BATAM – Kasus buaya lepas dari penangkaran PT PJK di Pulau Bulan, Kota Batam, Kepulauan Riau, masih menjadi perhatian serius, namun hingga kini belum ada data yang jelas mengenai jumlah buaya lepas. Hal ini semakin menambah keresahan masyarakat, terutama setelah Wali Kota Batam membentuk tim terpadu dengan tenggat waktu satu minggu untuk menangani masalah tersebut.
Sekretaris Komisi I DPRD Batam, Anwar Anas, mengungkapkan kekecewaannya terkait kurangnya informasi yang diterima pihaknya. Menurutnya meskipun perusahaan sempat mengklaim hanya lima buaya yang lepas, saat Komisi I melakukan sidak ke lokasi, ternyata sudah ada tujuh buaya yang berhasil ditangkap oleh masyarakat.
“Perusahaan awalnya menyebut hanya lima buaya yang lepas, namun kenyataannya lebih banyak. Kami turun langsung ke lokasi dan mendapati ada tujuh buaya yang ditangkap warga,” ujar Anwar, yang juga anggota DPRD Batam dari Fraksi Gerindra, Sabtu 25 Januari 2025.
Anwar menambahkan, perusahaan mengungkapkan ada dua tanggul yang bocor, satu berisi lima buaya, sementara satu lagi lebih banyak, meskipun jumlah pastinya belum dapat dipastikan. Perusahaan pun membutuhkan waktu empat hari untuk menguras air penangkaran dan menghitung jumlah buaya yang tersisa. Namun hingga kini DPRD Batam belum menerima data yang jelas terkait hal tersebut.
Sementara itu meski penanganan masalah ini sudah diambil alih oleh pemerintah kota melalui tim terpadu, Anwar mengungkapkan bahwa DPRD Batam belum menerima perkembangan terbaru mengenai penanganan kasus ini.
“Kami tidak persoalkan siapa yang menangani, asal ada yang sungguh-sungguh menarik buaya ini kembali ke penangkaran. Namun kami mendesak perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat, terutama nelayan yang terdampak ketakutan untuk melaut,” tegasnya.
Baca juga: Tim Terpadu dan Nelayan Berjibaku Tangkap Buaya Lepas dari Penangkaran Pulau Bulan
Ia menambahkan, hingga kini belum ada pemberitaan terkait langkah nyata dari perusahaan mengenai kompensasi yang dijanjikan. Terkait kompensasi, yang kabarnya bernilai antara Rp600 ribu hingga Rp1.500.000 per buaya, Anwar menegaskan pihaknya tidak ingin membahasnya lebih lanjut.
“Kami hanya meminta agar ada biaya apresiasi dan transportasi untuk nelayan,” ujarnya.