Merajut Drama Heroik dan Cinta di Pulau Penyengat

Meriam peninggalan masa Kerakaan Riau Lingga di Pulau Penyengat, Tanjungpinang. (Foto:Muhammad Ishlahuddin/Ulasan.co)

Awan gelap diiringi hujan deras mewarnai langkah menuju Pelabuhan Kuning, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Sabtu 13 Januari 2024.

Belasan perahu berjejer di tengah pelabuhan. Perahu-perahu sederhana itu mengarungi lautan menuju Pulau Penyengat.

Murah dan mudah. Kesan itu muncul ketika kru Ulasan Network membayar tiket untuk naik perahu, hanya Rp7.000.

Perahu bermuatan belasan orang itu pun mulai berlayar menuju Penyengat. Gelombang laut yang relatif teduh dan bersahabat mengantar perahu bermesin tempel itu ke Penyengat. Perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit.

Angin kencang mengiringi langkah di Pulau Penyengat yang luasnya hanya 2 kilometer. Cukup dengan berjalan kaki bisa mengelilingi pulau yang menyimpan banyak kisah heroik dan cinta.

Jejak sejarah terbentang luas tak lekang oleh waktu. Kisah kejayaan Kerajaan Melayu hingga kepunahan, menyimpan rahasia, dan jejak perjuangan yang eksotis.

Di tengah peradaban yang menghirup nafas masa lalu, tempat itu menjadi saksi bisu bagi kisah zaman yang terpahat dalam setiap lapisan tanahnya. Istana Kantor yang megah memeluk kenangan gemilang, sementara meriam di bukit kursi berdiri kokoh, bersaksi akan suara gemuruh yang telah meresapi udara di masa silam. Masjid Raya Sultan Riau, sebagai penjaga waktu yang setia, merentangkan lengannya yang kokoh, menyelipkan keagungan arsitektur yang mengalir seiring hembusan angin bersejarah.

Di antara reruntuhan penguasa di kerajaan itu, beberapa bangunan merajut cerita-cerita kuno, meninggalkan pondasi sebagai salam bisu dari masa yang tergores dalam batu dan tanah.

Tempat itu bukan hanya sebuah lokasi, melainkan panggung di mana drama-drama sejarah dipentaskan. Setiap langkah yang diambil di sini adalah tarian takdir, setiap tembok adalah lembaran kisah yang terbuka bagi mata yang ingin menyelami rahasia dan keajaiban yang tersembunyi di balik reruntuhan masa lalu.

Sebuah episode bersejarah yang menjadi saksi bisu, dimulai dari masa ketika pulau tak lebih dari benteng pertahanan kesultanan Riau-Lingga.

Istana Kantor, salah satu situs sejarah di Pulau Penyengat. (Foto:Muhammad Ishlahuddin/Ulasan.co)

Seorang Guru Besar Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Profesor Abdul Malik mengisahkan, kala itu, tahun 1757, Kesultanan Riau-Lingga telah bermusuhan dengan Belanda.

Puncaknya terjadi pada Perang Riau I yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabilillah pada 1782-1784 dan menjadi babak baru dalam sejarah Pulau Penyengat. Peristiwa ini menjadi awal dari konflik yang panjang antara kesultanan dan penjajah Belanda.

Dalam perang itu, Raja Haji membangun kubu–kubu pertahanan, antara lain di Pulau Bayan, Teluk Keriting, Tanjung Buntung dan Pulau Penyengat. Dalam perang tersebut, Raja Haji memimpin langsung peperangan yang berlangsung selama 2 tahun tersebut.

“Penyengat sebelum ada penduduk, dulunya menjadi kubu atau benteng pertahanan kesultanan Riau-Lingga,” kata Abdul Malik menjelaskannya, Sabtu, 13 Januari 2024.

Setelah kematian Raja Haji Fisabilillah, pada 18 Juni 1784, di Ketapang, perang dilanjutkan oleh Sultan Mahmud Riayad Syah dan berhasil memenangkan pertempuran antara 10 sampai 13 Mei tahun 1787.

Sultan Mahmud yang kala itu kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Hulu Riau, Tanjungpinang ke Daik, Lingga. Sebab ia tahu Belanda akan datang kembali untuk menyerang.

“Belanda kesulitan menjangkaunya saat itu, karena Lingga pulaunya banyak dan Sultan menempatkan tentaranya. Jadi Daik itu tak bisa ditembus sampai berakhirnya pemerintahan Sultan Mahmud 12 Januari 1812, teruslah pusat Kesultanan itu di Daik, Lingga,” kata dia.

Pulau Penyengat Mahar Pernikahan

Menarik mundur ke belakang, pada tahun 1803, Sultan Mahmud menikahi Engku Putri Raja Hamidah, anak Raja Haji Fisabilillah. Interpretasi mengenai status Pulau Penyengat pun bervariasi di kalangan masyarakat, apakah itu hadiah pernikahan atau mas kawin, tetap menjadi misteri hingga saat ini.

“Tapi mahar itu disebutkan saat akad nikah, kepastian itu yang belum orang temukan. Orang menginterpretasikan, karena itu hadiah pernikahan, maka mahar lah orang bilang,” kata dia.

Namun, yang pasti, tahun 1803 pulau itu diberikan Sultan Mahmud ke istrinya. Lalu dibangunlah pulau kosong ini dengan mendirikan istana, masjid, dan semua fasilitasnya. Pembangunan diperkirakan bekisar dua hingga tahun tahun antara tahun 1805 akhir hingga 1806 selesai.

“Sultan Mahmud memindahkan istrinya, yang sebelumnya di Hulu Riau dipindah ke Penyengat. Pusat Yang Dipertuan Muda (YDM) juga ikut pindah, yang waktu itu di tahun 1806 dijabat oleh Raja Ja’far,” kata dia.

Saat Sultan Mahmud pindah ke Lingga, Pulau Penyengat menjadi pusat pertahanan. Strategi perang gerilya laut melibatkan pasukan di berbagai pulau, termasuk Lingga, Bintan, Batam, Karimun, hingga Johor, Pahang, dan Singapura.

“Kala itu Sultan Mahmud sudah membuat basis pertahanan di Rempang-Galang. Di sana tempatnya prajurit-prajurit terkenal Sultan Mahmud, bahkan sejak Raja Haji Fisabililah yang tersisa sekarang hanya anak cucu merekalah yang memperjuangkan tanah airnya,” kata dia.

Biografi Raja Ali Haji. (Foto:Muhammad Ishlahuddin/Ulasan.co)

Tempat Munculnya Intelektual

Sejak tahun 1820, Pulau penyengat memunculkan berbagai intelektual semisal Bilal Abu, Raja Ahmad hingga anaknya Raja Ali Haji dengan karya pertamanya Syair Abdul Muluk pada 1846, setahun kemudian lahirlah Gurindam 12.

“Penulis lain bertumbuhan di sana, dari anak hingga cucu Raja Ali Haji, Aisyah Sulaiman dan intelektual bukan keluarga bangsawan,” kata dia.

Setelah kematian Sultan Mahmud pada 12 Januari 1812, kekuatan militer kesultanan melemah. Raja Ali Haji beralih strategi, mengandalkan kekuatan pikiran daripada senjata. Upayanya untuk menyatukan nusantara melalui Bahasa Melayu diwujudkan dalam karya-karyanya, seperti Bustan al-Katibin tahun 1850 dan Kitab Pengetahuan Bahasa 1858.

Pembuka di dalam buku Bustan al-Katibin karya Raja Ali Haji, menurut Abdul Malik berbunyi, “Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam. Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang, dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan segores kalam jadi tersarung.”

“Kalam lebih kuat dari senjata, dan terbukti nusantara dapat bersatu dengan bahasa Melayu yang dibuatnya itu. Akhirnya muncul di Sumpah Pemuda sebagai pemersatu bangsa Indonesia,” kata dia.

Akhir Masa Kesultanan Riau-Lingga

Tahun 1911 menjadi akhir masa kejayaan Kesultanan Riau-Lingga. Belanda baru benar-benar menguasai Kepulauan Riau atau Kesultanan Riau-Lingga tahun 1913, usai memakzulkan Sultan terakhir kala itu, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II tahun 1911.

Setelah belanda memakzulkannya, Sultan Abdurrahman meninggalkan istana dan pulau Penyengat, termasuk juga Raja Ali Kelana, Aisyah Sulaiman cucu Raja Ali Haji, dan suaminya Raja Khalid Hitam.

“Semua pindah ke Singapura, baru ke Johor. Bukan pindah habis, tapi berniat membangun diplomasi,” kata dia.

Raja Ali Kelana, pergi ke Mesir, Turki untuk mendapatkan bantuan menyerang Belanda, tapi tak berhasil sebab Turki keberatan. Kala itu Kesultanan Riau-Lingga sebenarnya memiliki hubungan erat dengan Turki sebab sama-sama kerajaan Islam. Namun, Abdul Malik tak memiliki informasi detail mengapa Turki enggan membantu menyerang Belanda.

Sementara itu, Raja Khalid Hitam juga melakukan upaya diplomasi dengan pergi ke Jepang. Zaman itu Kesultanan juga ada hubungan baik dengan Jepang, tapi justru Raja Khalid Hitam meninggal di Jepang karena diracun.

“Usaha diplomatik semua gagal. Akhirnya semua dikuasai VOC,” kata dia.