akan rutinitas yang sudah menanti yang kurahasiakan kepadamu.

***

Dalam perjalanan, aku mengingat sehari sebelum aku mengabari tentang kepergian ini. Aku tidak menemukan maksud yang tepat mengapa kamu seolah memberontak. Kamu tidak terima hanya karena terkesan tiba-tiba. Padahal aku tak berniat menciptakan petir hebat untukmu, tapi kau merasa aku melakukannya dengan tega. Menurutku, itu hal yang biasa-biasa saja.

“Meta, besok pagi aku berangkat,” pesan singkatku tepat pukul sebelas malam yang sontak membuatmu gusar tak teredam.

“What? Kenapa baru bilang? Tega!!! Kenapa harus dadakan gini, si?” Balasmu.

“Iya, karena aku baru ingat kamu, Met. Makanya aku baru bilang,” balasku lagi dengan sikap bodoh amat yang sudah lama kutanam dalam diriku ini.

Beberapa detik setelah itu kamu langsung menghubungiku. Tanpa sapa awal, kamu mengambil kendali suara saat panggilan itu terjawab, “Kamu tahu? Aku udah nyiapin sureprise buat kamu. Makanya kemarin aku tak ada ucapin selamat ulang tahun. Aku mau buat kejutan, Ma,” cetusmu penuh kesal.

“Iya udah. Kejutannya besok aja kamu bawa ke pelabuhan,” jawabku santai.

“Tama! Gak gitu juga. Is sumpahlah. Ngeselin banget,”

“Iya, aku manalah tahu kalau kamu mau buat kejutan. Tak ada bilang-bilang si,”

“Kalau aku bilang iya bukan kejutan namanya,” suaramu mengeras.

“Besok aku berangkat pukul sembilan. Sudah, iya, aku mau istirahat,” aku langsung mematikan sambungan.

Aku tahu kesabaranmu memang selalu diuji setiap menghadapiku. Sikapku yang terkesan egois, bukan berarti aku tak menganggapmu penting dalam hidup ini. Jujur, kamu satu-satunya orang yang betah menemaniku dari awal hingga akhir saat menjadi mahasiswa. Kesetiaanmu bersamaku tak bisa dipungkiri meski terkadang ketidakpedulian selalu menjadi balasan yang kupersembahkan. Aku memang begini, Meta.

Sebelum terlelap malam itu, kamu masih menghubungiku lebih dari dua kali. Aku cuek saja. Pikirku, nanti kamu juga bakal bosan sendiri. Alih-alih bosan, justru malah ada pesan panjang yang membuatku sempat tertanya-tanya, tapi sudahlah, aku memilih tidur saja.

Setelah mengingat kejadian itu, rasa penasaranku pun tumbuh. Semula aku tak tertarik membaca pesan panjangmu, tapi karena mendengar dan melihat apa yang terjadi di pelabuhan tadi, rasa ingin tahuku tiba-tiba meninggi. Di balik jendela kapal, aku melihat keindahan laut lepas Kepulauan Riau, senyumku tergaris yang kemudian mengajak diri untuk membuka pesanmu yang semalam kubiarkan.

“Tama, aku sudah biasa kamu buat begini. Tapi, untuk sekali ini saja, aku ingin mewujudkan satu impian. Sesuatu yang belum kamu sadari. Perihal yang sebenarnya aku tahu pasti kamu akan mengatakan tidak dengan lantang. Aku ingin kita membenarkan segala gosip-gosip yang selama ini ada. Kedekatan yang kita bangun selama ini sudah terlalu megah, dan aku harus mengakuinya untuk membiarkan bangunan itu tak dimiliki rasanya susah sekali.

Namun aku tahu. Kerasnya hatimu. Prinsip yang kamu punya. Dan semua yang ada di dalam dirimu, ini sangat tidak mungkin menjadi kenyataan. Tapi aku itetap ingin kita mencoba mengakhiri kerasnya komi—,” langsung tidak kuteruskan membaca. Aku benci dengan asumsi itu. Aku tidak peduli dengan isi lanjutan dari pesanmu. Aku tetap pada pendirianku. Tidak satu pun ada manusia yang berhak menghakimiku.

Dalam hati, aku hanya bisa meminta maaf. Semoga kamu tidak kecewa karena apa yang terjadi tadi pagi hingga sekarang bahwa aku tidak menyadari dan tidak mau tahu alurnya akan seperti apa nanti. Seluruh isi pesanmu di gawai tersayangku sudah kuhapus. Mungkin kamu akan marah, atau tetap seperti biasa, bagiku terserah saja.

***

Tiga tahun lamanya berlalu. Aku masih sama seperti dulu. Seseorang yang menurutmu sulit sekali dipahami gerak-geriknya. Setiap langkah yang kutempuh adalah rahasia yang tak boleh terbuka untuk siapapun itu. Keras kepalaku juga masih menjadi perkara yang tidak kamu suka. Bagimu, aku terlalu idealis sehingga apa saja yang kulakukan, kukatakan, hampir semuanya tidak melanggar aturan dan merasa paling benar sendiri di setiap jalan.

Aku tidak melarang dan menolak segala anggapanmu. Menurutku, itu sah-sah saja. Bagaimanapun, kamu berhak menilaiku dari sudut pandang manapun. Nahasnya, justru itu yang akhirnya menjadi bumerang buat kita. Sesuatu yang terlambat kusadari dan membuat semuanya kehilangan arti.

Aku tidak tahu idealis seperti apa yang kamu maksud. Sampai akhirnya aku menyadari satu hal dan memulai sesuatu yang tak pernah diinginkan. Bahwa aku keliru sebab telah menghapus pesanmu dulu.

“Meta, aku udah pulang,” aku mengabarimu tepat satu jam setelah aku kembali ke Kota Gurindam.

Kamu membalasnya dengan apik. Sesuatu yang pada akhirnya membuatku begitu pelik. Dalam seketika perihal “andai saja” menjadi belenggu isi kepala. Pesanmu menyulap banyak hal di diri ini, “Alhamdulillah. Bagus dech. Kita bisa ketemu lagi. Oh iya, nanti aku kenalin ya sama calonku. InsyaAllah, 5 bulan lagi kami menikah. Kebetulan banget kamu ada di sini,” Entahlah, ini benar-benar rumit paling sulit yang aku sendiri kebingungan membalasnya. Aku tidak tahu apakah aku menyesal atau kesal.

“Haaaaa…. Iya, iya, aku mau. Tapi, kok kamu tak pernah cerita,” spontan dari kebingungan yang ada, aku hanya bisa mengetik itu saja di kamar chat.

“Maaf, aku memang tak bisa menceritakan ini ke kamu. Tapi, aku sadar, suatu saat pasti akan kuceritakan juga,” aku tersenyum lara sejenak, “Tama, keras kepalamu terlalu kuat. Aku tidak bisa memecahkannya. Seberusaha apapun aku meyakinkan kita pantas, kamu tetap bersikeras pada komitmen yang pernah kita bangun. Aku nyerah, ma. Aku menyerah memahami prinsipmu, cita-citamu. Kamu tetap sahabatku dan itulah yang harus kusadari sedari dulu. Isu-isu yang menyerang kita bukan membuatmu luluh justru menguatkan segala prinsipmu,” seketika aku dan hatiku bertentangan. Andai saja dulu pesanmu kubaca sepenuhnya mungkin tidak seperti ini jadinya.

“Iya, Meta. Sudah. Gak usah dibahas. Karena kita memang sahabat, tidak lebih. Oh ya, selamat, iya,” tanganku bergetar mengetiknya seiring isi kepalaku penuh andai. Beginilah akhirnya. Beginilah jadinya.

Sahabat, kini kita sudah berjarak. Entah kapan lagi tangan kita bisa saling berjabat dan mendekap, itu hanya sebatas menjadi harap yang lenyap. Selama ini pertemuan kita selalu singkat sebab jadwal yang teramat padat. Bercerita pun seperti kehilangan sempat. Namun pesanmu ini benar-benar menyerap ulu hati. Pertemuan kelak seakan seperti liburan dan itu belum cukup memastikan adanya kebahagiaan yang tulus.

Aku menatap langit. Terlalu mudah ternyata memanggil ingatan tentang gerak tingkahmu yang lucu dan tawa sedihmu yang lugu. Dalam diam kuputar sebuah lagu dan kuresapi lirihnya lirik kesukaan kita, aku pun tersedu akan kemudian yang pastinya menjadi rindu.

Kesalahanku, aku tak pernah mau jujur dengan diriku sendiri bahwa kamu penenang paling sabar mengahadapi segala gusar. Aku terlalu keras hati untuk berpendirian bahwa segala omongan orang hanyalah asumsi yang tak ada nilai kebahagiaan. Aku terlalu dingin. Aku terlalu egois. Aku tak pernah sekalipun berpikir tentang kenyataan yang kamu berikan selama ini. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sampai akhirnya aku lupa bahwa ada kamu yang menunggu hingga lelah membuatmu menyerah.

Kapalku sudah jauh waktu itu. Kini aku kembali. Langit kita masih sama, tapi langkah kita jauh berkelana di jalan yang berbeda. Tak kuucap selamat tinggal seperti pintamu, tapi harus kusadari bahwa bahwa menjadi renggang adalah satu-satunya cara untuk melupakan sewindu yang pernah kita lalui.

Kita pernah bersama, berpisah, dan kembali lagi untuk melanjutkan sesuatu yang berbeda. Ternyata Sewindu yang kita punya melahirkan dongeng yang tak utuh di semesta, dan kini untuk waktu di sisa usia kita tak akan pernah lagi sama. Selamanya.