Ini Sejarah Asal Mulanya THR di Indonesia

Fotosejarah program tuntutan pembayaran THR dilontarkan SOBSI tahun 1955. (Foto:Dok/Net)

JAKARTA – Umumnya pekerja di Indonesia akan mendapatkan tunjangan hari raya (THR) setiap tahunnya, tepat pada perayaan hari besar keagamaan Islam yaitu Lebaran Idulfitri.

THR yang dibagikan tersebut, digunakan masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan untuk lebaran seperti sandang dan pangan.

Bahkan pemerintah juga telah menetapkan aturan terkait pembagian THR untuk pegawai swasta mulai H-7 lebaran, dan ASN lebih awal yakni H-10 lebaran.

Namun, asal muasal pembagian THR di Indonesia tak banyak masyarakat yang tahu yang hingga tahun ini aturan tersebut masih diberlakukan.

Melansir dari cnbcIndonesia, sejarah THR berawal dari tahun 1950-an. Tahun itu kondisi ekonomi Indonesia sangat sulit karena ketidakstabilan politik hingga memantik terjadinya krisis keuangan.

Harga barang saat itu meroket, dan berdampak pada daya beli masyarakat yang turut anjlok. Bahkan di masa itu Indonesia nyaris bangkrut.

Seperti di Jakarta pada waktu itu, menurut Jan Luiten van Zanden dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2011) mencatat harga bahan pokok di ibukota negara melonjak ratusan persen di tahun 1959, menjadi 325 persen dari harga awal di tahun 1950.

Pada situasi sulit tersebut, salah satu kelompok yang sengsara adalah kaum buruh yang kerap diupah rendah. Mereka berada pada situasi genting di zona kemiskinan karena tak mampu membeli bahan kebutuhan pokok.

Kondisi tersebut makin parah saat tiba lebaran. Harga bahan pokok semakin melonjak, sedangkan mereka penghasilannya tidak bertambah.

Akibatnya, masyarakat kaum buruh tak mampu merayakan hari kemenangan Idulfitri dengan gembira dan harus bergelut dengan situasi kemiskinan.

Kondisi seperti ini kemudian melahirkan kebijakan yang mengharuskan perusahaan memberi pendapatan ganda di luar penghasilan bulanan atau disebut sebagai THR.

Beberapa perusahaan pun mulai ada yang memberi THR bagi para buruh, meski awalnya bersifat sukarela. Karena bukan sesuatu yang wajib, hal ini kemudian menimbulkan masalah baru dan memperbesar ketimpangan.

Oleh karena itu, tulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an (2015), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut pemerintah membuat kebijakan resmi terkait pemberian THR.

Melalui berbagai forum, SOBSI terus memperjuangkan hadirnya aturan pemerintah yang mengatur tentang keharusan bagi perusahaan mengeluarkan THR sebesar satu bulan gaji untuk menolong para buruh yang kesulitan ekonomi menjelang lebaran.

SOBSI berdiri pada 29 Noveber 1946 di Yogyakarta. Sejak awal memperjuangkan nasib buruh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, SOBSI memiliki misi untuk memberantas kemiskinan dan anti-korupsi.

Dalam perkembangannya, SOBSI bergerak berdasarkan teori Marxisme. Dan karena ini pula, organisasi buruh ini sejalan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak pula anggota PKI yang jadi anggota SOBSI.

Tak heran, SOBSI dianggap salah satu ‘onderbouw’ PKI. Sebagai organisasi buruh nomor satu di Indonesia masa Orde Lama, salah satu hal penting yang diperjuangkan SOBSI adalah pemberian THR kepada buruh.

Namun kiprah SOBSI harus berakhir di tahun 1966. Presiden Soeharto yang anti-komunis turut membubarkan SOBSI karena dianggap dekat dengan PKI. Banyak anggotanya yang ditangkap dan ditahan tanpa bukti pengadilan.

Setelah kejadian tersebut, tak ada lagi organisasi buruh sebesar SOBSI yang punya anggota sebanyak 2 juta orang.

Pemerintah Keluarkan Dua Kebijakan

Singkatnya tekanan SOBSI di berbagai forum tersebut membuat pemerintah mengeluarkan dua kebijakan pada tahun 1954.

Pertama, lewat Surat Edaran No. 3676/54 yang dikeluarkan Menteri Perburuhan, S.M Abidin, perusahaan harus memberi “Hadiah Lebaran” kepada para buruh. Jumlahnya sekitar Rp50-300.

Kedua, tekanan organisasi buruh itu juga berbuah baik bagi para PNS. Pasalnya, lewat PP No. 27 tahun 1954 para PNS menikmati “Persekot Hari Raja”.

Kebijakan ini membuat PNS bisa mendapat pinjaman dari pemerintah untuk membeli bahan pokok. Nantinya, mereka harus mengembalikan dana pinjaman dari hasil pemotongan gaji.

Sayangnya, surat edaran untuk para buruh yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum kuat. Akibatnya, banyak pula perusahaan yang tidak memberi THR atau hadiah lebaran.

Barulah enam tahun kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan No.1 / 1961 tentang kewajiban seluruh perusahaan untuk memberi THR kepada para buruh.

Nantinya, para buruh akan menerima uang sebesar satu kali gaji apabila sudah bekerja minimal 3 bulan.

Berkat aturan ini, buruh kemudian bisa merayakan hari kemenangan dengan kegembiraan. Dan berkat perjuangan panjang para buruh itu, kini para pekerja di seluruh Indonesia bisa mendapat THR menjelang Idulfitri.