IndexU-TV

Pengamat Ekonomi UIB Batam: Tata Kelola Niaga Ekspor Pasir Laut Harus Jelas

Pengamat Ekonomi dari Universitas Internasional Batam (UIB), Suyono Saputra. (Foto:Irvan Fanani/Ulasan.co)

BATAM – Pemerintah Indonesia resmi membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang barang yang dilarang untuk diekspor, serta Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Kedua Permendag tersebut merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Juni 2023 lalu.

Pengamat ekonomi dari Universitas Internasional Batam (UIB), Suyono Saputra menilai, dibukanya kembali keran ekspor pasir laut harus dibarengi dengan tata kelola niaga yang baik dan jelas.

Menurut Suyono, hal tersebut penting agar manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah pusat. Namun juga di daerah yang menjadi lokasi pengerukan pasir laut.

“Sejak keputusan ini keluar, muncul banyak kontroversi. Sebab, kita tahu bahwa perdagangan pasir laut di Indonesia sempat berhenti selama 20 tahun karena tata niaga yang kacau, manfaatnya belum terasa nyata, terutama bagi daerah-daerah lokasi eksploitasi,” ujar Suyono Saputra, Sabtu 05 Oktober 2024.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan tujuh lokasi di Indonesia untuk aktivitas tambang pasir laut, di mana mayoritas berada di Kepulauan Riau (Kepri) yakni di perairan di sekitar Pulau Karimun, Lingga, dan Bintan.

Baca juga: Tolak Kebijakan Ekspor Pasir Laut, Akar Bhumi Indonesia: Merusak Tatanan Ekonomi Masyarakat Pesisir

Suyono menyebutkan, sebelum kebijakan ini benar-benar dijalankan, maka harus ada kejelasan soal keuntungan yang diperoleh negara dan daerah, khususnya masyarakat di Kepri.

“Harus jelas bahwa aktivitas yang bahasa aturannya itu pengerukan sedimentasi laut benar-benar menguntungkan, baik bagi negara maupun daerah penghasil,” sambung Suyono.

Suyono melanjutkan, meski KKP memperkirakan ada potensi permintaan ekspor pasir laut hingga 1 miliar kubik, dengan penerimaan negara mencapai Rp66 triliun.

Namun, kata dia, hingga saat ini belum ada kejelasan terkait pembagian keuntungan antara pemerintah pusat dan daerah.

“Pola bagi hasil antara pusat dan daerah itu harus jelas. Kita di daerah tentu berharap aturan ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah,” tambahnya.

Suyono juga meminta agar pemerintah memastikan tata kelola niaga yang baik, transparansi dalam pola bagi hasil, serta kajian mendalam terkait dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas eksploitasi pasir laut tersebebut.

“Bagaimana dampaknya bagi nelayan pesisir, ekosistem laut, hingga kualitas perairan. Itu semuga harus dijelaskan dengan baik oleh pemerintah, agar masyarakat tidak dirugikan,” ungkap dia.

“Saya melihat ini sebagai sebuah keniscayaan. Jika potensi pasir laut tidak dieksploitasi, maka seperti menyia-nyiakan sumber daya yang ada. Namun, di sisi lain, eksploitasi tersebut membawa potensi ancaman kerusakan lingkungan,” tutupnya.

Exit mobile version