Tanjungpinang، Ulasan. Co – Terhimpun dari berbagai media terkait dugaan kekerasan penyiksaan terhadap almarhum Hendri yang sekarang menjadi konsumsi publik, Pasalnya almarhum Hendri Alfred Bakarie meninggal dunia pada Sabtu 8 Agustus 2020 pukul 07.13 WIB ketika menjalani pemeriksaan di Satres Narkoba Polresta Barelang, Batam, dengan kondisi kepala diperban dan dibungkus plastik serta badan yang memar. Namun sayangnya Hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti alasan dibalik pembungkusan kepala Hendri dengan plastik tersebut karena baik dari pihak rumah sakit maupun Kepolisian diketahui sama-sama membantah melakukan tindakan itu. Namun hal yang jelas terjadi, seorang warga sipil meninggal dunia ketika berada di bawah pengawasan penyidik dengan kondisi fisik yang memperlihatkan adanya tanda-tanda telah dilakukan tindakan kekerasan.
Dalam kasus ini sangat patut untuk menduga telah terjadi penyiksaan oleh aparat yang bahkan hingga menyebabkan kematian. Selain itu, perihal prosedur upaya paksa, mulai dari penangkapan hingga penggeledahan diduga juga dilakukan secara tidak sah atau exclusionary rules. Perlu di ketahui bahwa Hendri pada 6 Agustus 2020 sore hari ditangkap di Kawasan Belakang Padang, Batam karena diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika. Berdasarkan keterangan dari pihak keluarga, pihak Kepolisian yang melakukan penangkapan tidak memperlihatkan surat penangkapan maupun surat tugas yang menunjukkan identitas aparat tersebut. Kemudian keesokan harinya pada 7 Agustus 2020 dilakukan penggeledahan oleh petugas yang mengaku dari Satresnarkoba Polresta Barelang Batam terhadap rumah Hendri, namun hasilnya tidak ditemukan barang bukti apapun maka berdasarkan hal tersebut penulis mencoba ingin memberikan pandangan hukum terkait kasus Penangkapan dan kematian terhadap almarhum Hendri alias otong di instansi Kepolisian sebagai berikut :
Pertama : Dalam menegakan dan mewujudkan kepastian hukum segala tindakan Aparatur Penegak Hukum terkhusus kepada pihak Kepolisian selaku geetkeepers of criminal justice system ( polisi sebagai penjaga gerbang proses peradilan pidana ) secara formal harus ada pengaturan agar tindakannya tidak kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, tidak hanya bertumpu kepada ketentuan dalam hukum pidana materil saja melainkan juga harus mengacu kepada hukum pidana formil, yang biasa disebut dengan Hukum Acara Pidana. Hukum Acara pidana ini memuat ketentuan-ketentuan yang memuat tentang suatu proses beracara dalam rangka penegakan hukum pidana materil tanpa harus mengesampingkan Asas-Asas Presumption of Innocence ( Asas Praduga tidak bersalah ) sebagaiamana dengan tujuan Hukum Acara Pidana pada PP Nomor 27/1983 menjelaskan sebagai berikut :
“ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Kedua : Penangkapan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian terhadap almarhum Hendri yang diduga sebagai bandar yang menyelundupkan 106 kilogram sabu dari Malaysia dilakukan dengan cara-cara inkonstitusional atau bertentang dengan hukum karena ketika almarhum Hendri ditangkap sama sekali tidak diberikan atau ditunjukkan suatu Surat Perintah Penangkapan sebagaimana dalam Pasal 18 ayat 1 KUHAP yang menyebutkan bahwa Pelaksanaan Tugas Penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat di mana ia diperiksa. Namun pada realitanya Surat Penangkapan tersebut diberikan kepada keluarga almarhum Hendri setelah 3 x 24 Jam penangkapan dilakukan. Sejatinya penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan cukup sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan penangkapan tidak dilakukan secara sewenang sewanang sebagaimana yang terjadi dalam kasus dugaan yang menimpa almarhum Hendri, ditambah lagi dengan akibat dugaan tindakan kekerasan yang menyebabkan kematian, pihak Kepolisian yang menempatkan Hendri di bawah pengawasannya harus benar-benar dimintai pertanggungjawaban. Tidak cukup hanya sanksi disiplin atau etik, tindakan yang dilakukan terhadap almarhum Hendri merupakan dugaan penyiksaan, penganiayaan berat dan/atau pembunuhan yang harus diproses dalam peradilan pidana. Maka sudah seharusnya keluarga almarhum memperoleh keadilan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 17 yang menyatakan :
“ Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”
Ketiga, bahwa pihak Kepolisian pada 7 Agustus 2020 melakukan penggeledahan oleh petugas yang mengaku dari Satresnarkoba Polresta Barelang Batam terhadap rumah Hendri namun hasil dari penggeledahan tersebut tidak ditemukan barang bukti apapun. Maka dalam hal tersebut apabila kita belajar Hukum di semester 4 mata Kuliah Hukum acara pidana maka kita di ajari suatu asas yakni Actori Incumbit Onus Probandi (siapa yang mendalilkan maka dia wajib untuk membuktikan). Maka dalam hal ini sudah selazimnya pihak Kepolisian yang telah menduga almarhum Hendri sebagai bandar narkoba membuktikan apa yang telah didugakan dan apabila pihak Kepolisian tidak mampu membuktikan dugaan tersebut almarhum Hendri sudah seharusnya dibebaskan sebagaimana dengan kelanjutan asas Actori Incumbit Onus Probandi asas yang terdapat dalam hukum pembuktian yakni Actore non probante, reus absolvitur ( apabila tidak dapat dibuktikan sudah seharusnya yang diduga harus dibebaskan ). Apabila berdasarkan parameter hukum pembuktian tindak tanduk sedari awal pihak Kepolisian yang melakukan penangkapan tanpa memberitahukan surat perintah penangkapan kepada Almarhum maupun keluarga Almarhum sudah merupakan exclusionary rules atau biasa dikenal dari berbagai literatur sebagai exclusionary discretion karena pada prinsipnya pihak Kepolisian yang mencari bukti dengan cara-cara melawan hukum akan mengarah kepada tidak diakuinya bukti yang diperoleh dalam artian bahwa bukti yang didapat tidak diterima di pengadilan. Jika berdasarkan doktrin Max M. Houck menyatakan ada dua tipe bukti yang tidak dapat memperkuat suatu kasus antara lain :
jika terjadi pertentangan bukti antara satu dengan yang lain yang mana bukti tersebut berasal dari sumber yang berbeda dan tidak dapat dirujuk lalu bukti yang tidak dapat digunakan karena diperoleh secara ilegal yang disebut dengan tainted evidence ( bukti yang ternodai ).
Keempat, bahwa ada dugaann pihak Kepolisian melanggar ketentuan peraturan Perundang-Undangan Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI & Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana atur beberapa pasal yang mengatur kegiatan penangkapan oleh anggota Polri agar segala tindak tanduk pihak Kepolisian tidak absolute.
Kelima, Maka oleh karena itu demi melindungi kepentingan Hukum baik kepentingan Hukum individu maupun kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan Hukum Negara, kiranya Penulis merekomendasikan agar :
Meminta kepada Propam Polda Provinsi Kepulauan Riau untuk menindaklanjuti atas Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Pihak Polresta Barelang Batam dalam hal melakukan penangkapan terhadap saudara Hendri Alfred Bakarie
Meminta kepada Kanwil Hukum dan Ham Provinsi Kepulauan Riau untuk mengusut tuntas kematian saudara Hendri Alferd Bakarie yang berada dibawah Wewenang dan Kekuasaan Polresta Barelang Batam.
Sebagai penutup Penulis mengutip suatu semboyan Hukum Fiat Justitia Ruat Coelum ( Tegakanlah Keadilan meski Langit akan runtuh ) dan adagium hukum Justitiae Non est Neganda (keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda).