Mendagri Kritik Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Pusat dan Pilkada

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian saat menghadiri acara pertemuan regional Majelis Nasional Korps Alumni HMI (MN KAHMI) se-Sumatera (Foto: Randi Rizky K)

BATAM – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan kritik tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu pusat dan Pilkada.

Hal ini disampaikan Tito dalam orasi kebangsaan pada Pertemuan Regional KAHMI se-Sumatera yang digelar di Kota Batam.

Menurut Tito, putusan MK tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi. Ia menyebut, tugas dan wewenang MK telah diatur secara jelas dalam Pasal 24C UUD 1945, yakni menguji Undang-Undang, menguji sengketa lembaga yang kewenangannya berasal dari UUD 1945, Menguji atau membubarkan partai politik, lalu menangani sengketa pemilu dan pilkada.

“Keputusan MK yang membedakan waktu pelaksanaan pemilu pusat dan pemilihan kepala daerah itu paling tidak melanggar tiga pasal dalam UUD 1945. Ini bisa menimbulkan kekacauan dalam ketatanegaraan,” ujar Tito menegaskan.

Ia menyoroti isi putusan MK yang menyatakan Pilkada dilaksanakan dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden, Wakil Presiden, serta DPR dan DPD.

Menurutnya, ketentuan tersebut mengunci skema pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat, padahal UUD 1945 tidak mengharuskan hal itu.

“Pasal 18 ayat 4 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Artinya, bisa saja dilakukan melalui perwakilan seperti DPRD, yang penting tidak ditunjuk. Ini namanya bukan menguji UU Pilkada, tapi merubah dan menentang pasal 18 ayat 4 tentang pemilihan kepala daerah yang demokratis,” jelasnya menerangkan.

Tito juga menyinggung soal dampak praktis dari putusan MK, khususnya bagi masa jabatan kepala daerah. Jika kepala daerah dilantik pada Februari 2025, maka masa jabatan mereka akan berakhir pada Februari 2030. Namun jika mengikuti putusan MK, Pilkada baru digelar dua tahun setelah pelantikan presiden, maka Pilkada baru akan berlangsung pada 2031.

“Terus bagaimana pengisiannya? Ada dua opsi, kepala daerah yang definitif di stop lalu di Pj-kan. Artinya apa? seluruh Indonesia semuanya akan di Pj-kan” ujarnya menyampaikan

Namun, ia mengaku kurang ‘sreg’ dengan opsi PJ secara menyeluruh. Menurutnya, jika kepala daerah bermasalah, pemerintah bisa merujuk pada hasil pilihan rakyat.

Tapi jika yang bermasalah adalah PJ yang ditunjuk oleh pemerintah pusat, maka tanggung jawab moral dan politik akan kembali ke Presiden dan Mendagri.

“Kalau kepala daerah dipilih rakyat dan bermasalah, saya tinggal jawab, ‘kenapa rakyat memilih dia?’. Tapi kalau PJ yang saya tunjuk bermasalah, saya dan Presiden yang akan disalahkan, tanggung jawabnya lebih berat,” katanya menyampaikan

Opsi lainnya adalah memperpanjang masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2024 hingga kepala daerah baru terpilih dan dilantik. Namun hal ini hanya bisa dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah.

Tito juga menyinggung masalah pengisian keanggotaan DPRD, karena dalam Pasal 18 ayat 3 dan Pasal 22E UUD 1945 disebutkan bahwa DPRD juga harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya, tidak ada dasar hukum untuk menunjuk Pj DPRD.

“UUD menyebut mereka harus dipilih langsung,” pungkas Tito dalam orasinya.