Merangkai Ribuan Pulau di Bumi Pertiwi

Merangkai Ribuan Pulau di Bumi Pertiwi
Kapal Tol Laut milik PT Pelni.

Oleh MD Yasir Khasbullah, Redaktur Pelaksana ulasan.co

“Kita terlalu lama memunggungi laut, berpaling dari samudera, selat, dan teluk. Lautan adalah masa depan peradaban kita. Saatnya kita jadi bangsa yang mengusung peradaban sendiri. Kembali menjadi negara maritim yang perkasa”.

Penggalan kalimat dalam pidato pelantikan Presiden Joko Widodo setelah terpilih sebagai Presiden RI tahun 2014 lalu itu, bukan hanya mengejutkan sejarawan dan tokoh nasional, tetapi juga masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terluar, seperti Kabupaten Natuna, di Provinsi Kepulauan Riau.

Sebenarnya, bukan kali pertama, Presiden Jokowi menyinggung soal membangun kembali Indonesia sebagai negara maritim terkemuka. Sebulan sebelumnya, saat debat calon presiden di Pilpres 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, telah menggelorakan ide besar Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Ketika pasangan Joko Widodo terpilih sebagai Presiden RI 2014-2019, banyak pihak mengklaim bahwa konsep membangun negara maritim mampu menarik perhatian masyarakat, khususnya mereka yang selama ini menggantungkan hidup dengan kekayaan laut Indonesia.

Sebulan setelah pelantikan presiden dan wakil presiden, formasi Kabinet Kerja yang dibentuk presiden, membuktikan keseriusan Joko Widodo untuk membangun sektor maritim, yang selama ini terlupakan.

Untuk merawat dan memberdayakan potensi kekayaan laut Indonesia, kementerian baru dibentuk. Sosok Susi Pudji Astuti pun diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Bukan hanya itu, Koordinator Kementerian Bidang Maritim yang sempat dihilangkan di era presiden sebelumnya, kembali difungsikan dan menunjuk Indroyono Soesilo, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang pertama.

Ide besar membangun kembali negara maritim pun, menjadi sentral arah pembangunan Indonesia dalam dua periode pemerintahan Presiden Jokowi Widodo (2014-2019 – 2019-2024). Efeknya, beberapa instansi pemerintah dan perusahaan negara di sektor maritim, seperti PT Pelni dan juga PT Pelindo, yang sebelumnya dipandang sebelah mata, perlahan mulai menunjukkan peran vitalnya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat tanah air.

Bagi PT Pelni, yang memiliki sejarah panjang dunia pelayaran laut Indonesia, ide poros negara maritim yang digagas Presiden Jokowi, seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Menghubungkan 17 ribu pulau di seluruh nusantara, sejak awal menjadi misi utama PT Pelni, sehingga persoalan isolasi jutaan masyarakat di daerah terpencil dan terluar, bisa terurai dan menjadi simpul perubahan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Suara Samar dari Perbatasan

Pengakuan Ropihuddin, warga Pulau Laut, Kabupaten Natuna, saat wawancara dengan ulasan.co, cukup menggambarkan, begitu pentingnya keberadaan kapal-kapal Pelni yang bersandar di pelabuhan Pulau Laut di Natuna.

“Sudah sebulan Kapal Sanus (Sabuk Nusantara) tak bersandar ke Pulau Laut, kami seperti kembali ke jaman dulu. Semua susah, ekonomi susah. Kami tak bisa apa-apa,” ungkap Ropihuddin kepada ulasan.co, Jumat (28/8/2021).

KM Sabuk Nusantara di Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang.

Kekecewaan Ropihuddin, muncul pada bulan Agustus, Ketika KM Sabuk Nusantara milik PT Pelni berhenti berlayar di Kabupaten Natuna, karena terganjal aturan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat pandemi COVID-19.

Seharus, pada 1 September 2021 mendatang, KM Sabuk Nusantara 83, sudah bisa berlayar menyambangi pulau-pulau terluar di Kabupaten Natuna.
Namun sekali lagi, harapan masyarakat Kabupaten Natuna untuk menggunakan jasa KM Sabuk Nusantara terpaksa pupus, akibat peraturan Bupati Natuna, yang menutup jalur pelayaran ke wilayah Natuna, hingga 6 September 2021.

Tokoh masyarakat dan dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Nikolas Panama, menangkap suara keresahan dari masyarakat perbatasan – sepeerti yang diungkapkan Ropihuddin, sebagai bentuk aspirasi dari masyarakat pulau di perbatasan, yang harus didengar oleh pemerintah pusat dan daerah.

Bagi warga seperti Ropihuddin, yang seluruh hidupnya bergantung pada laut, samudera adalah anugerah dari Tuhan, yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. “Laut adalah jalan, yang semestinya diikuti dengan alat transportasi yang memadai, sehingga pulau-pulau yang dipisahkannya terangkai, menjadi satu kesatuan yang utuh, yang kuat membangun seluruh sektor kehidupan,” papar Nikolas kepada ulasan,co.

“Laut jangan dianggap sebagai penghalang, melainkan peluang yang mampu mengungkit pendapatan masyarakat dan negara. Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah yang didominasi perairan, seperti Kepri, laut adalah masa depan. Jika di darat ada stasiun dan terminal, maka di laut semestinya ada cukup dermaga dan pelabuhan,” kata Nikolas, yang juga penulis buku berjudul “Menjaga Indonesia dari Kepri” itu.

Berani Rugi untuk Mengabdi

Berawal dari 8 kapal tua warisan Yayasan Pengusaan Pusat Kapal-kapal (Pepuska) tahun 1952, PT Pelni lahir sebagai ‘bayi’, yang kemudian dikenal masyarakat Indonesia, sebagai ‘jembatan penghubung’ pulau-pulau terpencil di seluruh Indonesia.

Kini, setelah 73 tahun berlalu, PT Pelni sudah mengoperasikan 26 kapal besar khusus penumpang. Hampir semua palabuhan besar dan kecil di nusantara sudah disinggahi kapal-kapal Milik Pilni, mengangkut jutaan masyarakat Indonesia, dari satu pulau ke pulau lainnya.

PT Pelni juga menjalankan kapal perintis, untuk aksesibilitas penduduk di wilayah yang masuk daerah terpencil, tertinggal, dan terluar (3TP), dimana kapal perintis menyinggahi 285 pelabuhan dengan 3.811 ruas. Sedangkan untuk pelayanan bisnis angkutan barang logistik, kini Pelni mengoperasikan 9 trayek tol laut serta 1 trayek khusus untuk angkutan ternak milik para pedagang.

Direktur PT Pelni, Insan Purwarisya L. Tobing, dalam siaran tertulis untuk media pada pertengahan Agustus 2021 lalu, menyebut bahwa seluruh aktivitas pelayaran yang dilakukan oleh PT Pelni, murni karena pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, tanpa memikirkan untung rugi seperti yang tertera dalam hukum finansial.

Sejak PT Pelni mendapat penugasan dari Presiden Jokowi melalui Menteri Perhubungan, untuk menjalankan program tol laut 7 tahun lalu, misi untuk menghubungkan konektivitas seluruh kepulauan di Nusantara, menjadi misi utama PT Pelni. Artinya, PT Pelni siap rugi demi sebuah misi merangkai ribuan pulau di bumi pertiwi.

“PT Pelni hadir sebagai agen pembangunan dalam rangka memperkuat konektivitas antarwilayah, termasuk menjamin aksesibilitas bagi masyarakat di daerah 3TP serta tanggap darurat. Sebagai perusahaan pelayaran dan logistik maritim di Indonesia, Pelni memiliki tiga misi, yaitu misi pelayaran kapal penumpang, misi pelayaran kapal perintis, dan misi pelayaran kapal tol laut,” demikian Insan Purwarisya L. Tobing.

Namun, sebagai sebuah perusahaan, tentu saja persoalannya tidak sesederhana itu. Dari sisi bisnis, membangun konektivitas melalui bisnis pelayaran ke daerah terpencil dan terluar, tidak memberikan keuntungan finansial yang signifikan.

Menurut Vice President Pemasaran Angkutan Penumpang Sukendra, untuk menjalankan public service obligation (PSO), berupa rute kapal ke daerah-daerah dengan keterbatasan akses transportasi, PT Pelni membutuhkan subsidi atau anggaran operasional kapal sebesar Rp4 triliun.

Sayangnya, nilai capital expenditure (capex) yang diterima PT Pelni, sejauh ini masih di bawah kebutuhan, dan tidak sebanding dengan dana subsidi untuk PSO yang diterima perseroan.

Pada tahun 2020 misalnya, PT Pelni mengajukan anggaran PSO sebesar Rp3,8 triliun. Sayangnya anggaran itu hanya disetujui di angka Rp2 triliun saja. Padahal, untuk pendanaan operasional kapal seperti bahan bakar atau maintenance saja bisa mencapai Rp3,8 triliun.

Untuk memenuhi kebutuhan operasional kapal, perusahaan secara mandiri terpaksa harus mencari anggaran PSO tambahan sebesar Rp1,8 triliun. Sayangnya, target tersebut tidak tercapai.
“Intinya, misi utama PT Pelni, seperti yang dikatakan pimpinan kami, bukan pada finansial, tapi pelayanan untuk mengabdi kepada masyarakat, khususnya masyarakat desa terpencil dan terluar di Indonesia,” papar Sukendra.

Membiarkan PT Pelni sendirian merangkai pulau-pulau terluar di negeri ini, jelas bukanlah sikap yang bijak. Butuh dukungan berbagai pihak, baik dari pemerintah pusat, wakil rakyat, kepala daerah, hingga masyarakat bawah, sehingga berbagai persoalan yang dihadapi PT Pelni selama ini, bisa diatasi.

Ide besar Presiden Jokowi untuk membangun kembali Indonesia sebagai bangsa maritim dunia yang disegani, akan susah terwujud, tanpa dukungan dari semua pihak. Mega proyek tol laut, ratusan rute kapal-kapal perintis, yang kini sudah melepas jangkar di ratusan dermaga di seluruh nusantara, hanyalah langkah awal Indonesia sebagai negara maritim dunia.

Sekali lagi, seperti penggalan kalimat dalam pidato Presiden Jokowi 20 Oktober 2014 silam; “Kita terlalu lama memunggungi laut, berpaling dari samudera, selat, dan teluk. Lautan adalah masa depan peradaban kita. Saatnya kita jadi bangsa yang mengusung peradaban sendiri. Kembali menjadi negara maritim yang perkasa”. Semoga demikian. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *