Prof. Dr. H. Abdul Malik, M.Pd.
Universitas Maritim Raja Ali Haji
RAJA ALI HAJI (RAH) termasyhur sebagai cendekiawan Melayu multidisiplin. Di antara bidang kajian beliau yang beraneka ragam adalah ilmu hukum dan politik pemerintahan. Dari kajian di bidang itu, antara lain, beliau mewariskan karyanya yang terkenal Tsamarat al-Muhimmah. Di bawah judul besar itu ditambahkannya subjudul Dliyafat lil-umara’ wal-kubara’ liahli al-mahkamat yang dimelayukan beliau menjadi Buah-Buahan yang Dicita-Cita Jadi Jamuan bagi Raja-Raja dan Orang Besar-Besar yang Mempunyai Pekerjaan di dalam Tempat Berhukum.
Tentang matlamat atau tujuannya menulis buku itu, RAH bertutur dengan takzim dan rendah hati.
“Inilah akhir barang yang dikurniakan Allah Ta’ala atasku pada menzahirkan sedikit tertib kerajaan dan rahasia pekerjaan ahl al-mahkamah atas pahamku yang singkat dan atas ilmuku yang kurang. Akan tetapi, daripada sangat hajatku hendak menzahirkan atas kaum kerabatku pada tempatku ini, maka aku perbuat juga alakadar pahamku yang kurang jikalau aku bukan ahli daripada demikian itu sekalian.”
Jelaslah bahwa karya itu didedikasinya kepada para pemimpin. Pada zamannya mereka itu ada yang disebut raja, sultan, orang besar-besar, dan para pembesar (pejabat) yang membidangi hukum dan atau melaksanakan pemerintahan berdasarkan hukum, bukan sekehendak hati atau sewenang-wenang.
Tsamarat al-Muhimmah baru dicetak oleh Office Cap Kerajaan di Daik-Lingga pada 1304 H. bersamaan 1886 M. di sekitar 28 tahun setelah selesai ditulis. Buku ini dimulai dengan mukadimah atau pendahuluan, dilanjutkan dengan tiga bab utama, dan diakhiri dengan khatimah atau penutup.
Bagian pendahuluan dimulai dengan pemerian tentang keutamaan ilmu, akal, dan asal-usul keduanya itu. Ilmu dan akal berperan untuk menaikkan derajat atau martabat manusia umumnya. Tanpa keduanya itu manusia tak ubahnya seperti hewan. Bahkan, ada hewan lebih hebat daripada manusia. Ilmu dan akal itu sangat mustahak dituntut (dipelajari) dan diamalkan. Tanpa diamalkan, sia-sialah ilmu, terutama kerja-kerja kepemimpinan dan pemerintahan harus menggunakan ilmu yang benar lagi baik, yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Pemimpin dalam pemerintahannya tak boleh membelot atau berpaling tadah dari kebenaran ilmu yang dianugerahkan oleh Tuhan.
“Syahdan maka nyatalah dilebihkan Allah Ta’ala akan ahli ilmu itu dengan akal dan naqal, intaha,” begitu RAH menegaskannya. Dengan menekankan pada naqal, jelaslah bahwa para pemimpin jangan sekali-kali melangkahi wahyu Ilahi atau petunjuk Allah dalam melaksanakan amanah yang dititipkan kepada mereka dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Lalu, berkembanglah bab-bab utama tentang kepemimpinan dan pemerintahan. Kepala pemerintahan, menurut Tsamarat al-Muhimmah, meliputi tiga makna sesuai dengan fungsi dan tugas yang diamanahkan kepadanya. Pertama, terkandung makna ‘khalifah’ dengan kewajiban menegakkan agama atau melaksanakan tugas sesuai dengan ajaran Tuhan. Kedua, tersimpul makna ‘sultan’ dengan kewajiban mendirikan hukum, baik hukum agama maupun hukum duniawi. Ketiga, termaktub juga makna ‘imam’ yang seyogianya berada paling depan untuk mengatasi semua masalah pemerintahan dan menjadi ikutan semua rakyat di bawah pemerintahannya. Dalam hal ini, jikalau tak tergolong kufur dan maksiat, perintah dalam pemerintahannya dapat disamakan dengan hukum yang harus ditaati oleh seluruh rakyat. Pasalnya, perintah itu tak bertentangan dengan hukum Allah dan peraturan hukum duniawi yang berlaku.
Pemimpin seyogianya memang memiliki derajat atau marwah yang tinggi asal memenuhi syaratnya. Dia berjuang membela kebenaran dan memerangi kejahatan (kebatilan) apa pun bentuknya. Bukan sebaliknya, bersuka ria di dalam kejahatan yang nyata dan membinasakan kebenaran. Itulah pemimpin yang berlaku sewenang-wenang, berbuat sekehendak hati, mempermain-mainkan hukum, bahkan mengaku diri sebagai bayangan Tuhan di muka bumi, tetapi perilaku kepemimpinannya melawan Allah. Perilaku kepemimpinan yang disebut terakhir itu tergolong haram. Dan, jelas pembalasannya nanti, lagi tegas azabnya di akhirat kelak.
Para pemimpin seyogianya berilmu, barakal budi, bermarwah, adil, berijtihad yang baik, tekun beramal, di samping memiliki pancaindera yang baik. Para pemimpin negeri dan atau negara haruslah berbuat kebajikan yang terbilang: indah dan patut menurut agama, bangsa, dan negara. Begitu pula menurut penilaian orang-orang yang mempunyai mata hati atau mereka yang berakal sehat. Jika kedapatan fasik, banyak aduan orang, zalim, khianat, tak bermarwah, belot, dan sejenisnya; para pemimpin itu patutlah diragukan baktinya bagi bangsa dan negaranya.
Dalam kaitannya dengan pembangunan negeri dan atau negara, ada lima perkara utama yang perlu diperhatikan. Pembangunan tak boleh bertentangan dengan syarak (hukum, terutama hukum Allah), itu yang pertama dan utama. Kedua, pembangunan tak boleh membawa mudarat terhadap tubuh dan jiwa manusia. Jangan sampai terjadi, dengan alasan pembangunan, rakyat diintimidasi, bahkan dibantai dengan dalih yang sangat tak manusiawi. Luka fisik dan psikologis rakyat menjadi dosa pemimpin zalim yang akan dipertanggungjawabkannya sampai ke akhirat nanti.
Ketiga, jangan sampai pembangunan, justeru, memusnahkan harta-benda rakyat dan menjadikan mereka hidup terlunta-lunta. Tak ada alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum mana pun, dengan dalih pembangunan, rakyat diusir dari kampung halaman mereka. Keempat, jangan pula karena pembangunan, rakyat mendapat aib dan malu karena misalnya kehilangan mata pencaharian yang menjadi sandaran hidup mereka selama ini. Kelima, jangan juga sampai terjadi pembangunan justeru mencacatkan atau mencemarkan nama para pemimpin sehingga terus menjadi sebut-sebutan orang tentang perilaku kepemimpinannya yang zalim, padahal dia tak berkuasa lagi. Bahkan, sampai dia sudah kembali ke alam baka pun masih dibicarakan dan disandingbandingkan orang.
Tsamarat al-Muhimmah juga memberikan pedoman tentang pembinaan moral bagi penyelenggara negara. Dalam hal ini, penyelenggara negara wajib memelihara rohani (nyawa), badan (jasad), dan nama. Rohani harus dijaga supaya tak terdedah kepada penyakit batin atau penyakit hati. Penyakit zahir atau penyakit tubuh pun akan memengaruhi batin atau rohani. Obat bagi penyakit batin lebih rumit daripada penyakit zahir (badan).
Kedua jenis penyakit itu, lebih-lebih penyakit batin atau hati, dapat membawa kecelaan kepada pemimpin, dunia dan akhirat, serta muramnya suasana pemerintahan negera dan atau negari. Kehidupan harmonis yang didambakan rakyat, justeru berubah menjadi mencekam setiap hari. Hidup menderita di negeri sendiri. Lebih memilukan lagi jika keadaan itu terjadi di bawah pemerintahan bangsa sendiri.
Penyelenggara negara harus menjaga nama jangan sampai menimbulkan kesan buruk. Cacat-celanya menjadi sebut-sebutan orang sehari-hari, bahkan sampai dia tiada lagi di dunia yang fana ini. Punca atau penyebab kesemuanya itu adalah sifat dan sikap yang jahat, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Itulah kejahatan hati yang paling berbahaya jika melanda para pemimpin dan penyelenggara negara.
“Sejahat-jahat nama kepada raja-raja dan kepada orang besar-besar itu, yakni nama zalim dan nama bodoh dan nama lalai, nama penakut,” demikian RAH mengunci penjelasannya tentang perlunya pemimpin memeliharakan nama yang baik dengan sebaik-baiknya.
Matlamat atau tujuan bernegara adalah untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran akan dapat diraih jika perhubungan penyelenggara negara dan rakyat seluruhnya dengan Tuhan berjalan serasi dan selaras sesuai dengan petunjuk Tuhan. Pemimpin yang berilmu dan berakal tak akan berani melangkahi dan atau menyelewengkan agama dalam kepemimpinannya. Mereka akan senantiasa menjaga perilaku dan moral rakyat atau masyarakat agar tetap baik.
Tentu, dengan contoh dan tauladan yang baik pula dari para pemimpinnya.
Sebaliknya, jika para pemimpin terbiasa dengan saling fitnah, dengki, khianat, hasad, lalai, serakah, menjauh dari nilai-nilai agama, dan sebagainya; rakyat sekaliannya akan mendapatkan contoh yang buruk dan keji. Dalam keadaan demikian, negara tinggal menanti saat-saat kehancuran.
“Seyogianya hendaklah raja-raja dan segala orang besar-besar menjauhkan penyakit najis berdengki-dengki itu karena banyaklah dan zahirlah di dalam suatu negeri akan ahlinya banyak berdengki-dengkian, alamat negeri itu akan binasa jua akhirnya. Apalagi orang besarnya berdengki-dengkian makin segeralah binasanya…. Syahdan inilah kebinasaan dan kerusakan apabila banyak isi negeri itu berdengki-dengkian. Bermula raja yang adil itu bersungguh-sungguh ia pada mencarikan muslihat melepaskan daripada jalan yang membawa kepada kebinasaan ini adanya, intaha,” demikian cara RAH memerikan bahayanya penyakit dengki dalam pemerintahan. Lebih-lebih, dengki dan memusuhi rakyat sendiri demi kekuasaan sang penguasa yang tak dapat menerima kritik dari rakyatnya.
Baca juga: Prof. Abdul Malik: Bangsa Indonesia Kuat karena Budaya
Mahadahsyat penyakit dengki dan khianat itu rupanya. Virusnya, jika dibiarkan menyebar, dapat meruntuhkan sebuah negara yang pada mulanya diperjuangkan dan didirikan untuk menjalin kebersamaan berasaskan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Dengki dan khianat menjadi virus pelahap dan pelumat sumpah setia kepada bangsa dan negara.
Para pemimpin dan penyelenggara negara dan negeri yang terjangkit penyakit rohani itu, bukan hanya melalaikan nilai-nilai agama yang agung lagi murni. Mereka juga, bahkan, bagaikan berseteguh hati untuk bersiap sedia menerima balasan yang pasti. Seperti yang telah dijanjikan Allah, di akhirat nanti dia dipanggang di panggung neraka jahannam yang dipenuhi segala jenis api. Itulah hadiah yang paling patut bagi pemimpin yang tak memilihara hati dan budi.
Sungguh, Tsamarat al-Muhimmah merupakan buah-buahan segar yang sepatut-patutnya menjadi jamuan para pemimpin pemerintahan dan penyelenggara negara. Tak diragukan, ianya bagai makanan dan minuman berkhasiat bagi mereka yang senantiasa membuka hati untuk menimba dan mengamalkan ilmu yang baik agar tak tergelincir ijtihad yang mengundang bencana dalam pemerintahan yang diamanahkan kepadanya. Tak perlu menunggu di alam baka, di dunia yang teramat fana ini pun, kita dapat menyaksikan kadar baik atau buruk akan padahnya. Keyakinan bangsa Melayu semenjak dahulu demikianlah adanya, intaha.@. (*)