Kekuatan Udara Indonesia Harus Setara dengan Tetangga

Jet tempur kelas berat Boeing F-15EX Eagle II yang rencananya akan dibeli Pemerintah Indonesia untuk memperkuat daya pukul TNI AU. (Foto:Net)

Penulis: Adly Hanani

Di era perang modern sudah menjadi keharusan bagi Indonesia memiliki kebijakan untuk membangun sistem pertahanan udara yang maju serta canggih.

Terlebih, Indonesia berbatasan dengan beberapa negara yang memiliki kepentingan strategis di kawasan. Sebut saja tetangga terdekat kita, Singapura. Kemudian di bagian selatan ada Australia. Kemudian ada Malaysia, Vietnam dan Filipina.

Untuk mengawal kepentingan itu, tak heran opsi kekuatan militer menjadi peran penting. Bahkan, konflik perbatasan kerap terjadi. Atas nama kedaulatan, militer menjadi kunci sebagai alat diplomasi.

Indonesia dihadapkan dengan kekuatan udara Singapore dan Australia yang tentunya lebih baik dan canggih. Sebab kedua negara tersebut, sudah memiliki Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) yang mumpuni khususnya matra udara.

Bahkan kedua negara itu memiliki anggaran pertahanan yang jauh lebih besar dari Indonesia. Otomatis alutsista yang dimiliki juga canggih dan terus diperbarui.

Indonesia dikenal sebagai negara maritim, karena negara yang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh lautan dan diikuti ruang udara yang luas.

Demi menjaga kedaulatan, sudah saatnya Indonesia harus memiliki angkatan udara dan laut yang kuat bahkan disegani di kawasan. Sehingga, bilamana terjadi gesekan dengan negara tetangga Indonesia tak dipandang sebelah mata.

Memiliki pertahanan negara yang tangguh, tentunya menjadi daya gentar bagi diplomasi Indonesia di tingkat internasional.

Soal deterent atau efek gentar, Singapura dan Australia lebih mumpuni. Angkatan udara kedua negara itu diperkuat pesawat tempur terbaru dan modern seperti pesawat tempur siluman (Stealth) generasi kelima yakni F-35 Lightning-II bikinan Lockheed Martin, Amerika Serikat.

Sementara, Indonesia masih diperkuat pesawat tempur generasi lawas yakni F-16A/B Block-15 dan F-16C/D Block-52ID ‘Fighting Falcon’ walau kemampuannya sudah tingkatkan melalui program upgrade.

Kemudian, ada jet tempur serang bikinan Rusia yakni Sukhoi Family yang dibeli di era Presiden RI Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

TNI Angkatan Udara saat ini mengoperasikan beberapa varian Sukhoi mulai dari Sukhoi Su-27SK/SKM yang ditingkatkan kemampuannya. Kemudian varian kursi tandem multiperan Sukhoi Su-30MKM.

Bila dibandingkan antara kekuatan udara Indonesia dengan Singapura bahkan Australia. Tentunya, varian F-16 dan Sukhoi Family yang dimiliki saat ini sudah tertinggal teknologinya.

Namun hal itu sudah disadari Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto. Untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia sudah sepakat membeli jet tempur generasi 4++ untuk mendekati generasi kelima.

Tahun 2022 lalu, Prabowo Subianto telah mengaktifkan kontrak pengadaan pesawat tempur generasi 4++ yakni Rafale dari pabrikan Dassault Aviation Prancis.

Prabowo telah sepakat dengan Prancis, untuk pengadaan 6 unit pesawat tempur Dassault Rafale dan bakal ada opsi penambahan sekitar 18 unit lagi.

Selain itu, Indonesia juga bekerja sama dengan pabrikan Korea Aerospace Industries (KAI) dalam proyek masa depan pembangunan jet tempur dengan nama Korea Fighter eXperimental (KF-X).

Sementara, Indonesia menamakan proyek kolaborasi tersebut dengan sebutan Indonesia Fighter eXperimental atau disingkat IF-X.

Jauh sebelum membeli Rafale, Indonesia telah sepakat dengan Rusia untuk mamasok 11 unit pesawat tempur super manuver multirole fighters yakni Sukhoi Su-35S. Namun kesepakatan itu batal.

Lantaran Indonesia mendapat tekanan dari Amerika Serikat (AS) lewat sanksi America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) jika benar-benar membeli jet tempur dari negara musuh bebuyutan AS tersebut.

Dengan tekanan CAATSA, Indonesia merasa bimbang untuk memboyong Su-35S ke tanah air yang memang dikenal sebagai jet tempur generasi 4++ yang menakutkan AS dan negara-negara Barat lainnya.

Sebab, saat ini TNI AU masih mengopersikan pesawat tempur buatan Paman Sam seperti pesawat tempur F-16 dan varian angkut C-130 Hercules. Untuk menjaga wilayah udara, TNI AU kini bertumpu pada F-15 dan Sukhoi Su-27/30.

Dengan tekanan sanksi CAATSA, seandainya Su-35S benar-benar menghuni skadron TNI AU tentunya akan berpengaruh pada kelangsungkan operasional armada kekuatan udara yang ada saat ini seperti F-16.

Mungkin saja AS bisa menyetop pasokan suku cadang F-16 untuk Indonesia. Dampaknya puluhan F-16 yang dioperasikan saat ini satu persatu akan lumpuh, dan pengawasan ruang udara akan lemah untuk mencegat penerbangan gelap atau Black Flight (Lasa-X) yang melintasi ruang udara Indonesia.

Sebagai negara non-blok Indonesia, toh tetap menganggap Amerika Serikat dan Rusia adalah mitra strategis di level internasional. Sebab, kedua negara tersebut sebagai produsen alat pertahanan negara yang mampu memproduksi berbagai alutsista berteknologi canggih.

Tak cukup dengan pesawat tempur, namun Indonesia perlu juga memiliki radar yang cukup sebagai memata-matai ruang udara nasional. Dengan memiliki kemampuan radar yang baik, maka Indonesia mampu menutup celah bagi Lasa-X.

Di sisi lain, peran manusia mulai digantikan oleh robot kecerdasan buatan. Biasa disebut Drone atau Unmanned Aerial Vehicles (UAV) adalah pesawat tanpa awak. Drone dapat dikendalikan dari jauh, dan bahkan sudah bisa membawa sejumlah rudal presisi untuk menyerang target.

Tiga matra TNI darat, laut dan udara kini sudah dilengkapi drone serang maupun intai. Penggunaan drone tak lain ada sebagai upaya membangun TNI yang modern.

Ilustrasi radar pertahanan udara militer  Thales Master-T yang dioperasikan TNI AU.

Mengapa Indonesia harus menyetarakan kemampuan serang udara TNI AU dengan tetangga Singapura dan Australia?

Bukan tanpa sebab, namun ada pengalaman berharga dari insiden yang terjadi pada 20 Februari 2009 lalu. Walau kejadian itu hingga kini belum diketahui penyebabnya.

Pada 20 Februari 2009 silam, dua unit pesawat tempur Sukhoi Su-27/30 yang dioperasikan TNI AU kali pertama di lock (dikunci) oleh sensor rudal pesawat tak dikenal.

Sontak kabar ini jadi headline di berbagai pemberitaan nasional. Bahkan ada yang menyebutkan dua Sukhoi TNI AU di lock oleh pesawat tempur berkualifikasi stealth (siluman).

Pendapat itu ada benarnya. Sebab, jet tempur berkemampuan kebal radar (Stealth) atau siluman memiliki kemampuan radar pemburu yang memiliki rentang gelombang yang jauh seperti milik jet tempur F-22 Raptor dan F-35 bikinan AS.

Selain itu, jet tempur sekelas F-22 Raptor atau F-35 bisa menembakkan rudal udara ke udara dari jarak yang sangat jauh tanpa diketahui keberadaannya oleh pesawat target.

Pihak pabrikan Lockheed Martin AS telah membenamkan seabrek teknologi sensor canggih pada F-22 Raptor yang telah menggunakan radar Active Electronically Scanned Array (AESA) jenis AN/APG-77.

Dengan seabrek teknologi canggih tersebut, tentunya tidak akan berimbang bila pilot TNI AU yang menerbangkan F-16 dan Sukhoi Su-27/30 bertemu F-35 atau F-22 Raptor.

Insiden itu menjadi pukulan bagi Indonesia, karena sudah seharusnya memiliki daya gentar yang tinggi dan canggih di kawasan.

Belakangan ini ramai pembahasan mengenai Indonesia telah membeli pesawat tempur Dassault Rafale, yang masuk dalam kelas generasi 4++. Kabarnya, Rafale pesanan Indonesia telah dilengkapi radar penjejak AESA.

Rafale mampu melakukan serangan darat dan laut, pengintaian, serangan akurasi tinggi, serta pencegahan serangan nuklir.

Langkah memodernisasi kekuatan udara Indonesia oleh Menhan Prabowo dinilai tepat, dengan mengakuisisi pesawat tempur bikinan Prancis tersebut.

Tahap awal, Indonesia akan mendapatkan 6 unit pesawat tempur Rafale. Kemudian bakal ada opsi penambahan unit jika anggaran tersedia.

Selain itu, Prabowo juga telah melakukan pembicaraan dengan Kementerian Pertahanan AS untuk pengadaan pesawat tempur multiperan kelas berat Boeing F-15EX Eagle II.

Jika mendapat restu AS dan tersedianya anggaran, maka wibawa pertahanan udara Indonesia lebih disegani setelah memboyong Boeing F-15EX Eagle II ke tanah air.

Boeing F-15EX Eagle II merupakan kasta F-15 terbaru yang dikembangkan Boeing untuk pasar ekspor. Sementara, sang tetangga terdekat Singapura mengopersikan F-15SG yang juga canggih.

Tetapi, Singapura tetap selangkah lebih maju dari Indonesia. Sebab, negara kecil itu telah memesan selusin F-35 Lightning II.

Indonesia akan menempuh jalan panjang, untuk memiliki sistem pertahanan udara yang modern. Perlahan tapi pasti, Indonesia telah memiliki pondasi dasar mewujudkannya lewat proyek IFX bersama Korsel.

Bahkan di proyek tersebut, Pemerintah Indonesia harus merogoh kocek yang bukan sedikit jumlahnya. Selain itu membutuhkan komitmen untuk benar-benar mewujudkan IFX hingga diproduksi hingga operasional.

Tantangan Membangun Sistem Pertahanan Udara Modern

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan RI, dinilai harus benar-benar berkomitmen dalam membangun kebijakan untuk pertahanan udara.

Indonesia sudah memiliki Holding BUMN Pertahanan Nasional bernama DEFEND ID, yang di dalamnya terdapat industri pertahanan dalam negeri yang mampu menghasilkan produk pertahanan negara yang tak kalah baik dari produk luar.

Indonesia punya PT Dirgantara Indonesia, yang tentunya sangat berpengalaman membangun pesawat udara. Kemudian di lautan, ada PT PAL yang berpengalaman membangun kapal.

Untuk kedaraan militer khusus di daratan dan perairan seperti panser serta persenjataan personel TNI yaitu senjata api, Indonesia cukup bangga dengan karya PT Pindad yang kini semakin eksis menghasilkan produk unggulannya.

Selanjutnya, sektor industri bahan peledak Indonesia telah memiliki PT Dahana yang berspesialisasi dengan berbagai produk bahan peledak.

Terakhir, ada PT LEN yang mengkhususkan diri sebagai industri di bidang elektronik yang bisa menghasilkan produk pertahanan berupa perangkat radar.

Menurut Sekjen Kementrian Pertahanan RI, Marsekal Madya TNI Donny Ermawan, M.D.S, mengatakan, Indonesia harus sudah siap dalam menghadapi ancaman perang modern.

Hal itu disampaikan Marsekal Madya TNI Donny Ermawan dalam seminarnya, tentang Arah dan Kebijakan Pembangunan Kekuatan Udara dalam Sistem Pertahanan Negara Indonesia guna menghadapi ancaman pada Era Perang Modern.

Donny Ermawan mengungkapkan, bahwa kebijakan pertahanan negara tahun 2022 melaksanakan pengembangan kekuatan TNI AU dan kemampuan Sistem Pertahanan Udara Nasional yang menerapkan pola pertahanan berlapis.

Pola yang dimaksud Donny Ermawan, seperti modernisasi pesawat tempur, pembangunan rudal darat ke udara dan pembangunan radar GCI dan pasif.

Dalam konteks geopolitik dan ancaman pertahanan global, Indonesia harus membangun kerjasama strategis agar mampu secara penuh melibatkan diri, dalam berbagai persoalan keamanan dunia melalui diplomasi luar negeri dan pertahanan secara terpadu.

Indonesia saat ini telah mempunyai kekuatan udara yang bisa dikatakan relatif berimbang dengan sejumlah negara di kawasan.

Wakil Menteri Pertahanan RI, Muhammad Herindra menyatakan, saat ini Indonesia mempunyai 252 unit pesawat, sementara Singapura 223 unit pesawat dan Malaysia sebanyak 171 unit pesawat.

Namun, jumlah pesawat yang dimiliki Indonesia, Singapura dan Malaysia lebih sedikit dibandingkan Australia yang memiliki 436 pesawat.

Meski memiliki jumlah pesawat yang hampir berimbang di kawasan, namun kata Herindra, persoalan pentingnya adalah apakah kekuatan tersebut siap digunakan dalam pertempuran atau tidak.

“Dapat ditegaskan bahwa sistem pertahanan negara yang saat ini kita anut harus dijadikan acuan dalam membangun kekuatan udara,” ujar perwira tinggi bintang tiga TNI AD itu melalui rilis resmi.

Menurut dia, pemerintah mempertimbangkan beberapa aspek dalam membangun kekuatan udara.

Pertama pembangunan kekuatan dilakukan untuk mengawasi ruang udara nasional dan sebagian ruang udara di kawasan.

“Kekuatan TNI AU diarahkan pada kemampuan mobilitas yang tinggi yang didukung sistem pertahanan udara yang diintegrasikan dengan matra lainnya,” jelas Herindra.

Kedua, kata dia pembangunan industri pertahanan mengacu pada peningkatan kerja sama.

Ketiga, pembangunan kerja sama diproyeksikan pada pembangunan kemampuan pertahanan dan profesionalisme TNI serta pengembangan kemandirian industri pertahanan.