Kesenian Gubang: Identitas Budaya Kepulauan Jemaja yang Perlu Dilestarikan

Kesenian Gubang
Kesenian Gubang yang dimainkan dalam pementasan di Jemaja. (Foto: Dok/Hendri Efendi )

Penulis: Hendri Efendi/Mahasiswa FISIP UMRAH

Kesenian gubang merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang sangat berharga bagi masyarakat Kepulauan Jemaja. Seni pertunjukan ini tidak hanya menampilkan tarian yang khas, tetapi juga mencerminkan sejarah dan nilai-nilai luhur masyarakat setempat.

Dalam konteks globalisasi yang semakin pesat, kesenian gubang menghadapi ancaman kepunahan, sehingga peran generasi muda menjadi sangat penting dalam upaya pelestarian seni ini agar dapat terus berkembang dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Pulau Jemaja adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kepulauan Anambas dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, dengan Letung sebagai ibu kotanya. Awalnya, Pulau Jemaja merupakan bagian dari Kabupaten Natuna, namun pada tahun 2008, terjadi pemekaran wilayah di Kabupaten Natuna yang mengakibatkan seluruh pulau di wilayah tersebut, termasuk Anambas, memisahkan diri dan membentuk Kabupaten Anambas berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008. Oleh karena letak Pulau Jemaja yang cukup dekat dengan Anambas, pulau ini kemudian menjadi bagian dari Kabupaten Kepulauan Anambas.

Pulau Jemaja berasal dari dua  kata yaitu “Jam” dan “Raja.” Di masa lampau, pulau ini menjadi tempat pertemuan bagi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan dihormati dari berbagai wilayah untuk melangsungkan musyawarah dan beristirahat.

Perlu dicatat bahwa istilah “Raja” di sini tidak merujuk pada seorang penguasa kerajaan, tetapi mengindikasikan seseorang yang dihormati dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat Jemaja pada masa itu. Kepulauan Jemaja terkenal dengan kesenian khasnya, yaitu kesenian gubang, yang merupakan elemen penting dari warisan budaya tak benda Kabupaten Anambas, Provinsi Kepulauan Riau.

Gubang adalah salah satu bentuk tari rakyat yang telah tumbuh dan berkembang dalam komunitas Jemaja sejak zaman dahulu.

Sejarah kesenian gubang telah ada selama berabad-abad dan berakar pada permainan mistis yang melibatkan entitas supranatural (orang bunian) di Desa Mampok, Kecamatan Jemaja. Menurut legenda, permainan ini bermula ketika sekelompok penduduk Jemaja memancing di perairan Desa Mampok pada malam hari. Nama “Mampok” berasal dari jenis kayu yang dulu tumbuh di desa tersebut, kini pohon tersebut telah punah di wilayah itu.

Ketika para nelayan sedang asyik memancing, tiba-tiba mereka mendengar suara pesta di tengah hutan. Karena penasaran, mereka memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka memasuki hutan dan terkejut melihat pemandangan aneh dan menakutkan.

Mereka melihat sekelompok orang menari dengan wajah dan bentuk yang menyeramkan, diiringi suara gong dan gendang, serta syair dalam bahasa yang tidak jelas. Wajah mereka ada yang bertaring, mata melotot, wajah merah, dan tubuh aneh.

Para nelayan mengikuti setiap gerakan tarian hingga pagi menjelang. Tarian semakin meriah dengan makhluk bunian yang melompat, berdengus, berteriak, dan menghentakkan kaki ke tanah. Saat pagi tiba, para nelayan saling menatap dengan bingung dan kaget. Mereka memutuskan untuk meninggalkan hutan dan kembali ke rumah sambil menceritakan pengalaman mereka kepada keluarga. Beberapa hari kemudian, mereka mengingat-ingat tarian, lagu, dan tabuhan gendang, lalu menirukan kembali tarian tersebut.

Mereka sepakat menjadikannya kesenian hiburan yang dikenal sebagai “gubang”. Pada awalnya, kesenian gubang lebih dikenal sebagai permainan topeng “ka” yang dimainkan di panggung yang disebut selasar buang.

Kesenian gubang awalnya digunakan sebagai sarana tolak bala dan pengobatan. Masyarakat Jemaja percaya bahwa jika kesenian ini dipentaskan, makhluk halus yang ingin mengganggu akan mengikuti tarian hingga selesai dan kemudian menghilang. Kesenian ini pertama kali berkembang di Dusun Bayur dan Dusun Air Kenanga, Desa Mampok, Kecamatan Jemaja.

Pada masa pemerintahan Belanda di Pulau Jemaja, kesenian gubang mengalami perubahan. Atribut penari mengikuti gaya tuan tanah Belanda dengan baju coat, topi, dan sepatu. Pulau Jemaja saat itu dipimpin oleh Datuk H. Muhammad Tara. Sejak saat itu, tarian gubang memiliki dua versi: topeng “ka” (versi asli) dan topeng “bangkung” (penari mengenakan topeng lawa atau wajah dililit kain putih dan membawa senter lama).

Saat ini, kesenian gubang mengalami penurunan minat dari generasi muda karena kuatnya arus globalisasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kelangsungan kesenian gubang di masa depan.

Kesenian gubang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jemaja selama berabad-abad, mencerminkan sejarah, adat istiadat, dan nilai luhur.

Setiap gerakan, kostum, dan iringan musiknya memiliki keunikan tersendiri dan keindahan estetika yang tinggi. Agar kesenian ini tetap eksis, peran generasi muda sangat penting dalam melestarikan kesenian gubang. Dukungan dari pemerintah daerah dan swasta juga dibutuhkan untuk mensosialisasikan kesenian ini kepada generasi muda.

Partisipasi aktif masyarakat Jemaja dalam melestarikan kesenian ini juga diperlukan agar tetap berkembang di tengah kuatnya arus globalisasi. Oleh karena itu, upaya pelestarian gubang sangat penting untuk memastikan warisan budaya ini tetap lestari hingga generasi mendatang.

Baca juga: Orang Rempang: Pasukan Pertikaman Kesultanan Melayu