Ikhtiar Indonesia dalam Mereduksi Emisi Gas Rumah Kaca

Ikhtiar Indonesia dalam Mereduksi Emisi Gas Rumah Kaca
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Sulawesi Utara. (ANTARA/HO-Pertamina)

JAKARTA – Indonesia tengah merumuskan program-program untuk mitigasi perubahan iklim. Sistem kelistrikan hijau yang rendah karbon dan ramah lingkungan terus digesa sebagai bagian dari komitmen nasional untuk menangkal pemanasan global.

Inilah langkah ambisius negara sepulang dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dikenal dengan istilah COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada akhir 2021 lalu, dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dari sektor energi.

Transisi energi kini telah menjadi isu besar di dalam negeri dan memberikan harapan baru mengenai masa depan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang lebih baik sebagai dampak kebijakan peralihan sumber energi dari fosil ke energi terbarukan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah telah memiliki peta jalan transisi energi untuk menuju netralitas karbon pada 2060. Peta jalan itu memuat berbagai langkah strategis yang akan dilakukan selama empat dekade ke depan.

“Ini adalah peta jalan yang telah kami rencanakan. Kami berharap ini bisa menarik investor untuk datang dan bergabung dengan proyek di Indonesia, karena target yang kami miliki cukup ambisius untuk bisa diterapkan,” kata Arifin pada awal Februari 2022 lalu.

Baca juga: Potensi Energi Surya di Indonesia Capai 3.294 GWp

Pemerintah Indonesia menargetkan kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan bisa mencapai 587 megawatt pada 2060 dengan kontribusi terbesar berasal dari tenaga surya, air, dan biomassa mengingat ketiga energi itu punya potensi dan sumber daya besar di dalam negeri.

Kementerian ESDM memproyeksikan Indonesia bisa memiliki kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 361 gigawatt, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 83 gigawatt, dan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBio) sebesar 37 gigawatt pada 2060.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati (kiri) menyampaikan materi saat Temu Media menjelang Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di kawasan Seminyak, Badung, Bali, Kamis (10/3/2022).

Adapun sumber-sumber energi terbarukan lainnya yang juga dipakai adalah pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) sebesar 39 gigawatt, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 35 gigawatt, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 18 gigawatt, hingga pembangkit listrik tenaga arus laut sebesar 13,4 gigawatt.

Baca juga: Target Transisi Energi Terbarukan Indonesia 23 Persen di 2025

Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang pengesahan Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen sampai 41 persen pada 2030.

Sektor energi memiliki kontribusi untuk menurunkan emisi lebih dari 300 juta ton karbon dioksida dengan upaya sendiri dan mencapai hampir 450 juta ton dengan bantuan internasional.

Dalam peta jalan transisi energi, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2021, bauran energi terbarukan tercatat baru menyentuh angka 11,7 persen dengan total kapasitas listrik saat itu mencapai 74 gigawatt.

Setelah 2030, tambahan pembangkit listrik hanya bersumber dari pembangkit energi terbarukan. Mulai 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh energi terbarukan variabel dalam bentuk tenaga surya, lalu diikuti tenaga angin dan arus laut pada tahun berikutnya.

Kemudian pembangkit tenaga nuklir akan masuk ke dalam sistem kelistrikan mulai 2049. Hidrogen dan baterai juga akan dimanfaatkan secara gradual mulai 2031 dan secara masif pada 2051 hingga 2060.

Program transisi energi dari fosil ke energi terbarukan tidak hanya akan meningkatkan porsi bauran energi bersih di dalam negeri, tetapi juga mengurangi biaya pokok penyediaan listrik hingga mereduksi emisi gas rumah kaca untuk menekan dampak perubahan iklim yang bisa menimbulkan bencana alam.