Kepri Dibanding Jakarta

Robby Patria
Robby Patria, Dosen di PBSI UMRAH/Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat. (Foto: Dok/ Robby)

Robby Patria, Dosen di PBSI UMRAH/Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat

Dalam rapat bersama 38 gubernur se Indonesia, Ketua Komisi II DPR RI membandingkan Provinsi Kepulauan Riau dengan DKI Jakarta dalam soal Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tentu saja PAD Provinsi DKI Jakarta jauh lebih besar dibandingkan Kepulauan Riau yang hanya mengandalkan PAD dari pajak kendaraan bermotor.

Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda menyebutkan di dalam forum, “Pak Gubernur Ansar ini bajunya saja sama dengan Mas Pramono Gubernur DKI Jakarta, sama-sama gubernur. Tapi angkanya jauh,” kata Rifqi, Rabu (30/4/2025.

Sebagai perbandingan PAD Jakarta tahun 2023 sebesar Rp49 triliun. Sementara PAD Kepri tahun 2024 hanya Rp1,9 triliun. Sama-sama posisi gubernur, namun PAD Kepri hanya 3,8 persen dari PAD Jakarta.

Penduduk Kepri berjumlah 2,2 juta jiwa sementara Jakarta 11 juta jiwa. Membandingkan Kepri dengan Jakarta memang tidak seimbang. Seperti membandingkan klub sepak bola PSG Prancis dengan klub Liga Indonesia. Namun dalam sumber PAD untuk level provinsi tidak jauh berbeda.

DKI banyak mengandalkan bisnis dan industry, pariwisata, pajak kendaraan, sementara Pemprov Kepri hanya bertumpu kepada pajak kendaraan. Sumber-sumber potensi dari sumber laut yang berjumlah 96 persen dari luas wilayah tidak dapat dimanfaatkan oleh Ansar selalu gubernur Kepri baik di periode pertama dan periode berjalan ini.

Provinsi Kepri dikelola monoton mencari sumber PAD, sehingga APBD Kepri tidak beranjak menembus Rp5 triliun. Selama 2019 sampai 2025, APBD Kepri berkisar Rp4 triliun. Terjadi stagnasi perkembangan APBD karena tidak ada trobosan baru dalam mencari dan memanfaatkan sumber daya yang ada di Kepri.

Bahkan semakin tahun terus menurun disebabkan kebijakan penghematan anggaran transfer dari Kementerian Keuangan menerapkan penghematan anggaran.

Provinsi Kepri sama dengan DKI Jakarta memiliki BUMD. Hanya saja BUMD Jakarta sudah menghasilkan profit yang besar dapat memberikan suntikan PAD. BUMD di Provinsi Kepri hanya menjadi beban di dalam APBD. Misalnya selama tahun 2024, pemasukan deviden yang diharapkan dari penyertaan modal di BUMD hanya memberikan pendapatan Rp1,9 miliar dari target yang dipatok Rp34 miliar. Sehingga struktur APBD Kepri sangat lemah tidak mandiri.

Beda dengan DKI Jakarta yang sudah mandiri tidak tergantung dari dana APBN dalam bentuk dana transfer. Sementara Kepri sangat tergantung dari APBN. Komposisi struktur APBD, PAD memberikan kontribusi 47 persen. Sedangkan dana transfer memberikan kontribusi 53 persen. Idealnya PAD 60 persen, 40 persen dari bantuan APBN sehingga proyek proyek pembangunan penuh kepastian tidak tergantung kepada dana transfer.

Efeknya jika terjadi pemotongan dana transfer pemerintah daerah harus menerapkan tunda bayar dan defisit APBD. Karena proses penyusunan APBD menggunakan asumsi-asumsi di atas kertas kerja. Jika salah melakukan perhitungan proyeksi pendapatan, maka terjadilah ketimpangan atau pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Kata pepatah besar pasang dari tiang. Besar pengeluaran dari pendapatan.

Akibatnya, banyak daerah di Provinsi Kepri yang tidak dapat membayar tambahan pendapatan pegawai disebabkan tidak ada duit untuk membayar. Bahkan Tanjungpinang sudah memotong TPP ASN sebesar 20 persen karena kas daerah tidak tersedia anggaran untuk melakukan pembayaran.

Kabupaten Anambas sudah lima bulan tidak mampu membayar TPP ASN di sana. Walaupun mereka “mendatangkan” bupati yang berasal dari kalangan pengusaha dari Batam.

Mencari figure yang tepat

Lalu solusi apa untuk menambah PAD? Pertanyaan klasik yang seharusnya dijawab kepala daerah guna memenuhi tuntutan selama kampanye. Jika tidak para kepala daerah ini bisa dianggap berdusta kepada rakyat yang memilih mereka. Inilah dosa pemimpin yang membuat sebagian orang enggan menanggung dosa sebagai pemimpin yang tidak menunaikan janji politik mereka. Apapun alasannya.

Para gubernur, bupati dan walikota harus menempatkan sosok pegawai yang tepat di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) penghasil sehingga APBD tak mengalami stagnasi. Jangan menempatkan ASN di OPD penghasil berdasarkan kedekatan hubungan keluarga ataupun titipan pejabat.

Karena ini adalah posisi kunci dalam mencari sumber sumber pemasukan untuk pembiayaan pembangunan. Tanpa pemasukan, maka proses pembangunan tidak akan terlihat secara kasat mata.

Jangan lupa, janji politik adalah janji yang harus ditunaikan ketika mereka menjadi kepala daerah. Beban di pundak tambah berat jika janji tak ditepati. Dan ingatlah Firman Allah SWT, “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” [al-Isrâ’/17:34]. Serta hadist sahih Nabi Muhammad SAW. “Tanda-tanda orang munafik ada tiga; kalau berbicara dia berdusta, kalau berjanji dia ingkar, dan kalau diberi amanah (kepercayaan) dia berkhianat.” (Bukhâri dan Muslim).

Dan semua proyek fisik, proyek bantuan sosial, program pemberdayaan masyarakat tidak akan terlaksana jika APBD kecil. Apalagi mereka tak kreatif dan inovatif mencari sumber pemasukan baru. Maka tugas kepala daerah memikirkan dimana mereka berusaha mencari celah pendapatan baru.

Jika PAD tidak ada trobosan atau peningkatan pendapatan, kita tak perlu mencari gubernur atau bupati/ walikota yang bergelar sarjana, lulusan SMA bisa jadi gubernur. Karena pengelolaan tata Kelola daerah sudah diatur sedemikian rupa melalui UU 23 tentang Pemerintahan Daerah.

Kita mencari kepala daerah yang bisa menaikkan APBD dan melaksanakan pembangunan daerah. Dengan demikian, proses pembangunan, dan pelayanan public kepada masyarakat mengalami peningkatan.

Output dari proses pembangunan diharapkan masyarakat menjadi makmur dan sentosa. Bukan sebaliknya. Yang jadi pemimpin bersama dengan kaum kerabat, sanak saudara yang kaya raya berbagi kue kekuasaan. Sementara rakyat yang memberikan amanah, memberikan para pejabat itu gaji yang bersumber dari pajak rakyat malah tetap miskin. **