November 1991 menjadi bulan keberuntungan sekaligus yang tak bisa dilupan bagi Suradji. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai petani dan penjual bambu itu, nasibnya tiba-tiba berubah 180 derajat.
Pada bulan itu, Suradji berubah menjadi seorang miliarder lantaran kupon undiannya berhasil jackpot. Suradji seperti mayoritas penduduk lainnya, itu bermain judi lewat kupon Sumbangan Sosial Dermawan Berhadiah (SDSB).
SDSB merupakan kebijakan pemerintah untuk menarik uang dari masyarakat lewat mekanisme kupon undian pada 1989.
Kupon SDSB pernah berjaya dizamannya, dan masyarakat yang beruntung akan dapat uang tunai jutaan hingga miliaran rupiah.
Peluang kecil
Suradji beruntung karena pada November 1991 kupon nomor SDSB yang dibelinya, sesuai dengan pengumuman yang dikeluarkan pemerintah. Artinya, Suradji sah jadi pemenang SDSB dan berhak mendapat uang tunai Rp1 miliar.
Pada tahun 1991, uang Rp1 miliar sangat besar. Harga rumah di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta tahun itu harganya mencapai Rp80 juta per unit.
Dengan memiliki uang Rp1 miliar, Suradji bisa membeli 12 unit rumah di Pondok Indah. Lalu, harga emas tahun 1991 hanya Rp20 ribu per gram.
Suradji bisa memborong 50 Kg emas. Berarti jika dikonversikan melalui penyetaraan harga emas (1 gram: Rp1 juta), diketahui uang Rp1 miliar setara Rp50 miliar pada masa sekarang.
Meski mendadak menjadi seorang miliarder, Suradji tidak angkuh dan mengalihkan sedikit uang untuk kepentingan warga di sekitar rumahnya di Dusun Telasih, Desa Parakan, Trenggalek, Jawa Timur.
Melansir dari Harian Suara Pembaruan (09 November 1991) menyebut, Suradji secara sukarela membangun jembatan beton seharga Rp117 juta untuk membantu warga menyeberangi sungai.
Sebelumnya, warga sehari-hari menyebrang sungai lewat jembatan bambu yang ringkih. Namun, kini tidak lagi karena Suradji menyisihkan uang judi untuk membangun jembatan beton.
“Buruh tani dan penjual bambu itu, menamakan jembatan sumbangannya sebagai jembatan SDSB,” tulis Suara Pembaruan saat itu.
Legalisasi judi
Apa yang dialami Suradji menjadi kelaziman di masa Orde Baru. Ada beberapa orang menang undian SDSB, mulai dari tukang becak, petani, hingga prajurit TNI.
SDSB sebenarnya hanya satu dari beragam rupa kebijakan serupa yang pernah eksis di Indonesia.
Menguti cnbcindonesia, sepanjang dekade 1980-an, atau 44 tahun lalu, pemerintah membuat banyak kebijakan undian sumbangan masyarakat.
Sebut saja seperti Lotere Dana Harapan (1978), Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (1979), Kupon Berhadiah Porkas Sepakbola (1985), Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (1987), dan terakhir Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (1989).
Seluruh kebijakan tersebut punya mekanisme sama. Pemerintah melalui Kementerian Sosial lalu mencetak kupon undian, untuk dibeli masyarakat di rentang harga berbeda. Lalu uang dari masyarakat dipakai modal pembangunan.
Sebagai timbal balik, masyarakat akan mendapat uang jutaan hingga miliaran rupiah dari tebakan kupon undian. Tentu saja uang diperoleh dengan peluang sangat kecil.
Jika kupon yang dibeli sesuai dengan pengumuman, maka si pembeli mendapat uang hadiah. Dari jutaan peserta, hanya 1-2 orang saja yang berhasil menang.
Jadi, seseorang yang memenangkan undian ini membuat jatah hoki seumur hidupnya terpakai. Praktik seperti ini tak ada bedanya dengan perjudian yang sekarang marak.
Maka, banyak orang menganggap kebijakan tersebut seperti legalisasi judi. Salah satunya adalah Sri Bintang Pamungkas, dalam Ganti Rezim Ganti Sistim (2014) yang menyebut, SDSB seperti judi yang dilegalisasi pemerintah di zaman Presiden Soeharto.
Demonstrasi menghapus legalisasi judi juga banyak terjadi. Di Yogyakarta, misalnya, Harian Suara Karya (5 Desember 1991) melaporkan, ribuan mahasiswa mendemo Soeharto agar SDSB dihentikan. Pemerintah memang untung.
Namun, di akar rumput, banyak masyarakat yang ingin kaya mendadak berubah menjadi jatuh miskin, menderita hingga bunuh diri.
Sebab mereka sudah keluar uang banyak, tapi tidak pernah mendapat hadiah. Mereka juga melakukan segala cara untuk dapat uang supaya bisa membeli kupon SDSB, seperti berutang, pergi ke dukun, atau menjual harta benda.
Pemerintah tolak disebut melegalisasi judi
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Sudomo menyebut, kalau yang dilakukan pemerintah adalah mengadu untung dengan membeli kupon bernomor, atau dengan menentukan nomor sendiri dapat hadiah uang.
Dalihnya, SDSB pakai kertas tak pakai kartu seperti judi (Suara Pembaruan, 12 November 1991).
Sekalipun demikian, bantahan tak membuat masyarakat tutup mata kalau itu adalah perbuatan judi. Sampai akhirnya, kebijakan undian benar-benar berakhir pada 1993.
Kini, perjudian sebagai jalan pintas mendapat uang banyak secara cepat sedang masif diberantas. Meskipun, langkah itu tak bisa menghapus sejarah, bahwa judi dulu pernah dilegalkan di Indonesia.
Era baru judi online
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik judi online yang semakin marak di Indonesia.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid menyatakan, upaya tersebut bagian dari menjaga ruang digital yang aman dan bebas dari pengaruh negatif bagi masyarakat.
Di awal kepemimpinannya, Menkomdigi telah memblokir lebih dari 383.000 situs judi online sejak pemerintahan Presiden Prabowo dengan misi Asta Cita yang salah satunya memberantas judi online.
Tidak hanya memutus akses, Kemkomdigi juga bekerja sama dengan otoritas keuangan seperti OJK,
untuk membekukan rekeIng yang terindikasi digunakan dalam aktivitas judi online.