Pengamat: Film ‘Dirty Vote’  Fakta yang Dikemas dalam Dokumenter

Pengamat Politik dari Stisipol Raja Haji Tanjungpinang Endri Sanopaka (Foto: Muhammad Bunga Ashab)

TANJUNGPINANG – Pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Raja Haji, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Endri Sanopaka, turut merespons  terkait film dokumenter ‘Dirty Vote’ yang baru-baru ini menggemparkan jagat maya selama masa tenang Pemilu 2024.

Menurut Endri, film tersebut adalah fakta yang dirangkai menjadi sebuah film dokumenter. Ia menjelaskan apa yang ditampilkan di dalam film dokumenter ‘Dirty Vote’ adalah fakta-fakta yang telah terjadi sebelumnya.

Sehingga menurutnya, topik yang diangkat film tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang ditutupi alias sudah diketahui semua masyarakat.

Hanya saja, tambah Endri, di dalam film itu fakta-fakta tersebut dirangkai sedemikian rupa untuk mempertontonkan kepada masyarakat sebuah proses yang menurut mereka (pembuat film) sebagai potensi kecurangan pemilu yang dilakukan pihak-pihak tertentu.

“Sebenarnya bagi orang yang mengikuti perjalanan dunia politik, apa yang dibahas film ini bukanlah sesuatu baru. Pasti ‘ngeh’ apa yang terjadi” ujarnya.

Endri heran mengapa film bernuansa kritis ini baru diputar pada detik-detik terakhir menjelang hari pemilihan. Sementara ia melihat ini sebagai peluang yang terlewat untuk mencegah jika sekiranya benar ada kecurangan terjadi sejak awal.

“Itu sayang sekali, kenapa tidak sejak awal, jauh-jauh hari sebelum hari pencoblosan,” ujarnya.

Endri tidak menampik film ‘Dirty Vote’ sedikit-banyaknya dapat mempengaruhi persepsi dan pemahaman pemilih dalam Pemilu 2024.

Film tersebut berpotensi memperkuat sentimen negatif yang sudah ada terhadap ‘kekuasaan’  yang menjadi objek di dalam film tersebut.

Endri tidak menampik terdapat kemungkinan akan berubahnya pilihan beberapa pemilih setelah menonton film dokumenter itu.

Namun kembali lagi, ia menekankan, bahwa di Indonesia terdapat struktur pemilih.

“Mungkin kalau kalau yang menonton adalah kalangan intelektual, dia akan memahami pesan yang disampaikan film tersebut,” katanya.

Akan tetapi, lanjut dia, dalam struktur pemilih di Indonesia banyak masyarakat yang berada di struktur lapis bawah. Sehingga kemungkinan mereka tidak akan memikirkan apa yang ingin disampaikan film tersebut.

“Yang mereka tahu kan pemilu ini pesta demokrasi. Kalau pun ada hal hal yang bisa mereka dapatkan, mereka sedang menunggu untuk mendapatkannya,” tuturnya.

Baca juga: Respons Positif Wapres Terhadap Film Dirty Vote

Persoalan apakah film tersebut dapat menjadi alat politik, Endri berujar, jika film tersebut dibuat untuk kebaikan bersama tentu dapat menjadi alat politik untuk tujuan yang baik.

“Namun, bisa juga sebaliknya. Tapi secara filosofis politik itu kan segala hal yang dilakukan untuk kebaikan bersama, itu kalau menurut saya yaa,” ujarnya.

Dimintai pendapat terkait adanya laporan ke Bareskrim Polri terhadap sutradara dan tiga pemeran film dokumenter ‘Dirty Vote’ oleh oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi).

Endri berpendapat bahwa hal ini menjadi wilayah penegak hukum untuk menilai adanya pelanggaran. Menurutnya, film ini berdasarkan fakta, dan penegak hukum memiliki metode mereka sendiri untuk menilai apakah ada unsur pelanggaran seperti yang dilaporkan.

“Film ini kan bukan dalam dalam bentuk karya jurnalistik kan, mungkin prosesnya akan berbeda,” tambah dia.

Diketahui, film tersebut diperankan oleh tiga pakar hukum tata negara yaitu, Feri Amsari, Zainal Arifin Muhtar, dan Bivitri Susantri.

Film berdurasi 1 Jam 57 menit itu di Disutradarai oleh Dandhy Laksono, yang sebelumnya dikenal lewat Film ‘Sexy Killer’ yang viral pada Pemilu 2019. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News