BATAM – Hutan bakau di kawasan hutan lindung dibabat oknum tak bertanggung jawab di Kampung Tua Bakau Serip, Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pembabatan hutan itu dikabarkan menggunakan alat berat buldozer baru-baru ini.
Selain merusak pohon bakau, aktivitas itu juga mencemari laut sekitar karena lumpur mengalir ke laut. Pantai Bale-Bale menjadi salah satu wilayah yang terdampak.
Pantauan Ulasan.co di lokasi menunjukkan bahwa hutan bakau di kawasan tersebut telah diratakan sepanjang 100 meter dari lapangan golf Batam Island Country Club (BICC) milik Tering Bay Country Club. Terlihat pula aliran air berwarna cokelat yang mengarah ke laut.
“Pantai kami sekarang tercemar lumpur dari lapangan golf yang dialirkan ke lahan yang sudah diratakan itu,” ungkap Muhammad Nurdin, pengelola Pantai Bale-Bale, Sabtu 3 November 2024.
Nurdin menjelaskan, aktivitas ini berdampak signifikan terhadap wisata dan nelayan sekitar, yang mengalami penurunan pendapatan hingga 50 persen. Banyak pengunjung yang enggan datang ke pantai karena air laut yang menjadi keruh, apalagi saat musim hujan. “Ini sudah berlangsung tiga bulan,” tambahnya.
Nurdin menduga perusakan hutan bakau ini dilakukan oleh seorang pengusaha tambang pasir berinisial Ag. Dugaan ini didasari oleh akses lahan yang dibuka, yang menyerupai jalur pengerukan pasir. Warga juga menemukan tiga mesin sedot pasir tak jauh dari lokasi tersebut.
“Kami menduga mereka bekerja pada malam hari, kucing-kucingan dengan warga. Begitu kami datang, mereka langsung menghindar,” jelasnya.
Tak hanya itu, di atas kawasan lapangan golf juga terlihat aktivitas cut and fill, yang diduga mengalirkan limbah lumpur melalui jalur yang sama. Menurut Nurdin, masyarakat pernah dijanjikan oleh perusahaan untuk membangun kolam penampungan limbah, namun hingga kini janji tersebut tak kunjung direalisasikan.
“Kami mohon kepada dinas terkait agar segera menindak tegas pengusaha-pengusaha ini. Dampaknya sudah sangat meresahkan dan tak bisa kami toleransi lagi. Kami pernah memperingatkan mereka, tetapi kami khawatir akan dibenturkan dengan preman-preman,” pungkasnya.
Tak hanya pantai, aktivitas yang diduga ilegal tersebut juga merugikan hutan manggrove dan nelayan. Salah pengurus perkumpulan nelayan di Kampung Bakau Serip, Suryadi mengatakan mereka saat ini kesulitan mendapatkan hasil tangkapan karena air laut yang kotor.
“Sangat berdampak sekali ke penghasilan nelayan, terutama disini terdapat 60 nelayan tangkap tradisional yang hanya beraktivitas di pesisir bakau untuk menangkap udang dan kepiting, yang biasanya bisa memperoleh 2-3 kilogram saat ini sekilo saja susah” ujarnya.
“Mereka ini kayak kucing-kucingan dengan nelayan, mungkin ada bekingannya,” sambungnya.
Sementara itu, penggiat manggrove Batam, Gerry yang juga warga setempat di Kelurahan Sambau, memberikan kritik keras mengenai kasus pembabatan hutan mangrove di daerahnya.
“Kami melihat kejadian ini sebagai tindakan vandalisme yang merusak ekosistem mangrove yang sangat penting bagi lingkungan dan masyarakat sekitar,” ujarnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa kawasan yang dirusak adalah hutan lindung, sehingga pembabatan ini merupakan pelanggaran hukum yang serius.
Ia juga menyoroti berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, termasuk keruhnya air laut yang mengganggu aktivitas nelayan dan pariwisata. “Hal ini juga menyebabkan hilangnya perlindungan alami terhadap abrasi dan bencana alam serta perubahan iklim,” jelasnya.
Gerry berharap agar kasus ini segera diusut tuntas dan pelaku dihukum sesuai hukum yang berlaku. Ia juga mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pelestarian mangrove demi menjaga keseimbangan ekosistem.
“Seharusnya kita bersama-sama menjaga mangrove, karena mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem,” tutup Gerry.
Perusakan Hutan Bakau Bisa Dipidana
Aktivis lingkungan dari Akar Bhumi Indonesia menyatakan bahwa dugaan pengrusakan hutan lindung berpotensi diproses secara pidana.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan pengecekan langsung ke lokasi pada 30 Oktober 2024 setelah menerima informasi dari warga tentang aktivitas yang diduga merusak hutan mangrove.
“Kami datang ke sana dan melakukan pemetaan menggunakan drone. Kami menemukan adanya hilangnya tutupan hutan dengan luas sekitar 30 x 100 meter,” kata Hendrik.
Menurut Hendrik, pemantauan tersebut menunjukkan banyak pohon mangrove tua yang telah ditumbangkan. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan bersama Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, dipastikan bahwa area tersebut merupakan hutan lindung.
“Area ini tepatnya berada di kawasan Hutan Lindung Nongsa Selatan, di belakang Tering Bay Resort. Meski luas hutannya tidak besar, kami curiga pembabatan akan berlanjut hingga ke bibir pantai,” jelas Hendrik.
Baca juga: Blue Fire Club Bengkong Bising, Kenyamanan Warga Bakau Serip Terganggu
Berdasarkan temuan mereka, pembukaan lahan ini diduga bertujuan membuat saluran aliran menuju laut, yang dikhawatirkan dapat mencemari lingkungan sekitarnya.
“Kami sangat prihatin melihat kondisi ini. Di saat dunia tengah gencar melindungi mangrove, kita justru menyaksikan hal seperti ini di sini,” ucap Hendrik menyayangkan.
Apalagi pihaknya juga melihat di atas lokasi tersebut juga tampak ada aktivitas cut and fill lahan, sehingga ketika tidak adanya tutupan lahan, maka akar pohon tidak bisa menyimpan air sehingga akan mengalir kebawah.
“Seperti jalan tol ke laut. Jadi perlu sekali pemerintah mengawasi pelaku-pelaku usaha maupun investor di Kota Batam,” katanya.
Hendrik juga menjelaskan bahwa perlindungan hutan lindung diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berdasarkan Pasal 83 Ayat 1 Huruf b, pelaku pengrusakan hutan lindung dapat dipidana hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar.
“Ancaman hukumannya cukup berat, termasuk sanksi administrasi, perdata, dan bahkan pidana, tanpa melihat berapa jumlah dan berapa luasnya (hutan yang dirusak),” jelasnya.
Sementara jika pembukaan lahan tersebut dilakukan untuk tujuan usaha maka bisa dikenakan Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Dengan aturan itu mereka juga bisa dikenai sanksi,” ujarnya.
Ia pun menegaskan akan membawa dan melaporkan persoalan ini ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKHTL) yang merupakan Unit dari Direktorat Jendral Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Karena kalau diadukan akan ada proses hukum, sehingga nanti akan ada proses yang namanya perubahan kembali (hutan) yang rusak. Namun nanti apakah akan diproses hukum atau tidak pemerintah yang menentukan,” ujarnya.
“Kerusakan manggrove semakin hari semakin parah. Disatukan sisi kita terus melakukan upaya advokasi, edukasi dan rehabilitasi, maka harus dipahami betul terutama perusahaan besar jangan sampai melakukan kesalahan fatal,” pungkasnya. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News