Mural “Jokowi 404: Not Found”: Antara Vandalisme dan Hak Berekspresi

Foto : Istimewa

Di Indonesia, seni jalanan seperti mural dan grafiti sudah ada sejak dahulu kala. Pada era revolusi, grafiti lebih berfungsi sebagai sarana menyampaikan pesan dan semangat kemerdekaan. Mikke Susanto, sejarawan dan staf pengajar ISI Yogyakarta, menjelaskan grafiti menjadi cara untuk menyebarkan berita-berita proklamasi dan semangat perjuangan hingga ke pelosok.

“Jadi tempatnya bukan cuma di dinding, tapi benda bergerak seperti kereta, sehingga bisa dibaca orang-orang hingga ke desa kecil,” katanya.

Dari segi tampilan, grafiti masa lalu lebih cenderung bergaya maskulin dan tegas, tapi saat ini visualnya lebih “genit” dan penuh warna-warni.

Namun perbedaan itu bukanlah masalah, ujar para seniman yang menegaskan bahwa mereka ingin menyampaikan pesan dan ekspresi lewat karya.

Seniman stensil Anagard menceritakan pengalamannya berkarya di Yogyakarta yang sudah menerima “street art”. Masyarakat setempat menerima dan menjaga karya “street art”. Dia beranggapan, pengetahuan masyarakat Yogyakarta tentang seni rupa yang lebih mendalam membuat karya-karya seniman, termasuk mural, lebih diterima.

Seniman Arman Jamparing mengungkapkan dia sudah biasa melihat karyanya dihapus. Tapi dia tidak peduli.

“Yang penting apa yang saya lakukan untuk masalah sosial. Pada dasarnya, berkarya di jalan fitrahnya adalah untuk melawan, apa pun alasannya,” ujar Arman.

Vandalisme bukan cuma muncul lewat karya seniman di ruang publik, tetapi juga papan iklan hingga baliho calon presiden yang sudah dipajang meski pemilihan presiden masih bertahun-tahun lagi. Dia berpendapat, hal itu termasuk vandal karena lewat baliho itu mereka berusaha mendoktrin pikiran masyarakat lewat apa yang ditampilkan dalam visual.

Seniman stensil Digie Sigit menambahkan, ruang publik adalah milik bersama, sehingga seniman juga punya hak untuk menggunakannya. Mengingat karya dibuat untuk publik, Digie mengatakan dia selalu berusaha menciptakan yang terbaik sebagai bentuk penghormatan kepada publik.

Pada akhirnya, “street art” sebagai alat kontrol sosial harus tetap ada dan kreativitas seniman dalam menyampaikan pesan tidak boleh dihalangi. Sebab, kita tinggal di ruang publik yang seharusnya toleran terhadap keberagaman.

Pewarta : Antara
Editor : MD Yasir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *