Mural “Jokowi 404: Not Found”: Antara Vandalisme dan Hak Berekspresi

Foto : Istimewa

Akademisi Inda Citraninda Noerhadi, peraih doktor dalam program studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, mengatakan banyak karya seni yang dirusak, termasuk di antaranya mural dan patung, yang terjadi di berbagai tempat bahkan di Amerika Serikat. Karya “Tilted Arc” dari Richard Serra yang menciptakan kontroversi kemudian mendorong Undang Undang terkait seni rupa.

Lalu bagaimana dengan pengrusakan dan penghapusan karya seni di ruang publik yang ada di Indonesia. Direktur Cemara 6 Galeri – Museum itu menceritakan pengalamannya dulu saat melukis mural di Institut Kesenian Jakarta, tapi kemudian mural itu dibongkar. Bila kejadian tersebut terjadi bahkan di sekolah seni, tidak mengherankan bila itu juga dilakukan di tempat-tempat lain.

Dia menjelaskan, konflik visual yang terjadi di ruang publik biasanya disebabkan karena apa yang ditampilkan tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas penduduk di sekitarnya. Misalnya, gambar yang dianggap tidak sesuai dengan teologi keagamaan tertentu. Menurut dia, ini tandanya toleransi telah merosot dan puritanisme meningkat.

Padahal, sejak dulu patung-patung hingga mural merupakan hal yang lumrah di Indonesia. Patung-patung telah ada sejak zaman megalitikum sebagai perwujudkan leluhur, mural-mural pun hadir menceritakan narasi kehidupan. Ketika pengaruh hindu dan budha masuk ke Nusantara, patung-patung menjadi personifikasi dewa.

Ketika pembangunan di Jakarta sedang dimulai, Presiden Soekarno banyak memesan karya seni termasuk patung untuk diletakkan di ruang publik, juga relief di Hotel Indonesia hingga yang ada di gedung Sarinah.

Mural, seni berekspresi
Kurator Selasar Sunaryo Art Space, Heru Hikayat, mencontohkan mural bertuliskan “No War” warna merah mencolok di Sydney Opera House yang dibuat dua aktivis sebagai protes terhadap perang Irak. Mereka memilih ikon Australia agar pesan itu bisa tersampaikan ke penjuru dunia, bahkan hingga ke Timur Tengah. Lewat “No War”, mereka ingin menyampaikan bahwa tidak semua orang di Australia turut menyetujui adanya perang. Dua aktivis bernama Will Saunders dan David Burgess langsung diamankan. Mereka mendapatkan denda dari pengadilan.

Apa yang mereka tulis dan aksi tersebut menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menganggap itu merupakan penghinaan terhadap ikon Australia, tapi ada juga yang mendukung pesan antiperang. Orang-orang turut membantu menggalang dana untuk membayar denda tersebut.

Heru mengatakan, di negara tertib hukum kadang pelanggaran hukum seperti vandalisme perlu dilakukan untuk menyampaikan pesan penting. Proses hukum tetap dijalani, tapi seperti di Australia, dendanya dapat ditanggung secara kolektif.

Namun hukum di Indonesia tidak selalu jelas. Seringkali tindakan penegak hukum tidak konsisten. Dia mencontohkan salah satu rekan senimannya pernah menggambari tiang lampu di jalan Dago yang pasti diawasi oleh polisi karena berada di jalan utama.

“Tidak mungkin tidak ketahuan, tapi proses penggambaran tidak dapat hambatan apapun dari aparat. Malah ada yang kasih rokok, ada afirmasi dari tindakan aparat. Tapi di kasus lain dia pernah kena sama polisi, disensor ketika mencoreti billboard.”

Dia berasumsi, aparat membiarkan ketika gambar-gambar yang dibuat terlihat cantik dan menambah hiasan. Respons pihak berwajib berbeda ketika gambar yang dibuat bertolak belakang.

“Itulah risiko berada di ruang publik, aparat negara hanya salah satu aktor, ada aktor lain, termasuk juga warga, mereka bukan entitas homogen.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *