BATAM – Banyak yang mengenal kawasan Kampung Tua Dapur 12 yang berada di wilayah Kelurahan Sei Pelunggut, Kecamatan Sagulung, Kota Batam.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa nama asli daerah ini adalah Kampung Tanjung Tok Hitam. Kisah ini terungkap saat Ulasan berbincang dengan tokoh masyarakat setempat yakni Jaar.
Jaar menceritakan bahwa nama Kampung Tanjung Tok Hitam merujuk kepada leluhurnya, Tok Hitam yang membuka kawasan ini menjadi pemukiman pada 1930-an. Bahkan, makam Tok Hitam masih ada di wilayah tersebut.
“Nama asli daerah ini adalah Kampung Tanjung Tok Hitam. Kalau Dapur 12 itu nama yang muncul kemudian karena dulu di sini ada dapur arang,” ujar Jaar.
Jejak sejarah Dapur 12
Seiring waktu, Kampung Tanjung Tok Hitam dikenal sebagai Dapur 12. Menurut Mansur atau Awang, Ketua RW 09 sekaligus anak dari Jaar mengatakan, perubahan nama ini terjadi setelah warga keturunan Tionghoa datang ke kawasan tersebut. Mereka membuka dapur arang untuk mengolah kayu bakau menjadi arang.
Awang menjelaskan, salah satu tokoh Tionghoa yang memulai aktivitas dapur arang adalah To Lo, putra Akok, yang tinggal di Pulau Buluh. To Lo menunjuk Apek Chua dan Apek Eng Kui untuk mengelola dapur arang masa itu.
“Ada 6 dapur dikelola Apek Chua dan 6 dapur lagi oleh Apek Eng Kui,” kata pria kelahiran 1973 ini.
Awang sendiri pernah bekerja di dapur arang tersebut. Ia mengingat bahwa arang yang dihasilkan bukan hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga diekspor hingga ke Singapura dan Hong Kong.
“Dulu, kapal besar datang ke sini untuk mengambil arang. Arang dari pulau-pulau kecil dibawa ke sini menggunakan pokcai dan pompong,” terang Awang.
Transaksi penjualan arang dilakukan dengan mata uang dolar Singapura. Meski begitu, penghasilan warga pada masa itu tidaklah besar. Selain bekerja di dapur arang, masyarakat setempat juga menjadi nelayan atau memotong kayu.
Kehidupan warga di masa lalu
Awang mengenang, akses pendidikan dan kesehatan di masa itu sangat sulit. Anak-anak harus menempuh perjalanan jauh ke Pulau Buluh untuk bersekolah dasar.
Sementara posisi sekolah menengah pertama (SMP) kala itu berada di Sekupang, yang harus dilalui dengan jalan setapak. Untuk mendapatkan layanan kesehatan, warga harus menyeberang lewat Pelabuhan Sagulung.
Namun, ada keistimewaan tersendiri bagi warga Kampung Tanjung Tok Hitam. Berkat posisinya sebagai pusat pengambilan arang, mereka memiliki akses mudah ke Singapura. Menyeberang dengan kapal kecil untuk berdagang kayu dan kulit kayu ke negeri seberang menjadi hal biasa.
“Pakai dayung saja, sudah bisa sampai Singapura,” cerita Awang.
Perjuangan melestarikan warisan
Dapur arang di Kampung Tanjung Tok Hitam berhenti beroperasi pada 1980-an setelah pemerintah melarang penggunaan kayu bakau untuk membuat arang.
Kini, dari 12 dapur arang yang dulu ada, hanya tersisa dua. Sisanya telah rusak atau digantikan dengan bangunan rumah.
Awang dan masyarakat setempat berharap dua dapur arang yang tersisa dapat dilestarikan sebagai cagar budaya.
“Kami akan mengajukan ke pemerintah untuk membuat tugu yang menyerupai dapur arang sebagai tanda sejarah,” ungkapnya.