Mural “Jokowi 404: Not Found”: Antara Vandalisme dan Hak Berekspresi

Foto : Istimewa

Jakarta – Belakangan media sosial diramaikan oleh pembicaraan soal mural satire dengan gambar mirip Presiden Joko Widodo bertulis “404: Not Found” di beberapa wilayah Indonesia, termasuk di Batam Kepri.

Polisi menyatakan tidak memproses karya seni yang jadi cara seniman salurkan aspirasi, tapi menambahkan seharusnya karya seni itu disalurkan di tempat yang semestinya. Polri menyampaikan tidak akan responsif dan represif terhadap persoalan itu.

Seperti apa kaitan antara mural, vandalisme dan hak berekspresi di ruang publik?

Budayawan Tommy F. Awuy yang juga pengajar filsafat Universitas Indonesia dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menjelaskan, konsep ruang publik dari kacamata filsafat dan seni yang punya sejarah panjang.

Dimulai dari konsep Polis (Negara-Kota), wilayah yang dianggap sebagai ruang beradab karena bisa mengakomodasi perbedaan-perbedaan dari banyak kepentingan. Contohnya Athena, negara-kota Yunani Kuno. Sementara kota atau “city” berhubungan dengan kata “civil”, mengacu kepada orang-orang beradab, menciptakan karya yang dibagi kepada publik yang menerimanya.

“Kota adalah tempat beradab, dari sana tempat berkumpulnya orang-orang dari segala perbedaan,” kata Tommy dalam webinar, Selasa (31/8) malam.

Socrates memanfaatkan ruang publik di Athena, kata Tommy, dengan mengajar di ruang publik. Dalam hal ini, mengajar artinya berdialog dengan orang-orang yang ia temui di berbagai tempat. Dari situ muncullah dialog-dialog terkenal yang dibukukan oleh filsuf Plato.

“Jadi, ruang publik adalah ruang peradaban, ruang penghargaan terhadap perbedaan, itulah konsep dasar ruang publik.”

Di sisi lain, tragedi peradaban juga muncul di ruang publik. Contohnya ketika Socrates dihadapkan pada pengadilan negara karena dia mengajak anak-anak muda berpikir kritis hingga mempertanyakan dewa-dewa, keyakinan di dalam sejarah Yunani Kuno.

Socrates percaya bahwa hanya ada satu kebijakan tertinggi dan itu tidak sesuai dengan kepercayaan tentang dewa-dewa. Ketika iman anak-anak muda saat itu guncang, negara menganggapnya berbahaya.

“Akibatnya Socrates minum racun karena tidak mau mengikuti kehendak negara untuk berhenti berdialog dengan anak muda, berhenti berkegiatan di ruang publik. Ini yang kita lihat semacam kontradiksi atau paradoks ketika kekuasaan ikut campur tangan di ruang publik, tapi tidak bisa tidak karena ruang publik perlu penataan dan biasanya itu diserahkan kepada negara yang dianggap bijak,” jelas Tommy.

Waktu kemudian bergulir hingga masyarakat ada di Zaman Kegelapan pada abad pertengahan di mana ruang publik nyaris tidak ada karena dikuasai oleh agama dan orang-orang yang terkait dengan raja.

Tidak boleh ada orang yang boleh kritis di ruang publik, kecuali dia mau ditangkap dan berhadapan dengan pengadilan agama. Jika mereka meragukan kepercayaan yang dianut saat itu, akan gawat akibatnya. Contohnya filsuf Giordano Bruno yang memilih bersikap seperti Socrates, dia kemudian dibakar hidup-hidup karena tidak mau mengikuti tekanan dari gereja.

Paradoks dan kontradiksi dalam ruang publik selalu ada. Di satu sisi diharapkan ada kebebasan, tapi perlu ada pihak yang menjaganya kendati kerap ada intervensi bila pihak yang berkuasa merasa terancam.

“Ruang publik dalam multikultralisme, ruang multikultural ini berdiri di atas politics of recognition, maksudnya menganggap ruang publik adalah ruang berbagi, serta lebih peduli pada kelompok marginal.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *