Keramahan YDM Riau Raja Ali Menjamu Pelancong Asal Belanda

Syahrul Rahmat  (Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri dan Peneliti di Regalia Institute)
Syahrul Rahmat sealku Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri dan Peneliti di Regalia Institute.

Penulis: Syahrul Rahmat 
(Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri dan Peneliti di Regalia Institute)

“Raja Muda atau Raja Ali, yang telah saya lihat di Riouw beberapa hari sebelumnya, diberitahu tentang kedatangan kami dan menerima kami di istananya yang besar dan rapi, dengan penuh kesopanan dan kesenangan”.

Demikian kesan pertama yang ditangkap oleh Steven Adriaan Buddingh, seorang pelancong asal Belanda yang datang berkunjung menemui Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau VIII, Raja Ali, di Pulau Penyengat pada 26 September 1854. Buddingh datang mengunjungi Raja Ali dengan ditemani oleh Residen Riau yang masa itu dijabat T. J. Willer. Kunjungan tersebut dilakukan setelah beberapa hari sebelumnya ia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Riau.

Pengalaman bertemu anak dari YDM Raja Jaafar tersebut ditulis oleh Buddingh dalam buku berjudul Neerlands Oost Indie yang diterbitkan di Rotterdam pada 1861, beberapa tahun setelah kunjungannya. Pada pertemuan itu, Raja Ali disebutkan ditemani oleh seorang “hadjie”, atau seorang berkebangsaan Arab. Pada dasarnya, Raja Ali memang dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati dan memuliakan ulama, bahkan juga menjadikan ulama sebagai penasehatnya. Tuhfat al-Nafis menyebutkan, Raja Ali pernah menjadikan Haji Hamim, seorang ulama asal Banjar yang alim sebagai penasehat.

Buddingh yang sudah lancar berbahasa Melayu berkat pengalamannya bergaul dengan pribumi di Maluku selama 16 bulan lamanya, membuat perbincangan dalam kunjungan itu menjadi hidup. Pasalnya, tidak ada halangan dalam berkomunikasi antara satu sama lain. Pada satu sisi, Buddingh memang terkenal sebagai pelancong yang kerap datang berkunjung sejumlah wilayah di Hindia Belanda. Bahkan, di wilayah Maluku, Bahasa Melayu disebutkan pelancong kelahiran 28 Maret 1811 itu sebagai bahasa resmi yang digunakan di sekolah dan juga sebagai sarana komunikasi antara pribumi dengan Orang Belanda.

Hal lain yang membuat Buddingh takjub dalam kunjungan tersebut adalah diskusinya dengan ulama yang menemani Raja Ali. Buddingh sama sekali tidak menyebutkan nama ulama tersebut, akan tetapi, dari diskusi yang berlangsung, ia memahami bahwa ulama tersebut adalah seorang yang cukup moderat, tidak fanatik dan anti terhadap mereka yang beragama Kristen. Bahkan, sesekali ulama tersebut juga menyinggung pembahasan tentang Al-Quran.

Ulama tersebut digambarkannya sebagai seorang Arab yang memiliki keturunan tinggi dan sopan santun. Seorang yang berpengetahuan luas dan tampaknya tidak terlalu fanatik dibanding rekan-rekannya yang bertanggungjawab atas “hati nurani” para penguasa di istana-istana Kerajaan Islam. Pada kesempatan tersebut, terlihat Buddingh cukup terkesan atas pengalamannya bertemu dengan Raja Ali maupun dengan ulama yang menemaninya.

Pada tulisannya bahkan Buddingh menulis, “Kami melakukan percakapan yang lebih penting daripada yang biasanya terjadi selama kunjungan resmi atau tidak resmi”.

Baca juga: Orang Rempang: Pasukan Pertikaman Kesultanan Melayu