LSM: Penetapan WNA sebagai Tersangka Korupsi Oleh Kejari Batam Aneh

BATAM – Penetapan warga negara asing (WNA) asal Singapura berinisial TNT sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam menuai sorotan.

Ketua Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86), Cak Ta’in Komari, berpendapat penetapan TNT sebagai tersebut tersebut sebagai hal yang aneh, bahkan berpotensi keliru dalam penegakan hukum.

Sebelumnya, diberitakan Manajer di PT Sintek Indonesia, TNT ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara penjualan fasilitas umum (fasum) perumahan Merlion Square, Tanjung Uncang, kepada WNA asal Korea yang merupakan Ketua Yayasan Suluh Mulia Pionir, KKJ dengan nilai transaksi sebesar Rp4,89 miliar.

“Penerapan UU Tipikor terhadap orang swasta, apalagi orang asing, bukan ASN, aparatur, penyelenggara dan pejabat negara itu, aneh. Ini bisa salah kaprah,” ujar Cak Ta’in kepada ulasan.co di Batam, Kamis 19 Juni 2025.

Menurutnya, filosofi lahirnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih.

Karena itu, kata dia, lahirlah UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang baik dan bersih dari KKN, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai “leading” sektor.

“Semangatnya membersihkan aparatur, aparat, penyelenggara dan pejabat negara dari semua tindak pidana korupsi,” katanya menambahkan.

Meski begitu, menurut Cak Ta’in, pihak swasta termasuk warga negara asing, masih bisa dijerat dengan UU Tipikor. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan jika mereka terlibat dalam kasus korupsi bersama penyelenggara negara. Artinya, mereka tidak bisa dipidana sendirian tanpa ada keterlibatan pejabat atau aparat negara dalam tindakan korupsi tersebut.

Mantan dosen Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) itu memandang kasus fasum Merlion Square dari sudut yang berbeda. Ia menilai bahwa akar masalah justru berada pada kelalaian pihak pemerintah daerah.

“Sebenarnya yang salah Pemkot Batam. Mengapa pengembang yang diwajibkan menyerahkan fasum kepada pemkot tidak dipaksa menyerahkan saat persetujuan IMB. Misalnya, disyaratkan sudah pecah Peta Lokasi (PL) untuk fasumnya dan langsung serah terima kepada Pemkot Batam. Jika itu dilakukan tentu tidak ada masalah,” ucap Cak Ta’in menambahkan.

Ia juga menyoroti fakta bahwa banyak pengembang perumahan tidak menyerahkan fasum ke Pemkot Batam, melainkan ke warga penghuni kompleks perumahan. Bahkan, beberapa lokasi fasum disebut telah diperjualbelikan kepada pihak ketiga.

“Pertanyaannya, apa mungkin jaksa mau usut semua? Saya bisa tunjukkan nanti,” ucapnya menegaskan.

Lebih lanjut, Cak Ta’in mempertanyakan konsistensi kebijakan jika seluruh fasum dianggap sebagai aset publik, sementara banyak fasum berada di kawasan perumahan mewah yang aksesnya tertutup bagi masyarakat umum.

“Kalau semua fasum diklaim sebagai aset Pemkot Batam, tentu tidak boleh ada yang tidak diakses publik, apalagi yang dibangun menggunakan APBD. Jadi masalahnya sangat kompleks,” ujarnya menegaskan.

Ia menilai bahwa pokok persoalan justru berada pada kebijakan dan eksekusi teknis oleh Pemkot Batam, bukan pada pengembang. Oleh karena itu, menurutnya, konstruksi hukum dalam kasus TNT tidak tepat jika dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

“Kasus yang diterapkan kepada WNA Singapura itu jelas tidak memenuhi konstruksi hukum tindak pidana korupsi, kecuali ada unsur penyelenggara negara sebagai penanggung jawab utamanya. Jangan kemudian kasus ini menjadi yurisprudensi bagi masalah fasum perumahan lainnya, dan tidak diproses secara adil oleh kejaksaan,” katanya melanjutkan.

Cak Ta’in juga menyebutkan kasus ini berpotensi menjadi bahan diskusi ilmiah yang menarik di lingkungan akademik dan bagi kalangan praktisi hukum.