Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah salah satu sektor yang terus menjadi perhatian pemerintah Indonesia hingga saat ini.
Oleh: Muhammad Chairuddin (Jurnalis/Ulasan.co)
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM untuk mengatur jalannya roda perekonomian melalui sektor tersebut. Dalam undang-undang itu setiap UMKM bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional. Hal itu tentunya terbilang wajar karena jumlah UMKM di Indonesia telah mencapai jutaan unit usaha.
Dilhat dari jumlahnya, sektor UMKM tentu memiliki peran sentral pada perekomian Indonesia termasuk penguatan ekonomi nasional. Dikutip dari katadata.co.id, jumlah UMKM di Indonesia hingga September 2022 mencapai 65,5 juta unit usaha. Jumlah itu menempatkan Indonesia di posisi pertama sebagai negara dengan jumlah UMKM terbanyak se-ASEAN.
Sejalan dengan itu, salah seorang peneliti, Rosma Simangunsong (2008:84) mengungkapkan, sektor UMKM memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bahkan pada jurnalnya itu, peningkatan kualitas dan kuantitas UMKM dapat meningkatkan angka perekonomian di Negeri Ibu Pertiwi.
Tak hanya itu, pentingnya UMKM juga diucapkan Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto. Dilansir dari Antaranews, Airlangga mengungkapkan jumlah sektor bisnis pada UMKM 2021 lalu mencapai 64,19 juta serta telah berkontribusi Rp8.574 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Tanah Air.
Oleh sebab itu, pengaruh UMKM terhadap ketahanan ekonomi nasional tak dapat dipandang sebelah mata. Semakin baik dan berkembang sektor UMKM, maka kekuatan ekonomi nasional juga akan semakin baik. Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor UMKM dengan berbagai cara. Peningkatan itulah yang kini didengungkan dengan istilah “UMKM Naik Kelas”.
Pada laman Kemenkopukm.co.id, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menegaskan, pemerintah siap memberikan pendampingan dan dukungan bagi para UMKM agar naik kelas. Menurutnya, UMKM yang telah naik kelas merupakan UMKM yang mampu bersaing dengan perusahaan besar lainnya.
Ia memaparkan, terdapat sejumlah cara yang dapat ditempuh bagi para UMKM untuk mencapai predikat itu. Salah satunya dengan menjalin kemitraan bersama unit usaha lainnya. Baik setingkat maupun perusahaan yang lebih besar hingga berpotensi mengembangkan UMKM itu sendiri. Tak hanya soal keuntungan finansial semata, kesinambungan usaha hingga peningkatan skala usaha bisa saja didapat oleh para pelaku UMKM melalui program kemitraan. Hal itu tentu saja bisa didapat selagi kemitraan yang terjalin adalah kerja sama yang sehat dan saling menguntungkan.
Jika tidak, maka kemitraan yang berlangsung dapat memberikan dampak buruk dan membuat UMKM menjadi terpuruk. Namun jika sebaliknya, kerja sama yang terjalin akan menghasilkan kemitraan yang berkepanjangan hingga berdampak positif bagi UMKM itu sendiri. Oleh sebab itu, tentu penting adanya pengawasan yang ketat untuk menjamin hal tersebut terkhusus mencegah adanya penguasaan UMKM oleh para usaha besar.
Pada pasal 36 UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, pelaksanaan kemitraan diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga pengawas persaingan usaha yang tidak lain adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hal itu diperkuat dengan pasal 31 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
Pada pasal tersebut, pengawasan pelaksanaan kemitraan merupakan wewenang dari KPPU. Tak hanya itu, legalitas KPPU sebagai pengawas pelaksanaan kemitraan UMKM diperjelas dengan adanya Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pengawasan dan Penanganan Perkara Kemitraan.
Di Pasal 2, KPPU dapat melakukan pengawasan kemitraan yang dilakukan oleh antar UMKM hingga dengan dengan usaha besar. Tiga peraturan perundang-undangan itu layaknya trisula milik KPPU untuk mengawal dan menjaga kesehatan kemitraan para UMKM.
Jika menemukan adanya pelangaran pada pelaksanaan kemitraan UMKM, KPPU dapat langsung mengambil tindakan sesuai trisula undang-undang yang dimilikinya itu. Dari laporan tahunannya pada 2021, KPPU telah menangani 15 kasus pelaksanaan kemitraan. 13 diantaranya berasal dari laporan yang disampaikan masyarakat. Sementara sisanya berasal dari inisiatif KPPU sendiri.
Kinerja KPPU itu langsung tampak memberikan dampak positif pada UMKM yang nyaris menjadi korban. Beberapa dampak itu ialah perbaikan dan peningkatan pengelolaan kebun plasma seluas 23.566,98 hektar pada sektor perkebunan sawit, hingga peningkatan hasil panen dan pendapatan plasma. Manfaat itu dirasakan oleh 11.437 kepala keluarga atau sekitar 45.748 jiwa.
Kemudian, ada juga penanganan perkara yang berdampak pada petani plasma yang memperoleh pengembalian lahan kebun dari perusahaan inti seluas 492,01 hektar. Tak hanya pada sektrot pekebunan, dampak positif yang sama juga tampak pada sektor konstruksi. Dengan adanya pelunasan keterlambatan pembayaran pekerjaaan dari kontraktor utama kepada sub kontraktor senilai Rp9.189.505.575.
Di sektor transportasi online, 3,5 juta pengemudi mitra penyedia layanan transportasi online di seluruh Indonesia menikmati terbukanya akses untuk menyetarakan hak-hak mitra dan kesempatan pengajuan banding. Pengemudi yang telah putus mitra juga memperoleh kembali sisa saldonya.
Setidaknya, lebih dari 4.000 pengemudi telah menerima pengembalian sisa saldo hingga Rp500 juta. Selanjutnya, sebanyak 692 peternak mitra pada sektor peternakan ayam turut pula menikmati hasil perbaikan pelaksanaan kemitraan dengan meningkatnya penghasilan mitra. Begitu pula yang dirasakan oleh 1.566 Agen Pos pada sektor logistik di seluruh Indonesia.
Contoh terbarunya, pada kasus pelaksanaan kemitraan PT Suryabumi Tunggal Perkasa dengan Koperasi Perkebunan Tri Hampang Bersatu (Koperasi THB), September lalu. PT Suryabumi Tunggal Perkasa (STP) terbukti melanggar pasal 35 UU No. 20 tahun 2008. KPPU secara tegas memvonis PT STP untuk memenuhi kewajiban 20% lahan Plasma apabila mendapatkan lahan pelepasan kawasan hutan atau areal penggunaan lain dari pemerintah, serta menyempurnakan mekanisme transparansi terkait laporan keuangan dan penyusunan rencana kerja bulanan serta evaluasi pelaksanaannya yang melibatkan Koperasi THB.
Dari berbagai perkara itu, dapat dilihat pentingnya peran KPPU untuk menjaga kesehatan kemitraan UMKM agar tak serta merta dikuasai oleh usaha yang lebih besar. Tak sedikit pelaku UMKM yang terselamatkan dari penindakan oleh KPPU.
Dengan tugas, wewenang, serta bukti penindakan tersebut, dapat disimpulkan KPPU sebagai tonggak alias penopang utama UMKM untuk naik kelas. Jika tidak ada KPPU, maka potensi adanya kemitraan yang tidak sehat akan semakin besar dan rawan.
Apabila pelaksanaan kemitraan tak lagi sehat, maka para pelaku UMKM akan turut terpuruk. Akibatnya, penguatan ekonomi nasional akan turut terpengaruh. Jika ditarik benang merah, pengawasan pelaksanaan kemitraan KPPU menjamin kemitraan yang sehat. Sedangkan kemitraan yang sehat, dapat menjamin UMKM untuk naik kelas. Jika UMKM naik kelas, maka penguatan ekonomi nasional juga turut membaik bahkan meningkat.
Oleh karena itu, eksistensi KPPU serta kedekatannya kepada UMKM harus terus terjaga demi terwujudnya UMKM naik kelas dan perekonomian di Indonesia semakin membaik. (*)