Menghidupkan Kembali Karya-karya Ismail Marzuki di Panggung Musikal

Menghidupkan Kembali Karya-karya Ismail Marzuki di Panggung Musikal
Ismail Marzuki. (ANTARA/HO-via Wikipedia)

Jakarta – Ismail Marzuki adalah salah seorang komponis besar Indonesia yang aktif dan produktif. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Orang-orang yang hidup di sekitar Ismail Marzuki kerap memanggilnya dengan nama kecil, cukup Mail atau Maing, Bang atau Pak Mail/Maing. Sementara orang-orang Belanda menyebutnya dengan Benjamin atau Ben karena cakap dalam dunia musik dan pandai berbahasa Belanda.

Sejak kecil, Ismail sudah menggemari musik. Saking cintanya di dunia musik, ia bahkan bisa menghabiskan waktu berlama-lama saat mendengarkan musik. Ia juga suka membeli piringan hitam dengan uang sakunya saat masih bersekolah.

“Kalau sudah putar piringan hitam, Ismail sulit berhenti. Ia tahan berjam-jam di muka gramofon,” tulis Ninok Leksono dalam bukunya yang berjudul “Ismail Marzuki Senandung Melintas Zaman”.

Baca juga: Peringati Hari Pahlawan, Ismail Marzuki Tampil di Google Doodle

Kecintaan pada gramofon dan piringan hitam itu menular dari ayahnya, Marzuki Saeran. Keluarga Marzuki memiliki koleksi piringan hitam cukup banyak, mencakup lagu dan irama yang beragam, seperti keroncong, jali-jali, cokek, dan gambus.

Ismail juga menyukai lagu-lagu Barat. Ninok mencatat bahwa lagu Barat yang paling disukainya adalah lagu-lagu dari Perancis, Italia, Latin, dengan irama rumba, tango, samba, dan sebagainya.

Minat musiknya semakin kentara sejak bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)–sekolah menengah pertama pada masa kolonial. Tak hanya bisa memainkan gitar dan ukelele, ia juga memainkan pengusung melodi seperti biola, akordeon, saksofon, dan piano.

Selain suka berlama-lama mendengarkan musik, Ismail suka bermain berbagai alat musik selama empat hingga lima jam sehari.

Setelah lulus dari MULO, ia sempat bekerja sebagai kasir di Socony Service Station di Java Weg (sekarang Jalan Cokroaminoto, Jakarta) dengan gaji 30 gulden per bulan, tetapi tak bertahan lama.

Baca juga: Revitalisasi Taman Ismail Marzuki Hampir Rampung

Kemudian Ismail bekerja di perusahaan NN Knies di Noordwijk (sekarang Jalan Ir H. Juanda) sebagai tenaga verkoper atau bagian sales dan marketing yang menjual alat musik dan piringan hitam. Pekerjaan inilah yang menjadi titik mula Ismail mengembangkan kariernya di dunia musik.

“Pak Mail itu pintar sekali menjual piringan hitam karena dia tidak melulu (menawarkan) ‘ini, beli ini’, tapi dia juga menceritakan pada calon-calon pembeli mengenai musik dan riwayat lagu. Itu secara tidak langsung bermanfaat untuk Pak Mail dalam meluaskan wawasannya tentang musik,” cerita Ninok dalam konferensi pers “Mentjari Bang Maing dan Djoewita” secara virtual, Kamis (17/2).

Dalam bukunya Ninok menulis, penampilan Ismail yang selalu mengenakan pakaian necis atau perlente, barangkali juga turut mempengaruhi ketertarikan calon pembeli piringan hitam. Ia bahkan selalu mengenakan dasi hingga temannya bergurau bahwa Ismail hanya mencopot dasi saat mandi dan tidur.

“Selalu pakai baju necis. Katanya Pak Mail itu nggak pernah copot dasi kecuali mandi,” tutur Ninok.

Pekerjaan di NN Knies itu membawa pertemuannya dengan Hugo Dumas, seorang agen di perusahaan itu dan pegawai tinggi di Departemen Kehakiman. Dumas juga memimpin Orkes Lief Java.

Menurut Ninok, perkenalan dengan Dumas itu menjadi salah satu titik balik karier Ismail. Dari sana akhirnya ia bergabung sebagai anggota Orkes Lief Java hingga siaran di radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) milik Belanda bersama kelompok musik itu.

“Keterlibatan yang intens dalam penyiaran tersebut mengembangkan bakat musik yang lain. Selain menyanyi, memainkan alat musik, bakat yang paling besar Pak Mail itu mencipta lagu,” ujar Ninok.