JAKARTA – Proses mediasi gugatan perdata terhadap riwayat pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akhirnya menemui jalan buntu.
Pertemuan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (13/10/2025) lalu tidak menghasilkan kesepakatan damai antara penggugat dan tergugat.
Dalam perkara ini, Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menjadi pihak tergugat. Keduanya sama-sama tidak mampu memenuhi syarat damai yang diajukan oleh penggugat, Subhan Palal.
“Ya, hari ini belum tercapai kesepakatan. Kalau perkara perdata, kesepakatan itu bisa diambil sampai pokok perkara berakhir,” ujar penggugat Gibran, Subhan Palal, saat ditemui usai mediasi.
Subhan menegaskan, ada dua permintaan utama yang ia ajukan. Pertama, tergugat harus meminta maaf kepada masyarakat. Kedua, mereka diminta mundur dari jabatannya masing-masing.
“Saya mensyaratkan dua, minta maaf dan mundur dari jabatannya masing-masing, tapi itu enggak bisa dipenuhi,” kata Subhan.
Ia juga menuturkan bahwa jalannya mediasi berlangsung tenang. Tidak ada perdebatan panas, nada tinggi, atau tarik ulur untuk mengubah syarat damai. Namun, kedua belah pihak tetap tidak menemukan titik temu.
Respons Kubu Gibran
Sementara itu, kuasa hukum Gibran, Dadang Herli Saputra, membenarkan bahwa pihaknya memang tidak bisa memenuhi syarat damai dari penggugat. Menurutnya, ada beberapa permintaan yang melibatkan pihak ketiga sehingga tidak bisa dipenuhi dalam konteks mediasi.
“Ada permintaan dari penggugat yang tidak mungkin dipenuhi dalam konteks mediasi karena melibatkan pihak ketiga,” ujar Dadang saat ditemui usai mediasi di PN Jakarta Pusat.
Ketika ditanya lebih lanjut, Dadang enggan mengungkapkan secara rinci isi poin damai yang tidak disetujui. Ia menegaskan bahwa hal tersebut sudah masuk ke substansi perkara.
Sementara itu, pihak KPU RI memilih tidak memberikan keterangan apa pun kepada awak media. Tidak ada satu pun komisioner KPU yang hadir langsung di ruang mediasi. Mereka hanya menunjuk Jaksa Pengacara Negara sebagai kuasa hukum.
Lanjut ke Persidangan
Setelah mediasi dinyatakan gagal, gugatan perdata ini akan berlanjut ke tahap persidangan. Subhan memastikan akan membuka semua fakta dalam proses pembuktian nanti.
“Sidang selanjutnya yaitu jawaban, replik, duplik, pembuktian, mudah-mudahan sampai pembuktian. Nanti kita buka-bukaan di pembuktian,” kata Subhan.
Perhatian publik kini kembali tertuju pada petitum gugatan, salah satunya menyangkut ganti rugi immateriil senilai Rp 125 triliun.
Subhan menggugat Gibran karena menilai syarat pendidikan SMA tidak terpenuhi dalam pendaftaran calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres lalu.
“Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI,” ujar Subhan saat dihubungi Kompas.com pada 3 September 2025.
Berdasarkan data KPU di laman infopemilu.kpu.go.id, Gibran tercatat menempuh pendidikan setara SMA di Orchid Park Secondary School Singapore (2002–2004) dan UTS Insearch Sydney, Australia (2004–2007). Menurut Subhan, kedua lembaga tersebut tidak memenuhi ketentuan pendaftaran cawapres.
“Karena di UU Pemilu itu disyaratkan, presiden dan wakil presiden itu harus minimum tamat SLTA atau sederajat,” jelas Subhan dalam program Sapa Malam di YouTube Kompas TV, 3 September 2025.
Tuntutan Hukum Berat
Subhan meminta majelis hakim menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Ia juga menuntut agar status Gibran sebagai Wapres dinyatakan tidak sah.
Dalam petitumnya, Gibran dan KPU juga dituntut membayar ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp 125 triliun serta Rp 10 juta yang harus disetorkan ke kas negara.
“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum tersebut.
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News


















