Memburu Rupiah dari Pasir Hanyut

Penambang pasir hanyut Desa Busung, Kecamatan Sri Kuala Lobam, Bintan. (Foto: Aji Anugeraha).

Bintan – Sinar matahari siang itu cukup terik. Sejumlah pria pun tampak menyeka keringat di antara gundukan pasir di kawasan wisata Desa Busung, Kecamatan Sri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri). Kehadiran mereka bukan berwisata, melainkan mengeruk pasir lalu dijual untuk menafkahi keluarga.

Suara gesekan sekop untuk mengeruk pasir itu pun memecahkan kesunyian di siang itu. Srek…srek…suara itu menggema di antara bukit-bukit pasir, di Desa Busung, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Bintan terdengar hingga di pondok-pondok tempat biasa pengunjung berteduh, Jumat (06/08).

Di balik bukit pasir itu, tiga orang pria dengan kaos oblong dua diantaranya tak mengenakkan alas kaki tengah memegang skop, menyedok pasir dari tepian bukit dan menumpukkannya pada satu tempat. Mereka adalah para penambang pasir hanyut, yang bercampur anyau.

Selang beberapa waktu, seorang pria mengenakan kaos kuning berperawakan lansia, memangkul skop berjalan menuju tiga kawanan itu. Dia adalah Sulung (70), satu dari sekian penambang pasir hanyut Desa Busung.

Ayunan tangan Sulung begitu kokoh, terlatih saat mengantarkan setiap sedok pasir kedalam bak truk. Tak ada helaan nafas keluh. Sulung terlihat biasa saja, seolah ingin menunjukkan bahwa ia pria perkasa, meski berusia senja.

Sulung sudah biasa bekerja seperti itu.

“Sudah 20 tahun saya kerja gali pasir,” kata Sulung, saat menjawab pertanyaan U-TV.

Selama pandemi, Sulung bersama tiga rekannya menghabiskan waktu di objek wisata gurun pasir atau kala itu dikenal sebagai bekas pertambangan pasir dan bauksit Bintan.

Dalam sehari Sulung menghasilkan 100 hingga 200 ribu rupiah dari upah tambang pasir bersama rekan-rekannya. Pendapatannya menyesuaikan permintaan pasir dari truk pengangkut material bangunan asal Tanjungpinang dan Bintan.

“Satu lori upah kami 150 ribu, bagi empat. Kadang sehari bisa 3 sampai 4 lori, lumayan lah untuk makan,” ungkapnya.

Permintaan pasir sebagai bahan bangunan di Tanjungpinang dan Bintan cukup tinggi di tengah langkanya pasir sejak aparat penegak hukum menutup sejumlah pertambangan pasir ilegal, belum lama ini.

Sebagian perusahaan yang memiliki izin operasi di wilayah khusus pertambangan menjual pasir lebih tinggi dari penambang pasir hanyut, Desa Busung.

Penambang pasir Busung menyediakan pasir dari bukit pasir yang hanyut di das aliran air yang terbentuk secara alami. Mereka menambang dengan alat seadanya, mengeruk tanpa meninggalkan lubang.

Pekerja jasa angkut truk pasir Tanjungpinang Bintan membeli pasir yang disediakan penambang pasir hanyut Desa Busung. Satu truk berisi lebih dari 2 kubik pasir dihargai 300 hingga 400 ribu rupiah untuk sekali angkut, di wilayah pengantaran Bintan.

Sedangkan untuk pengantaran pesanan pasir wilayah Tanjungpinang dikenakan biaya 500 hingga 600 ribu rupiah, dikarenakan jarak tempuh yang cukup jauh.

Salah satu diantara penyedia jasa angkut truk pasir dari Bintan adalah Arif. Dalam sehari dia mendistribusikan 3 sampai 5 pesanan pasir dari toko material di Bintan dan Tanjungpinang.

Arif mengaku kesulitan mendapatkan pasir sejak penambangan pasir ilegal di tutup. Dia memilih membeli pasir dari penambang pasir warga Desa Busung. Dengan begitu juga upaya untuk membantu perekonomian warga.

“Sekarang susah dapat pasir. Kalau pun ada di perusahaan di Tembeling, gak bisa, kalah dengan warga yang ada di sini,” katanya.

Kebutuhan pasir sebagai bahan material pembangunan di Bintan dan Tanjungpinang berasal dari Bintan.

Sejumlah wilayah di Bintan seperti Busung, Kalang Batang, Gesek, Kawal hingga Desa Berakit terdapat lokasi-lokasi dengan sedimentasi pasir. Namun banyak diantara lokasi pasir tersebut bukan wilayah pertambangan.

Meskipun aparat penegak hukum telah menertibkan sejumlah penambangan pasir ilegal di Bintan, tetap saja mereka yang menggantungkan pendapatan sehari-hari dari pasir diam-diam beroperasi, dengan alasan untuk bertahan hidup.

Pewarta : Aji Anugraha
Redaktur: Albet