Menelisik Makna Pantang Menyerah dari Puisi ‘Para Peminum’ Karya Sutardji Calzoum Bachri

Reyke Mayang Safitri
Reyke Mayang Safitri.

Di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak.

Mereka oleng
tapi mereka bilang
kami takkan karam
dalam lautan bulan
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi.

Di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan.

Mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan.

Tanjungpinang – Sosok Datuk Seri Sutardji Colzum Bachri adalah sosok yang fenomenal, dan terkenal sebagai presiden penyair Indonesia, dan merupakan salah satu pelopor penyair di era 1970-an.

Sutradji Colzum Bachri lahir 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau.

Beliau adalah anak ke lima dari sebelas orang bersuadara, dari pasangan Mochammad Bachri dan May Calzoum.

Kiparahnya dalam dunia sastra dimulai saat dirinya mengirimkan hasil karyanya di beberapa surat kabar seperti Sinar harapan, Kompas, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Haluan Horison, dan Budaya Jaya.

Sutardji memulai karirnya di dunia sastra sejak duduk dibangku kuliah tepatnya pada usia 25 tahun.

Sajak pertama yang diberikan judul ‘O’ muncul di majalah sastra horizon.

Kemudian dikenal dengan ‘Kredo Puisi’.

Keindahan karya sastranya diakui oleh banyak negara di dunia.

Maka tak heran, jika karyanya cukup banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam antalogi Arjuna in Meditation (Calcutta, Inia, 1975), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antalogi berbahasa belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan lk wil nog duizend jaar leven, negen, modern Indonesische dichters (1979)

Puisi ini menggambarkan bahawasanya setiap mimpi dan cita-cita harus digapai dengan serius, meskipun tantangan terus menghadang namun kesungguhan akan memberikan sebuah kesuksesan.

Dimana dalam puisi dianalogikan sebagai seorang peminum minuman keras, meskipun mereka oleng, terpeleset hingga jatuh namun tetap semangat untuk meraih cita-cita.

Pada bait pertama terlihat sutardji ingin menerangkan bagaimana orang dapat berusaha, untuk mendapatkan sesuatum walau sesuatu itu tak mungkin digapai.

Hal ini dibuktikan dalam penggalan “di lereng-lereng”, dimana hidup memang memiliki halangan dan tantangan.

Namun meskipun begitu para peminum, yang dianalogikan sebagai seorang yang berusaha menggapai mimpi dan cita-cita tetap berusaha mendaki lagi.

Hingga memetik bulan dipuncak, dimana artinya mimpi tersebut khayalan, mereka tidak peduli hingga mimpi tersebut dapat mereka gapai.

Pada bait kedua, penyair mengungkapkan bahwasanya rintangan dan kesenangan hidup yang melanda senantiasa menggoda hidup manusia.

Namun mereka akan tetap berusaha mengalihkan perhatian para peminum akan cita-citanya.

Mereka tak akan mudah menyerah meskipun, dalam lautan kesenangan dalam hal ini dilambangkan dengan ‘lautan bulan’.

Bagian bait ketiga, penyair juga menerangkan bahwasanya keberhasilan akan tetap ada pada setiap orang yang tidak putus aja, hingga mimpi mereka berhasil mereka petik dan gapai.

Dilanjutkan, pada bait terakhir ‘di puncak, semuanya diam dan tersimpan’.

Penyair menggambarkan, bahwasanya ketika manusia telah menggapai mimpinya, mereka tetap diam dan menyimpan segala kekecewaan, rasa jatuh dan terpuruk sebagai sebuah pelajaran hidup, dan memberikan pelajaran bahwasanya setiap orang berhak bermimpi, dan jangan pernah putus asa untuk menggapai segala impian yang telah direncanakan meskipun rintangan kerap kali menghadang.

Dalam puisi ini, Datuk Seri Sutardji berusaha mengungkapkan, bahwasanya sebuah mimpi dan cita-cita harus diperjuangan dan tak mudah putus asa.

Diksi yang digunakan dalam puisi ini sangat unik, keindahan makna tersiratnya sangat menyentuh membangkitkan semangat untuk terus mengejar impian dan cita-cita.

Imaji yang ditampilkan dalam puisi ini juga terbilang juga cukup rumit, jika puisi hanya dibaca satu kali.

Namun ketika dibaca berulang kali, imajinasi yang ditampilkan dalam setiap bait memiliki keindahan frasa dan makna yang berbeda dengan puisi lainnya.

Seolah menggugah rasa untuk membacanya secara berulang, memaknai setiap rasa didalamnya dan memberikan amanat seakan kita adalah sang pemimpi yang tidak boleh putus asa.

 

Ditulis oleh: Reyke Mayang Safitri/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *