IDI Sebut Ganja Bisa untuk Pengobatan, Tetapi Bukan yang Terbaik

Ganja
Acara promosi tanaman ganja di Thailand. (Foto:chiangraitimes)

TANJUNGPINANG – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan ganja bisa menjadi pengobatan alternatif, namun pengobatan menggunakan ganja bukan yang terbaik.

Belakangan ini, perihal ganja ramai sekali menjadi perbincangan terkait wacana legalisasi ganja untuk kebutuhan medis, seperti yang dilansir dari cnnindonesia.

Namun faktanya, ganja medis medis memang telah dilegalkan di sejumlah negara dan teranyar adalah negara tetangga Thailand, yang baru saja melegalkan ganja untuk keperluan medis pada 9 Juni lalu.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban mengatakan, bahwa ganja medis memang bisa menjadi pilihan atau alternatif pengobatan, tapi bukan yang terbaik.

“Belum ada bukti obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi. Namun, ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif. Tetapi ganja bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja,” tulis Zubairi dalam cuitan Twitter-nya, Rabu (29/6).

Baca juga: Komisi III DPR RI akan Berhati-hati Mengkaji Legalisasi Ganja untuk Medis

Hingga saat ini, sejumlah studi telah mempelajari hubungan antara ganja dan kesehatan.

Bahkan beberapa studi juga menyebutkan, bahwa ganja bisa menjadi alternatif obat.

Namun, Zubairi mengingatkan, bahwa masih banyak yang belum diketahui tentang tanaman ini.

Bagaimana ganja berinteraksi dengan obat lain, dan tubuh manusia juga belum diketahui dengan pasti.

Penggunaan ganja medis juga tidak berarti sepenuhnya aman jika penggunaannya tidak diatur secara ketat, lanjut Zubairi, ganja medis berpotensi disalahgunakan.

“Jika penggunaan tidak diawasi ketat, dikhawatirkan bisa terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi penggunanya,” ujar Zubairi.

Jika dosis penggunaannya berlebihan, penggunaan ganja juga diketahui bisa memberikan efek ketergantungan dan halusinasi.

Baca juga: LGN: DPR dan Pemerintah Harus Gerak Cepat Mengkaji ‘Ganja’ untuk Medis

Zubairi juga mengatakan, dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya jauh lebih rendah daripada untuk rekreasi.

“Yang jelas, saat pengobatan pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian THC (tetrahydricannabinol, senyawa pada ganja) dan CBD (cannabidiol) ini tidak boleh dipakai sama sekali untuk perempuan hamil dan menyusui,” ujar Zubairi menegaskan.

Sebagai seorang dokter, Zubairi sendiri merasa harus mempertimbangkan penggunaan ganja dengan tepat, meski sejumlah studi telah menemukan manfaatnya.

“Apakah ganja lebih aman daripada obat lain yang saya resepkan,” ujarnya.

Menurutnya, banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan untuk melegalisasi ganja medis.

Mulai dari kemungkinan interaksi obat, efek sampingnya pada tingkat kecemasan, hingga risiko gangguan psikotik yang bisa dipicu oleh penggunaan ganja.